Sudah rahasia umum kalau Amerika Serikat dan Inggris merupakan sekutu tradisional dan sekutu strategis sejak Perang Dunia I dan II, maupun Perang Dingin. Namun liputan investigasi yang dilakukan oleh harian Inggris, The Telegraph, tetap saja mengejutkan. Hasil liputan investigatif harian the Telegraph menyingkap keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris dalam memberikan pelatihan militer kepada milisi bersenjata Suriah yang menyebut dirinya the Revolutionary Commando Army (Pasukan Komando Revolusioner) yang erat kaitannya dengan Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Yang mana pelatihan militer yang diberikan AS dan Inggris tersebut, sebagai rangkaian dari operasi militer menggulingkan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Baca:
Manufacturing rebels: How the UK and US empowered HTS
Investigasi the Telegraph tentu saja merupakan temuan baru yang cukup mengejutkan. Sebab melalui liputan investigatif tersebut terungkap bahwa Washington bukan sekadar mengetahui adanya rencana aksi bersenjata berskala massif untuk menggulingkan Assad, melainkan juga mempunyai informasi yang sangat akurat mengenai skala operasi militer yang akan dilancarkan oleh Pasukan Komando Revolusioner (RCA).
Temuan the Telegraph tersebut barang tentu semakin mengonfirmasi adanya kerja sama secara diam-diam antara AS, Inggris, dan RCA yang merupakan organ sayap milisi bersenjata yang melekat dengan HTS. Perang Saudara yang berkepenjangan antara pasukan pemerintahan Bashar al-Assad versus pasukan pemberontak yang yang terdiri dari beberapa milisi bersenjata seperti Jabal al-Nusra maupun Free Syrian Army, pada perkembangannya membuka pintu masuk campurtangan asing seperti terungkap jelas lewat liputan investigasi the Telegraph.
Meskipun ada banyak faksi-faksi kelompok milisi bersenjata yang bertumpu pada persekutuan yang bersifat cair, dan mudah terpecah-belah, bahkan tak jarang kerap beralih pihak, namun banyak bukti menunjukkan bahwa AS maupun Inggris dengan sengaja telah menjalin persekutuan jangka panjang dengan unsur-unsur milisi bersenjata yang didominasi oleh HTS.
Sebagai misal, pada Maret 2021, James Jeffrey, mantan utusan khusus Presiden terpiliah AS Donald Trump, mengungkap lewat wawancara dengan PBS, yang mana ia mengungkap bahwa Washington telah memperoleh “izin khusus” dari menteri luar negeri saat itu Mike Pompeo untuk membantu HTS.
Implikasi dari izin khusus Menteri Luar Negeri Pompeo ketika itu, meski Washington tidak mengizinkan pemberian bantuan dana atau bantuan senjata kepada para pemberontak Suriah, namun jika sumberdaya yang kemudian dipasok ke Suriah ujung-ujungnya akan sampai ke tangan HTS dan RCA, para pejabat pemerintah AS yang terlibat operasi bantuan rahasia kepada HTS tersebut, akan terbebas dari tanggungjawab hukum di kelak kemudian hari.
Bagi AS dan Inggris, bantuan persenjataan kepada HTS dan RCA memang merupakan komponen yang dipandang paling vital. Dalam sebuah wawacara pada 2015 lalu, juru bicara CENTCOM Letnan Kyle Raines, ditanya mengapa senjata pasukan pemberontak yang sudah diperiksa Pentagon (kementerian pertahanan AS) kemudian bisa-bisanya berada di tangan milisi bersenjata Jabal al-Nusra (sebagai pendahulu dari HTS). Ketika itu Letnan Kyle Raines menjawab: “Kami tidak memerintah dan mengendalikan pasukan ini (maksudnya jabal al-nusra). Kami hanya melatih dan memberdayakan mereka.”
Bukankah di balik penyangkalan Letnan Kyle Raines tersebut mengandung pengakuan bahwa AS dan Inggris memang memainkan peran membesarkan RCA dan HTS (kelanjutan dari Jabal al-Nusra)? Meskipun Kyle Raines mencoba mengelak dengan mengatakan bahwa dengan siapa mereka memutuskan bersekutu, itu hak dari HTS dan RCA, namun penyangkalan tersebut malah semakin mengonfirmasi bahwa AS dan Inggris memang sejak awal memainkan peran vital membantu pasukan pemberontakan penggulingan Presiden Assad.
Kiranya tak masuk akal kalau AS dan Inggris bersedia membantu pelatihan militer HTS dan RCA tanpa berharap memperoleh keuntungan dari bantuan pelatihan militer tersebut.
Justru adanya pelatihan militer yang diberikan kepada HTS itulah, Washington mendapat celah untuk secara tidak langsung dan tersamar membantu pasukan pemberontak yang didominasi oleh HTS. Maka menarik ketika Washington menggunakan standar ganda. Pada satu sisi, Washington tetap mengenakan status kepada HTS sebagai organisasi teroris, berikut janji akan memberikan hadiah 10juta dolar AS bagi siapa saja yang berhasil memberikan informasi ihwal keberadaan pemimpinnya Abu Mohammad al-Julani.
Namun seturut runtuhnya pemerintahan Bashar al-Assad, Washington membatalkan janjinya karena sekarang, Abu Mohammad al-Julani, bukan saja kembali menggunakan nama aslinya yaitu Ahmad al-Sharaa, namun sekarang secara de fakto Al-Julani merupakan tokoh sentral HTS yang memegang tampuk kekuasaan di Suriah.

Abu Mohammed al-Jolani spoke to supporters at the Umayyad Mosque in Damascus hours after the overthrow of Bashar al-Assad. Sumber: https://www.bbc.com/news/articles/c0q0w1g8zqvo
Di sinilah kemunafikan AS nampak jelas, melalui pernyataan James Jeffrey, mantan utusan khusus Presiden terpiliah AS Donald Trump, dengan mengistilahkan HTS sebagai pilihan terbaik di antara yang terburuk, untuk mempertahankan apa yang ia istilahkan mempertahankan “sistem keamanan yang dikelola AS/ US-managed security system di kawasan Timur-Tengah. Dengan kata lain, mendorong operasi militer berskala massif yang berujung tumbangnya Presiden Assad, dimaksudkan untuk tetap melestarikan hegemoni AS di Timur-Tengah. Utamanya mengamankan pasokan minyak dan gas bumi dari Timur-Tengah.
Keberhasilan menggulingkan Assad, bukan saja menguntungkan Washington. Pada perkembangannya juga menguntungkan Turki, yang sekarang mendapat platform untuk beroperasi secara leluasa di daerah Idlib.
Selain itu, manuver Inggris pasca jatuhnya Assad juga semikin nyata. Begitu Assad tumbang dari kekuasaan, para pejabat pemerintah di London langsung memainkan peran utama melegitimasi HTS sebagai pemerintahan sementara Suriah. Dengan kata lain, Inggris mengakui HTS sebagai penguasa baru yang sah di Suriah menggantikan Assad.
Padahal pada 2017 lalu Inggris juga termasuk yang mengenakan status HTS sebagai organisasi teroris, bahkan menyebut HTS sebagai organ alternatif dari Al-Qaeda setelah organ yang disebut terakhir tersebut dilarang. Selain itu sikap standar ganda Inggris juga nampak jelas lewat investigasi the Telegraph. Sementara perdana menteri Inggris Keir Starmer secara resmi menyatakan terlalu dini mencabut status HTS sebagai organisasi teroris, namun pada Desember 2024 para pejabat Inggris telah mengadakan pertemuan dengan HTS, padahal kalau konsisten dengan pernyataan Keir Starmer tadi, pertemuan pada 16 Desember 2024 tersebut sejatinya bersifat ilegal.
Apapun kontroversi terkait penetapan status HTS sebagai organisasi teroris, melalui investigasi the Telegraph tersebut nampak jelas bahwa bagi AS maupun sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO terutama Inggris, pada kenyataannya hanya obyek untuk dipolitisasi saja. Sehingga rehabilitasi terhadap status HTS pun sejatinya semata atas dasar pertimbangan politis. Dengan begitu, juga sebalikya, ketika menetapkan status kepada organisasi Islam sebagai organisasi teroris pun juga atas dasar pertimbangan politis. Bukan benar atau tidaknya teroris.
Dokumen-dokumen rahasia pemerintah Inggris yang berhasil diakses the Telegraph, juga mengungkap adanya operasi psikologis yang dilancarkan Inggris untuk mempromosikan adanya kelompok Islam moderat. Sehingga membangun kesan seakan-akan Inggris bermasudk melemahkan kelompok-kelompok Islam radikal seperti HTS, ISIS, dan Al-Qaeda.
Namun, dokumen-dokumen yang bocor dari intelijen Inggris mengungkapkan bagaimana HTS tetap terkait dengan Al-Qaeda pasca-2016, yang secara langsung bertentangan dengan narasi yang disampaikan pelbaga media pro Barat. Maka inilah ironinya. HTS yang selama ini disandingkan dengan Al-Qaeda, dan disebut sebagai kaum fundamentalis Muslim, ternyata sekarang muncul sebagai penguasa baru Suriah pasca Assad.
Dokumen-dokumen Inggris juga mengolok-olok pernyataan umum bahwa HTS memutuskan semua hubungan dengan Al-Qaeda pada tahun 2016. Sebuah berkas tahun 2020 menjelaskan bagaimana Al-Qaeda “hidup berdampingan” dengan HTS di wilayah Suriah yang diduduki, menggunakannya sebagai landasan peluncuran untuk serangan transnasional.
Lagi-lagi ini fakta menarik. Bukankah penyingkapan dari investigasi the Telegraph itu membuktikan bahwa Inggris pun dari awal mendukung dari belakang layar kepada Al-Qaeda dan HTS yang sejatinya masih serumpun? Lantas, kalau kita menelaah Kembali hasil investigasi the Telegraph yang mengungkap adanya dokumen Inggris yang memperingkatkan bahwa dominasi HTS di Suriah pada gilirannya akan memberi tempat perlindungan yang aman bagi Al-Qaeda, bukankah hal itu juga sama saja dengan pengakuan bahwa Al-Qaeda dan HTS sejatinya memang merupakan agen-agen proksi AS dan Inggris?
Proksi atau bukan, namun temuan the Telegraph yang mengindikasikan bahwa pemerintah AS memang sudah tahu sebelum RCA melancarkan serangan ofensif militer terhadap pemerintahan Assad, terlihat melalui dua indikasi. Pertama, pertemuan rahasia di pangkalan udara Al-Tanf, yang dikuasai AS di dekat perbatasan Yordania dan Irak. Dalam pertemuan tersebut milisi RCA diberi semangat bahwa ini adalah momentum bagi mereka. Assad akan jatuh atau para milisi pemberontak itu yang akan jatuh. Pihak militer AS tidak memberitahu kapan serangan itu dilancarkan. Namun mereka harus siap.
Rupa-rupanya, para perwira militer AS di pangkalan udara Al-Tanf, bukan saja memberi dukungan dari belakang. Bahkan secara pro aktif memperbesar barisan RCA dengan menyatukannya dengan pasukan gurun Sunni dan pasukan pemberontak lainya yang juga dilatih, didanai, dan diarahkan oleh Inggris/AS yang beroperasi di luar Al-Tanf di bawah komando bersama.
Sepertinya ini khas operasi intelijen Inggris. Seperti pada Perang Dunia I, Inggris menggalang dukungan suku-suku Arab untuk mengalahkan persekutuan Jerman-Turki, menggunakan ahli purbakala Arab Thomas Edward Lawrence, menggalang dan membina Syarif Husein bin Ali. Ketika Turki Utsmani dan Jerman kalah, Inggris menghadiahi Dinasti Syarif Husein bin Ali Irak dan Yordania. Namun saat yang sama, Inggris juga membina proksi lainnya, yang dimotori oleh Abdul Azis bin Ibnu Saudi, pemimpin cikal bakal Arab Saudi saat ini. Akankah sejarah terulang ketika kemudian faksi-faksi politik yang semula bersatu saat berhasil menggulingkan Presiden Assad, lantas terpecah-belah berebut pembagian wilayah Suriah?
Mungkin kunci jawabannya ada pada keberadaan RCA kini dan kelak. Sebab kalau para perwira militer AS berperan dalam memperbesar barisan pasukan RCA, berarti dalam tubuh RCA juga terdapat elemen-elemen kelompok lain yang diintegrasikan ke dalam pasukan RCA. Dan seperti dokumen-dokumen yang terungkap melalui liputan investigasi The Telegraph, komunikasi antar pasukan di dalam RCS itu dikoordinasikan oleh AS.
Maka tak heran jika dengan arahan militer dari AS, RCA mampu melancakan serangan militer kilat RCA merebut wilayah-wilayah penting di seluruh Suriah atas perintah terang-terangan dari AS. Menariknya lagi, seperti terungkap dalam dokumen hasil investigasi the Telegraph, RCA bahkan bergabung dengan faksi pemberontak lain di kota selatan Deraa, yang mencapai Damaskus sebelum HTS. RCA sekarang menduduki sekitar seperlima wilayah negara itu, kantong-kantong wilayah di Damaskus, dan kota kuno Palmyra.
Dokumen yang berhasil diakses the Telegraph juga mengungkap bahwa Semua anggota pasukan pemberontak selain dipersenjatai oleh AS, juga menerima gaji sebesar $400 per bulan, hampir 12 kali lipat dari gaji yang diterima prajurit Tentara Arab Suriah (SAA).
Sekarang milisi pemberontak yang didukung AS dan Inggris sudah menang, berhasil menggulingkan Assad. Apakah bantuan pendanaan dan pelatihan militer langsung terhadap RCA dan milisi ekstremis lain yang menggulingkan pemerintahan Assad masih akan berlanjut hingga saat ini?
Boleh jadi itu bukan pertanyaan paling penting saat ini. Masalah krusial pasca jatuhnya Assad, mungkinkah faksi-faksi dan milisi yang semula bersekutu dan satu barisan, masih tetap akan bersatu dalam Suriah Pasca Assad?
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)