Indonesia untuk Bangsa Indonesia

Bagikan artikel ini

Sebuah Kontemplasi Kecil

Bahwa pemahaman dan kesadaran publik itu bertingkat-tingkat. Kenapa? Oleh karena basis dinamika publik ialah logika dan hati. Logika bicara soal (nilai) baik-buruk, sedangkan hati tentang rasa adil dan tidak adil.

Ketika rezim (sistem dan aturan) cenderung menampilkan keburukan dan ketidakadilan daripada kebaikan dan keadilan, maka krisis kepercayaan alias public distrust menjadi keniscayaan terhadap sistem dan aturan dimaksud.

Dan tampaknya, pemahaman serta kesadaran inilah yang sekarang mulai timbul tenggelam di publik secara bertingkat sesuai level masing-masing. Ya. Ada pemahaman di level es de, misalnya, atau di tingkat es em pe, ataupun pemahaman es em a, kesadaran anak kuliahan dan seterusnya. Atau istilah lainnya — pemahaman syariat, tharikat, kesadaran hakikat, permenungan filsafat dan lain-lain.

Demikian juga kesadaran dan pemahaman tentang permasalahan hulu bangsa, itupun bertingkat-tingkat sesuai level.

Bahwa kesadaran tinggi di level hulu adalah publik mulai mengerti bahwa telah terjadi penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA oleh asing di negerinya. Itu tidak keliru. Benar. Maka konsekuensinya, tatkala persoalan hulu mencuat namun dialihan ke isu-isu hilir, publik mulai cerdas dan memahaminya. Ah, itu pengalihan isu. Meski sebenarnya, hal tersebut baru kesadaran hulu di level paling dasar. No problem. Yang penting sudah ada kesadaran dahulu ketimbang wong e nggemblung, ora sadar-sadar.

Demonstrasi rakyat terhadap maraknya investasi asing di Indonesia/flickr.com

Dan tak dapat dipungkiri, bahwa level tertinggi pemahaman tentang permasalahan hulu bangsa ialah dibajaknya konstitusi oleh kekuatan asing melalui empat kali amandemen UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Nah, para tokoh bangsa menyebut peristiwa amandemen UUD 1945 tersebut dengan istilah beragam, seperti silent revolution, misalnya, atau pengkhianatan konstitusi, ataupun kudeta konstitusi, invasi senyap, revolusi senyap dan seterusnya.

Jadi, ketika beberapa dekade ini muncul aksi dan gelombang kesadaran publik untuk kembali ke UUD yang lahir 18 Agustus 1945 (UUD 1945 asli), maka geliat publik untuk kembali ke UUD asli tersebut bukanlah fenomena dan manuver politik praktis yang bermaksud untuk meraih kekuasaan; atau (seolah-olah) ingin kembali ke masa orde baru; tidak boleh juga distigma sebagai gerakan oposisi, apalagi makar — BUKAN. Sekali lagi, bukan! Tetapi itulah gerakan moral dan intelektual segenap anak bangsa untuk kembali ke “jati diri” sebagai bangsa yang berdaulat karena selama ini keindonesiannya telah pupus akibat operasional serta praktik UUD (palsu) yang lahir pada 10 Agustus 2002.

Inilah arus baru (nonmainstream) yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dan sepertinya tidak bisa dibendung, karena selain merupakan hak konstitusi, gerakan tersebut tidak melawan arus, namun juga tidak ikut arus. Istilahnya di dunia medsos, contohnya, mereka bukan ‘kecebong’, bukan ‘kampret’, tidak pula ‘kadrun’. Tidak. Sekali lagi, ia bukan oposisi, tidak pula koalisi. Tetapi, “arus baru”,

Gelombang arus baru inilah, diharapkan mampu menarik kelompok ‘ikut arus’ dan kaum ‘pelawan arus’ atas nama manisnya nasionalisme dan sedapnya cinta tanah air. Kenapa? Karena praktek UUD (palsu) hasil empat kali amandemen telah meyebabkan hilangnya tiga hal prinsip dalam UUD 1945 yang merupakan pokok-pokok bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun tiga hal prinsip yang hilang tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, (direbut) berpindahnya kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam partai politik;

Kedua, imigran kini berpeluang menjadi presiden;

Ketiga, sistem dan praktik perekonomian berubah menjadi kapitalisme.

Lantas, apa implikasi akibat tercabutnya tiga hal prinsip di atas?

Tak boleh dielak, UUD hasil amandemen tersebut membidani “industri baru” yang justru kontra produktif bagi kehidupan berbangsa-bernegara, contohnya ialah:

1. Rakyat terbelah secara permanen, dan kerap belahan sosial tersebut kian meruncing ketika ada hajatan pilkades, pilkada, terutama pilpres;

2. High cost politics;

3. Maraknya korupsi, oleh sebab disinyalir korupsi itu sendiri diciptakan oleh sistem (konstitusi);

4. Melahirkan para pemimpin kurang kredibel karena faktor money politics dan industri pencitraan;

5. Membidani banyak dinasti politik baik di daerah maupun di tingkat nasional;

6. Maraknya profesi semu yakni buzzer sebagai lapangan kerja baru yang justru melestarikan kegaduhan sosial; dan lain-lain.

Gilirannya, seandainya terjadi pembangunan pun, maka yang berlangsung ialah pembangunan (di) Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Yang membangun siapa, yang menikmati siapa. Rakyat jadi penonton. Seyogianya, kata dr Zulkifi S Ekomei, Indonesia untuk bangsa Indonesia, bukan untuk bangsa lainnya.

Dan dari perspektif arus baru tersebut, tahun 2024, 2029, atau 2034 misalnya, adalah deretan angka-angka sial selama republik ini menggunakan UUD yang lahir 10 Agustus 2002.

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com