600 SM: Yerusalem ditaklukkan oleh Raja Nebudkadnezar II dari Babylonia, namun pada 500 SM — Cyrus Persia mengalahkan Babylonia, lalu mengijinkan kembali Israel masuk lagi ke Yerusalem;
330 SM: Israel ditaklukkan oleh Alexandder Agung dari Macedonia/Yunani, dan pada 300 SM — Yunani dikalahkan Romawi, maka praktis Palestina dikuasai oleh Romawi dan berkuasa sampai ratusan (600-an) tahun;
600 M: Yerusalem ditaklukkan oleh bangsa Arab atas komando Umar bin Khatab;
1099 M: Yerusalem ditaklukkan oleh tentara salib atas maklumat Paus Urbanus II, dan menguasai Yerusalem sekitar 80-an tahun lebih;
1187 M: Yerusalem ditaklukkan oleh Salahudin al Ayyubi dan bertakhta hampir 100 tahun. Dan hingga 1535 M, Yerusalem diperintah silih berganti oleh Ottoman Turki;
1917 M: Turki Ottoman kalah dalam Perang Dunia (PD) I. Yerusalem dalam kendali Inggris. Menlu Inggris, Arthur James Balfour dalam “Deklarasi Balfour” berjanji kepada Rothschild, pimpinan Zionis, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina guna mempercepat berdirinya tanah air bagi Yahudi. Kemudian Liga Bangsa-Bangsa (embrio PBB) memberi mandat ke Inggris untuk menguasai Palestina;
1924 M: Mustafa Kemal Ataturk menilai bahwa kemunduran khilafah akibat Islam. Maka jalan keluarnya —menurut Ataturk— ialah nasionalisme dan sekularisme seperti di Barat. Lantas, ia pun merebut kekuasaan kemudian membubarkan khilafah. Karenanya, tidak ada lagi ikatan antar-umat Islam sedunia bila ada muslim jatuh dalam penderitaan. Kenapa? Karena nasionalisme telah menggantikan solidaritas muslim;
1938 M: Nazi menganggap bahwa pengkhianatan Yahudi Jerman sebagai penyebab kekalahan pada PD-I, karenanya mereka perlu ‘penyelesaian terakhir’. Akibatnya, ratusan ribu Yahudi dikirim ke kamp konsentrasi, atau lari ke luar negeri. Kebanyakan ke AS. Dan usai PD-II, Yahudi mampu memframing isu holocaust karena mereka menguasai media dan kantor berita di dunia;
1944 M: Kondisi Palestina memanas, karena Inggris sengaja membiarkan Yahudi masuk Palestina guna mendorong pribumi Arab keluar dari sana;
1947 M: PBB merekomendasi pemecahan Palestina menjadi dua negara yakni Arab dan Israel;
1948 M: Berdiri negara Israel atas restu Inggris dan AS. Dan aneksasi terhadap wilayah Palestina terus berlangsung sehingga wilayah Israel semakin hari kian meningkat;
1967 M: Perang antara Israel melawan empat koalisi negara Arab dimenangkan oleh Israel, sehingga Dataran Tinggi Golan (Syria) dan Gurun Sinai (Mesir) menjadi milik Israel;
2017 M: ibukota Israel dipindah dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Itulah singkat kronologis tentang seluk beluk konflik antara Israel-Palestina. Penulis menyadari, kekuranglengkapan data dan masih ‘bolong-bolong’. Akan tetapi, ada learning points yang dapat diambil, bahwa dimana ada Israel di suatu tempat, misalnya, selalu saja timbul kekacauan, huru-hara, muncul konflik-konflik dan lain-lain di wilayah tersebut. Mengapa demikian?
Teringat statement Henry Banner, PM Inggris pada masanya (1906):
“Ada sebuah bangsa (Arab/umat muslim) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, bahasa, sejarah dan aspirasi yang sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya.
Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara, maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika).
Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah ‘Organ Asing’ harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. ‘Organ Asing’ itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkan” (JW Lotz, 2010).
Nah, merujuk pada learning points yang dipetik dari kronologis singkat tentang keberadaan konflik berlarut di Yerusalem serta mencermati secara seksama statement Henry Bannerman, PM Inggris pada masanya — maka bisa diambil simpulan sementara bahwa ‘Organ Asing’ tersebut tak lain dan tak bukan adalah Israel.
*) Bersambung ke Bagian 4
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)