Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Operasi intelijen menggusur Presiden Bashar al Asad semakin gencar dilakukan. Selain Inggris dan Amerika Serikat, kali ini Perancis pun secara intensif ikut serta. Harian Perancis Le Figaro Jumat lalu mewartakan bahwa sejak bulan lalu beberapa agen intelijen militer Perancis mengadakan pertemuan tatap muka dengan beberapa pemain kunci kelompok teroris Suriah yang didukung secara diam-diam oleh pihak asing baik dari segi senjata maupun uang. Perkembangan terkini tersebut secara jelas mengindikasikan sedang terjadinya persiapan terencana untuk menggelar aksi militer yang tujuan akhirnya tentu saja menumbangkan pemerintahan Bashar Asad.
Yang lebih mengejutkan lagi, pertemuan khusus antara beberapa personil Perancis dan kelompok milisi bersenjata Suriah yang memang sudah lama berada dalam binaan kubu militer NATO, sepenuhnya atas sepengetahuan dan sepersetujuan Pemerintah Perancis. Bahkan justru Pemerintah Perancis lah yang ingin tahu persis kemampuan operasional masing-masing komponen dari kelompok perlawanan bersenjata Suriah tersebut.
Agaknya dukungan militer dan finansial dari NATO, khususnya Inggris dan Perancis, bukan berita spekulatif lagi. Betapa tidak. Informasi terakhir juga mewartakan bahwa NATO sudah setuju untuk menyebarkan rudal-rudal patriotnya di wilayah perbatasan Turki-Suriah. Dengan dalih untuk menghadang ancaman militer terhadap Turki. Beberapa waktu lalu Inggris memang sempat melancarkan “Perang Urat Saraf” kepada pihak Suriah yang pada intinya mau member kesan Suriah punya senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction). Apakah ini juga bisa dibaca sebagai isyarat atau kode dari pihak Inggris agar NATO bersiap-siap untuk melakukan aksi militer menumbangkan Presiden Asad seperti pasukan koalisi AS-Inggris menginvasi Irak pada 2003 lalu?
Ini sebuah perkembangan yang cukup serius dan perlu diwaspadai mengingat Inggris memperingatkan kemungkinan eskalasi konflik bersenjata di Turki bisa berdampak buruk juga bagi Turki. Bagi Inggris, Turki sejak era dinasti Usmaniah pada Perang Dunia I, memang merupakan sasaran strategis penaklukkan.
Mewaspadai Modus Operandi Adu Domba ala Inggris
Ketika itu, Monarki Turki dari Dinasti Usmaniah, yang merupakan musuh Inggris, praktis hampir menguasai seluruh Jazirah Arab. Dorongan kuat Inggris untuk menaklukkan Turki inilah, yang kemudian memunculkan Thomas D Lawrence sebagai perajut suku-suku arab untuk mengalahkan Inggris pada Perang Dunia I. Di Kairo, Mesir inilah, legenda Lawrence sebagai perwira intelijen Inggris yang kreatif, imajinatif dan jenius, bermula karena Mesir ketika itu merupakan daerah paling vital bagi jajahan Inggris di Timur Tengah.
Berdasar kemampuan Lawrence yang mengenal betul kawasan Timur Tengah dan juga telah bergaul dan menjalin persahabatan dengan para pemuka suku-suku di Jazirah Arab, maka Lawrence ditugasi oleh pihak militer Inggris untuk menjalankan sebuah misi yang sulit dan nyaris mustahil dilakukan. Yakni, memprovokasi para kepala suku dan mengobarkan pemberontakan terhadap Monarki Usmaniah Turki.
Maka, Lawrence kemudian melakukan beberapa langkah taktis untuk mewujudkan agenda strategis yang telah diperintahkan para atasannya di dinas kemiliteran Inggris yang bermarkas di Mesir.
Pertama, Lawrence mendorong dan memberi semangat kepada para pejuang Arab untuk menghancurkan pasukan Turki di yang memiliki garnisiun di berbagai wilayah khususnya Madinah dan Palestina.
Para pejuang suku-suku Arab ini kemudian didorong oleh Lawrence untuk memunculkan seorang panglima perang sebagai figur pemersatu seluruh suku-suku arab yang aneka ragam kepentingan dan ambisi tersebut. Lawrence berhasil memunculkan seorang panglima baru, Pangeran Faisal.
Semula, Lawrence mendorong Faisal untuk menggerakkan pasukannya menyerbu Madinah, namun ternyata pertahanan militer Monarki Turki masih terlalu kuat untuk ditembus. Maka, Lawrence mengusulkan opsi kedua pada Faisal. Yaitu, menyerbu Palestina.
Ternyata, Pangeran Faisal setuju dengan opsi yang diajukan Lawrence. Maka, dengan kekuatan sekitar 3500 personel pejuang Arab, Faisal menggempur Palestina. Kapal-Kapal Perang dan transport Inggris kemudian dengan sengaja mengarahkan armadanya menuju Pelabuhan transit di ujung selatan Palestina, Aqabah, untuk melaksanakan operasi pendaratan pasukan. Namun, lagi-lagi pasukan Turki dalam keadaan siaga penuh untuk menyambut gempuran militer pasukan Pangeran Faisal. Maka, pertempuran sengit pun tak terhindarkan.
Pada situasi kritis seperti ini, kemampuan dan keahalian Lawrence sebagai perwira intelijen Inggris, memainkan peran penting. Yakni, memanfaatkan relasi dan pergaulannya yang luas di kalangan suku-suku Arab, terutama suku Badui di Palestina, untuk membujuk mereka melakukan serangan militer terhadap Monarki Turki dari garis belakang.
Para suku Badui, yang kebetulan juga pemimpin perampok gurun, ternyata menyanggupi permintaan khusus dari Lawrence. Alhasil, pasukan Monarki Turki yang cukup digdaya tersebut, akhirnya berhasil dihancurkan. Sehingga pasukan Faisal beserta para pejuang suku-suku Arab tersebut berhasil bergerak maju ke Suriah dan Palestina.
Singkat cerita, dengan dukungan penuh dari Inggris, dan para desertir Arab dari pasukan Turki, akhirnya berhasil merebut Kota Damaskus, ibukota Suriah.
Menyusul jatuhnya Damaskus dan Suriah pada umumnya, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Allenby, serta pasukan para suku-suku Arab pimpinan Faisal melanjutkan kampanye militernya menuju Palestina. Lagi-lagi, Yerusalem, Ibukota Palestina, akhirnya berhasil direbut dan diduduki oleh Inggris.
Prestasi gilang gemilang secara kemiliteran ini, sejatinya merupakan kerja intelijen dari seorang oknum warga Inggris bernama Lawrence yang kebetulan merupakan perwira intelijen Inggris yang hanya berpangkat mayor. Setelah menang secara militer, maka Inggris mulai melaksanakan agenda strategisnya, yaitu membentuk negara-negara boneka arab, yang pengaruhnya terasa hingga sekarang.
Dengan mempengaruhi para pejuang bersenjata suku-suku Arab yang lagi eporia dengan kemenangan besar meruntuhkan Monarki Turki, Inggris berhasil mengangkat Pangeran Faisal sebagai Raja Irak, sedangkan adiknya, Pangeran Abdullah, diangkat menjadi raja Transjordania.
Belakangan, Transjordania dipecah menjadi dua negara, sebagian ditempati orang-orang Arab yang kemudian menjadi Yordania. Sedangkan sebagian lainnya menjadi dua negara kaum Yahudi, yaitu Israel. Pembagian Transjordania menjadi Yordania dan Israel, ibarat bom waktu yang dipasang Inggris, karena dampaknya yang cukup menghancurkan, terasa hingga sekarang.
Asad: Musuh Suriah adalah Terorisme dan Instabilitas
Sejatinya krisis di Suriah saat ini, sudah dijelaskan sendiri oleh Presiden Asad beberapa waktu lalu. “Musuh saya saat ini adalah terorisme dan instabilitas di Suriah. Inilah musuh kami di Suriah saat ini. Ini bukan soal rakyat. Ini bukan menyangkut orang per orang. Dan isu sentral di Suriah bukan apakah saya sebagai presiden harus bertahan atau mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Isu sentral saat ini adalah apakah Suriah akan tetap aman dan selamat atau tidak. Inilah yang sedang kami perjuangkan di Suriah.”
Selanjutnya Asad menegaskan, bahwa dirinya bukanlah target yang sesungguhnya. Pihak barat dari dulu selalu menciptakan musuh. Pertama Komunis. Lalu Islam. Setelah itu Saddam Hussein. Dengan berbagai alasan yang berbeda. Nah sekarang mereka mau menciptakan musuh baru yang direpresentasikan melalui diri Bashar al Assaad. “Tidak heran jika mereka menganggap bahwa akar persoalan adalah presidennya, maka saya harus mundur. Maka itu kita harus mengatasi masalah ini. Bukan mendengar apa yang mereka katakana,” begitu tukas Asad.
Sikap Pemerintah Indonesia Cenderung Pro Amerika
Ironisnya, konteks dan konstalasi sesungguhnya krisis di Suriah, tidak dipahami oleh Presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono. Merujuk pada pidato SBY di di depan Musyawarah Nasional Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) senin 17 September lalu mengenai sikap Indonesia terkait krisis di Suriah, sangat pro Amerika.
Meskipun tidak secara terang-terangan mendukung skema global Amerika menggusur Presiden Bashar Assaad, namun penekannya pada upaya dunia internasional untuk menghentikan konflik bersenjata di Suriah, bisa ditafsirkan tetap memberi angin bagi kekuatan-kekuatan pro Amerika dan Eropa Barat untuk menggusur Presiden Assaad dari kursi kepresidenan. Tak pelak lagi, sikap pemerintahan SBY tersebut berseberangan tidak saja dengan pernyataan yang dicanangkan Presiden Asad, melainkan juga berseberangan dengan sikap dan pandangan beberapa kepala negara dunia berkembang seperti Presiden Hugo Chavez dari Venezuela.
Pandangan SBY tak pelak lagi dirumuskan oleh para konseptor politik luar negeri RI yang tidak tahu persoalan apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah. Betapa tidak. Pernyataan Presiden SBY tersebut yang menggunakan istilah Konflik bersenjata dan peran dunia internasional, maka bisa ditafsrikan sebagai dukungan penggusuran Asad dengan menggunakan isu demokrasi dan pelanggaran hak-hak asassi manusia sebagai pembenaran agar dunia internasional melakukan isolasi total terhadap Presiden Assaad. Padahal. Presiden Hugo Chavez dari Venezuela beberapa waktu berselang justru telah mengluarkan sikap yang jauh lebih progresif daripada Presiden SBY.
Dengan menyatakan diri berada dalam satu sikap dan haluan dengan Rusia dan Cina yang sudah terlebih dahulu mengecam campur-tangan AS di Suriah, Hugo Chavez menegaskan bahwa mendukung gerakan penggulingan kekuasaan Presiden Bashar Assaad berarti secara terang-terangan melakukan pelanggaran kedaulatan nasional Suriah.
Para konseptor politik luar negeri RI yang berperan di balik penyusunan pidato-pidato Presiden SBY dalam masalah-masalah luar negeri, sepertinya tidak punya gambaran sama sekali apa sejatinya krisis di Suriah saat ini.
Kalau mereka mau menelisik beberapa dokumen-dokumen seperti DEBKAfile dan sumber-sumber intelijen, pasukan khusus Inggris dan Perancis khusus sejak awal meski tidak terlibat dalam pertempuran langsung dengan pasukan Suriah. Namun mereka berperan aktif sebagai penasihat strategi, mengatur serangan serta komunikasi bagi para pemberontak serta memberikan bantuan terkait senjata, amunisi serta memasok kebutuhan logistik.
Nah. Dengan latarbelakang ini, masih tepatkah SBY dalam pidato terkait krisis Suriah memakai frase menghentikan konflik bersenjata dan peran dunia internasional? Seakan pemerintahan sah Presiden Asad dan kelompok pemberontak yang didukung Inggris dan Perancis berada dalam posisi yang sama dan sederajat?
Facebook Comments