Telaah Kecil Geopolitik
Tampaknya, isu serangan (polisi) Israel ke Masjid al-Aqsa pada malam ke-27 ramadhan 2021 saat warga muslim Palestina tengah itikaf, menimbulkan berbagai peristiwa yang justru lebih besar.
Adapun peristiwa lain dimaksud antara lain ialah:
1. Memantik saling serang secara terbuka via roket-roket antara Israel versus Palestina cq Hamas selama beberapa hari. Dan kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan kerusakan infrastruktur kedua belah pihak;
2. Muncul gelombang dukungan lintas agama dan ras terhadap Palestina di pelbagai belahan dunia;
3. Mulai muncul perubahan lanskap geopolitik di Dunia Arab.
Untuk poin pertama dan kedua tidak perlu analisis secara mendalam karena dapat disaksikan langsung melalui media cetak, elektronik, maupun online dan media sosial, sedang poin ketiga —perubahan lanskap geopolitik— mari kita ulas di bawah ini.
Ya. Bahwa Yordania selama ini cenderung pro-Barat. Bahkan ada yang menyebut Yordan sebagai proxi —boneka— Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, isu al-Aqsa telah membuat Yordan kembali ke “fitrah”. Ya. Yordan kini berpihak ke Palestina. Apa bukti?
Usai serangan Israel ke al-Aqsa, beredar statement terkait peristiwa dimaksud: “Saya umumkan bahwa jika Israel melanjutkan serangan terhadap masjid al-Aqsa, Turki dan Yordan akan terlibat dalam konflik ini,” ujar Erdogan. Luar biasa.
Lebih menarik lagi, Arab Saudi yang selama ini ‘diam’ atas kebrutalan Israel terhadap Palestina, kini mengutuk tindakan Israel di Yerusalem. Raja Salman menegaskan dukungan Arab Saudi ke Palestina.
Itulah perubahan kecil lanskap geopolitik di Dunia Arab pada awal konflik yang dipicu oleh isu al-Aqsa.
Retorikanya adalah, “Apakah perubahan lanskap tadi akan berhenti, menyusut lalu mati; atau, ia terus membesar seperti bola salju?”
Kita lanjutkan ulasan kecil ini.
Tak boleh disangkal, peperangan (“abadi”) antara Israel versus Palestina memang bukan konflik agama meskipun kerap kali (perang meletus) dipicu isu agama sebagaimana kejadian al-Aqsa.
Dari perspektif geopolitik, ekspansi Israel ke Palestina merupakan praktik teori ruang (living space) atau lebensraum yang tengah dijalankan oleh Israel. Itu inti geopolitik. Manusia butuh negara dan negara butuh ruang hidup. Frederich Ratzel merumuskan, hanya bangsa yang unggul yang dapat bertahan hidup serta langgeng dan membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi.
Agaknya Israel mengamalkan teori Ratzel, ia merasa sebagai ras unggul di muka bumi dan membenarkan (hukum) ekspansi ala Ratzel.
Kenapa demikian, telah berulang-kali peperangan meletus antara Palestina melawan Israel, dan sudah berkali pula resolusi DK-PBB —data penulis 2010, ada sekitar 68 resolusi— dilanggar oleh Israel. Uniknya, baik PBB, publik global terutama Dunia Arab selama ini ‘diam-diam’ saja atas pelanggaran tersebut. Entah publik tak peduli, atau karena hebatnya propaganda, lobi dan deception Israel?
Reaksi publik paling sebatas solidaritas lintas agama dan kemanusian dimana dukungan pun akan mereda seiring waktu. Begitu-begitu saja. Tidak ada tindak lanjut serta sanksi riil atas pelanggaran Israel.
Selama ini, tak ada reaksi secara terbuka meskipun sebenarnya ada dukungan secara sembunyi dari beberapa negara di sekitarnya terutama dukungan persenjataan terhadap Palestina; atau, donasi terbuka atas nama kemanusiaan dari berbagai negara dan lain-lain.
Sekali lagi, pertanyaannya: “Apakah cuma begitu-begitu saja?”
Bersambung ke Bagian ke 2
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments