Invasi Militer Berkedok “Perang Saudara” Untuk Melumpuhkan Kedaulatan Bangsa Suriah

Bagikan artikel ini

Pada 8 Desember 2024 merupakan tragedi nasional bagi bangsa Suriah, khususnya, sekaligus merupakan peringatan tanda bahaya bagi bangsa-bangsa yang masih menguasai kedaulatan nasionalnya di seluruh dunia. Presiden Suriah Bahsar al-Assad ditumbangkan secara paksa melalui agresi militer gabungan AS-NATO.

 

 

Ironisnya lagi, serentak seturut runtuhnya kekuasaan Presiden Assad, muncul narasi bahwa akibat keterlibatan Iran, Rusia dan kekuatan-kekuatan multipolar lainnya yang berada di balik kekuasaan Bashar al-Assaad itulah, krisis Suriah berlangsung sejak 2011 hingga lengsernya presiden Suriah tersebut. Namun, perspektif atau cara pandang seperti itu terlalu mengada-ada dan tidak mengubah apapun.

Jadi, apa tujuan dan konsekwensi yang hendak dicapai oleh persekutuan AS-NATO berikut agen-agen proksinya yang tergabung dalam Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), dengan tumbangnya pemerintahan Assad?

 

Baca sebagai pembanding: Syria:

Yet Another Sovereign Nation Destroyed in US-NATO Aggression Against the World

 

Hulu penyebab dari krisis Suriah sejak 2011 yang mencapai titik puncaknya dengan kejatuhan Assad harus ditelisik ketika sejak 2011 itu pula secara de fakto AS dan NATO telah melancarkan invasi militer ke Suriah. Seraya mendukung dari belakang layar terhadap kelompok-kelompok milisi lokal yang tergabung dalam Free Syrian Army, yang mana kemudian melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan Suriah yang sah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad. Merujuk pada kajian yang ditulis M Arief Pranoto dan Hendrajit dalam bukunya bertajuk Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru (2018), terbitan Global Future Institute, ketika skenario Arab Spring yang berhasil menggulingkan Presiden Ben Ali (Tunisia) dan Hosni Mobarak (Mesir) ternyata gagal digunakan terhadap Moammar Khadafi di Libya, dan Bashar al-Assad di Suriah, maka skenario people power berbasis non-kekerasan yang berhasil diterapkan di Tunisia dan Mesir namun gagal di Libya dan Suriah, kemudian diubah menjadi Skenario Perang Saudara berbasis konflik bersenjata. Antara pasukan militer pemerintahan Assad yang berdaulat versus pasukan milisi pemberontak yang didukung dari belakang oleh AS, Inggris dan Prancis.

Akkhirnya, Assad tumbang akibat agresi militer aliansi militer Barat yang dimotori AS-NATO. Dalam konstelasi yang krusial dan membahayakan kedaulatan nasional Suriah tersebut, Suriah sangat masuk akal jika meminta bantuan kekuatan tandingan. Yaitu Iran dan Rusia pada 2015.

Dengan demikian, Skenario Perang Saudara sejatinya merupakan rekayasa AS-NATO sebagai kedok dilancarkannya agresi militer merebut kedaulatan nasional Suriah. Namun demikian, aliansi militer blok Barat tersebut tidak semudah dibayangkan semula untuk menggusur pemerintahan Assad.  Ternyata harus memakan waktu 13 tahun.

Kalau menelisik secara kilas balik, nampak jelas ternyata bukan saja AS dan NATO yang melakukan intervensi di Suriah sejak 2011. Melainkan juga melibatkan Turki yang hingga kini masih tergabung sebagai negara non-eropa di dalam persekutuan militer atlantik utara (NATO) yang sebagian besar merupakan negara-negara Eropa Barat.

 

Misalnya saja, di daerah  Al Tanf yang praktis dikuasai pasukan pemberontak yang sekaligus juga secara de fakto merupakan daerah pendudukan tentara AS, adapun daerah Idlib di Suriah Utara, merupakan basis pasukan milisi pemberontak yang berafiliasi dengan Al-Qaeda  dan didukung oleh Turki.

Dengan itu, Al Tanf dan Idlib merupakan daerah basis militer para pemberontak yang didukung AS-NATO, yang di dalamnya termasuk Turki, dan dari kedua daerah itulah pasukan pemberontak yang didukung AS dan sebagian besar personil pasukannya berasal dari suku Kurdi, menjadikannya sebagai daerah basis operasi.

Kalau di Ukraina AS memasang agen proksinya, Zelensky, memimpin pemerintahan boneka yang dikendalikan AS-NATO, di Suriah mereka memasang  ” Ahmed Hussein al-Shar’a , yang namun lebih dikenal dengan nama samaran Al-Qaeda-nya, Abu Mohammad al-Julani. pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Sekadar informasi, HTS sebelumnya dikenal dengan Front Al-Nusra. Meski di permukaan AS-NATO menetapkan Ahmed Hussein al-Shar’a alias Abu Mohammad al-Julani, dan menawarkan imbalan sebesar 10 juta dolar AS bila mampu menangkap dan menemukan keberadaan Abu Mohammad al-Julani, namun anehnya stasiuh televisi AS terkemuka CNN, dengan mudah bisa mengakses Julani dan mewawancarainya. Berarti, pihak AS dan Barat sudah tahu dimana Julani berada. Sehingga Julani sejatinya merupakan agen intelijen AS-NATO juga.

Indikasi berikutnya, juga sangat benderang. Julani terungkap memiliki bisnis yang cukup menguntugkan di Turki. Padahal, Turki bagaimanapun juga, hingga kini masih tergabung dalam persekutuan militer dengan AS dan Eropa Barat yang tergabung dalam NATO. Tentu saja fakta tersebut secara jelas menggambarkan adanya dukungan dan perlindungan Turki, yang tentunya juga atas restu AS dan NATO, terhadap Abu Mohammad al-Julani.

Namun demikian, fakta tersebut menyingkap sebuah kemungkinan baru ke depan, yaitu ambisi geopolitik Suriah untuk menguasai wilayah Suriah dengan merujuk pada kejayaan Dinasti Ustmaniah di masa silam. Ambisi geopolitik Neo-Ottoman? Bisa jadi ambisi geopolitik tersebut ada dalam benak Presiden Turki Erdogan. Mengingat fakta sejarah masa silam bahwa Dinasti Usmaniah pernah menguasai Suriah dan beberapa negara Muslim di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, di Kaukasus Selatan, Eropa Tenggara, dan bahkan Asia Tengah. Ambisi Erdogan maupun para pemimpin nasional Turki untuk mengulang kejayaan silam Turki sangat mungkin terjadi di masa depan.

 

 

Namun, apakah skenario mencaplok geopolitik Suriah bakal berhasil dan terlaksana secara efektif? Besar kemungkinan Erdogan bisa salah perhitungan dan kalkulasi. Sebab, untuk mewujudkan hal itu perlu mengenali simpul-simpul dari apa yang disebut sebagai kelompok oposisi. Adakah secara nyata apa yang disebut kelompok oposisi? Kalau yang dimaksud adalah kekuatan oposisi yang disatukan oleh visi dan strategi nasional yang sama, sepertinya tidak ada. Sebab yang ada hanyalah faksi-faksi umumnya bersifat kedaerahan dan primordial.

Beberapa faksi seperti Free Syrian Army (FSA), Syrian National Army (SNA), Syrian Defense Force (SDF), bukanlah kekuatan dan satuan politik yang utuh dan solid. Dan masing-masing faksi pastinya tak akan mau mengalah memperoleh  porsi kekuasaan yang mereka rasa adil. Sehingga jika nantinya sistem pemerintahan Suriah mengadopsi sistem politik demokrasi multi-partai dan parlementer, pada perkembangannya bisa menjelma menjadi demokrasi berbasis SARA alih-alih demokrasi berbasis nasionalisme kerakyatan apalagi demokrasi berbasis masyarakat sipil. Sehingga Suriah pasca Assad berpotensi untuk terpecah-belah seperti Yugoslavia.

Dalam situasi yang lepas kendali dan rumit seperti itu, AS dan negara-negara Barat yang sebenarnya tidak mempunyai hubungan baik dengan faksi-faksi pemberontak tersebut, maka skenario yang sangat mungkin terjadi adalah AS akan menyerahkan pada Turki untuk menangani secara langsung konflik yang berlangsung pasca tumbangnya Assad tersebut.

Maka dalam skenario keterlibatan Turki dalam situasi Suriah Pasca Assad, Presiden Erdogan bisa saja akan memerintahkan invasi militer ke daerah-daerah Suriah yang selama ini dikuasai oleh SDF yang didominasi oleh suku Kurdi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, AS dan Turki akan terlibat dalam pertikaian secara tidak langsung di daerah-daerah Suriah yang dikuasai Kurdi.

Maka, yang akan jadi korban adalah rakyat atau warga sipil Suriah pada umumnya, anak-anak dan wanita pada khususnya.  Apakah memang itulah tujuan sesungguhnya invasi militer AS-NATO dengan berkedok mendorong skenario Perang Saudara di Suriah, adalah untuk melumpuhkan kedaulatan nasional Suriah? Sengaja atau tidak sengaja, situasi Suriah pasca Assad memang praktis mengarah pada lumpuhnya kedaulatan nasional Suriah.

Dalam skenario kemungkinan seperti gambaran di atas, nampaknya demokrasi dan hak-hak asasi manusia seperti yang diagung-agungkan di AS dan negara-negara Barat pada umumnya, sama sekali tidak akan terwujud dan bisa membumi di Suriah. Jangan-jangan, seperti judul buku karya William Blum, Demokrasi merupakan ekspor AS paling mematikan. Ketika demokrasi dan hak-hak asasi manusia diterapkan di negara-negara yang berbeda nilai-nilai dan tradisinya, demokrasi bukannya sarana penyalur aspirasi rakyat dan masyarakat sipil. Melainkan pintu pembuka terpecah-belahnya suatu bangsa yang semula bersatu dan berdaulat.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com