Israel Versus Palestina (Bagian ke 4/Habis)

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Geopolitik
Tak boleh dipungkiri, hakiki Israel hanyalah sebuah bangsa — bukan negara. Ketika memproklamirkan diri tahun 1948, ia layak disebut negara imigran atau negara pengungsi. Maka ibarat menumpang hidup di tanah yang bukan miliknya, kelak bakal terusir dari tanah yang diduduki.
Titik mula ialah janji Menlu Inggris James Balfour bagi Yahudi untuk sebuah “tanah air” di Palestina kepada Zionis Internasional via tokohnya Dr. Chaim Weizmenn. Hal itu dilakukan karena jasa-jasa Zionis membuat bahan peluru (cordite) hingga Britania Raya menang perang. Lalu diterbitkan Deklarasi Balfour 1917 oleh Inggris yang intinya menjanjikan “negara” bagi Yahudi.
Budaya, Falsafah dan Dogma Yahudi
Aliyah merupakan budaya Yahudi yang penting karena sebagai dasar konsep Zionisme. Aliyah itu bahasa Ibrani. Artinya naik atau terus keatas. Ia ditempatkan dalam aturan (UU) Kepulangan Yahudi ke Israel yang mengizinkan setiap orang Yahudi memperoleh hak-hak hukum berimigrasi, menetap dan memperoleh kewarga-negaraan secara otomatis. Banyak yang mengatakan bahwa aliyah merupakan konsep dasar kepulangan Yahudi ke “tanah perjanjian”.
Falsafah hidup Isarel ialah parasit. Dimana bumi dipijak maka harus mati bersama yang ditumpangi. Negara yang dihinggapi secara perlahan bakal binasa. Itulah ciri Yahudi dimanapun, selalu membuat prahara bagi lingkungan, bahkan matinya pun mengajak bersama-sama. Hebatnya, ia mampu mengelabuhi warga empunya tanah sehingga si empu tak menyadari bahwa “ambruk”-nya suatu negara akibat tindak-tanduknya.
Dogma yang ditanamkan kepada warganya ialah bangsa paling mulia di muka bumi. Ras pilihan yang berasal dari jiwa Tuhan. Oleh sebab itu, tatkala dahulu Nazi memburu dan membantai Yahudi (holocaust), maka Adolf Hitler mematahkan teori dan dogmanya.
Berbekal budaya, falsafah dan dogma itulah menjadi pembenaran atas segala tindak-tanduk. Kecerdikan (dan kelicikan) senantiasa mengiringi langkah agar tuan sang pemilik tanah tidak bisa melawan.
Akan tetapi, tampaknya ada “duri dalam daging” pada gerakan Zionisme Internasional, justru berasal dari kelompok Yahudi Neturei Karta (ortodoks) yang berpusat di AS. Ortodoks menyebut bahwa Talmud sebagai kitab iblis telah mencemari Taurat yang diturunkan Tuhan kepada Musa. Kelompok ini meyakini —ajaran Yudaisme— bahwa menjadi takdir kaumnya tidak memiliki negara. Ia tidak setuju Israel diproklamirkan. Zionis dianggap telah menodai Yudaisme dan menunggangi demi ambisi politik. Dalam ajaran Yudaisme tak mengenal Talmud dan Israel, Kata sang Rabbi Yisroil Dovid Weiss dari Kelompok Neture Karta. Bahwa antara kedua isme, kendati sama-sama Yahudi ternyata berbeda dalam banyak hal.
Pertanyaan retorika, apakah itu cuma kontra guna memancing opini dan loyalitas publik terhadap Yahudi, ataukah untuk akselerasi perjuangan Zionisme? Biarlah waktu menjawab.
Terkait parasitisme Yahudi, negara atau wilayah yang dihinggapi hanya memperoleh hal yang “semu” dan akan mati secara perlahan.
Ada dua contoh besar sebagai rujukan guna membuktikan bahwa Yahudi (Israel) adalah bangsa parasit dunia, antara lain:
(1) jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah atau Turki Ottoman;
(2) runtuhnya Uni Soviet.
Ya. Hancurnya keemasan Islam yang dinahkodai oleh Turki Ottoman atau Kekhilafahan Utsmaniyah (1299-1923) akibat isu nasionalisme dan (separatisme) yang merebak. Hal ini disebabkan luasnya wilayah Utsmaniyah yang meliputi beberapa negara, bahkan lintas benua. Maka berkembangnya paham nasionalisme justru merupakan embrio separatis yang hendak memisahkan diri dari pusat.
Sekulerisme pun dihembuskan oleh Barat melalui putra-putri Turki Ottoman guna mengobrak-abrik dan menyerang konsep pemikiran Islam, juga gerakan misionaris merupakan hal tak terpisah dari tujuan imperialis Barat menghancurkan Turki Ottoman. Ia menabur perselisihan antar umat Islam dan umat agama lain. Dengan tata cara itu maka terbuka jalan bagi kekuatan luar (Barat) untuk intervensi ke domain internal Utsmaniyah berdalih keamanan. Itulah pola-pola yang dimainkan.
Terdapat dua faktor internal yang membuat Kekaisaran Turki lemah, antara lain:
Pertama, buruknya pemahaman tentang Islam;
Kedua, salah dalam penerapan ajaran Islam.
Tak dapat dipungkiri. Kedua faktor tersebut semakin memudahkan penitrasi nilai-nilai luar yang bertujuan meruntuhkan Turki Ottoman. Sekularisme yang “diciptakan” sebagai ajaran global berbasis modernisasi — dapat diterima baik sebelum, sesaat dan terutama pasca jatuhnya Turki Ottoman, bahkan hingga kini.
Gilirannya, naiknya Mustafa Kemal Pasha (Ataturk) menjadi Presiden I Turki Modern menandai berakhirnya sejarah keemasan Islam di muka bumi.
Singkat cerita, bahwa jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki selain kedua faktor internal tadi, juga karena masuknya paham sekulerisme di masyarakat melalui kedok nasionalisme, modernisasi dan seterusnya.
Di bawah komando Mustafa Kemal Ataturk yang sejak muda dididik (dikader) militer oleh Barat di Selanik dan Manastir, Yunani, dimana kedua kota tersebut merupakan pusat nasionalisme anti-Turki.
Dalam konteks sekulerisme, Mustafa merupakan pendiri Republik Turki Modern, bahkan disebut sebagai Bapak Sekuler Turki. Akan tetapi dalam sejarah Islam, ia dianggap penghianat, karena berkolaborasi dengan asing meruntuhkan kejayaan Utsmaniyah.
Runtuhnya Uni Soviet
Tahun 1991-an Uni Soviet bertekuk-lutut atas hegemoni Amerika Serikat (AS) musuh utama dalam Perang Dingin. Demokratisasi, liberalisme serta keterbukaan yang jelas-jelas merupakan ‘bagian dari methode’ AS dan sekutu guna menghancurkan musuh-musuh kapitalis dari sisi internal, mengapa justru digunakan rezim komunis (atas nama perubahan) mengendalikan negara yang berakar sistem sosialis sejak dulu? Lagi-lagi, api nasionalisme ditiupkan di tengah krisis ekonomi dan goncangan politik Uni Soviet.
Perubahan yang dicanangkan Mikhail Gorbachev melalui glasnost (keterbukaan) dan perestroika (demokratisasi) awalnya bertujuan merampingkan sistem komunis dan merangsang ekonomi agar keluar dari krisis, tetapi langkah tersebut justru blunder. Malah menjadi penyebab utama pecahnya Uni Soviet.
Akhirnya keruntuhan imperium komunis menjadi beberapa negara merdeka merupakan tanda berakhirnya Perang Dingin antara kapitalis versus komunis – antara Blok Barat dan Timur. Ya, Uni Soviet kini tinggal sejarah masa lalu.
Di mata Barat (AS dan sekutu), Gorbachev merupakan reformis yang patut diacungi jempol – diberi nobel penghargaan. Tetapi dari aspek pandang fundamentalis komunis, Gorbachev tidak ubahnya penghianat. Ia menjual martabat bangsa kepada kekuatan-kekuatan asing, musuh negaranya.
Ilustrasi diatas mungkin telah jelas, bahwa keruntuhan Turki Ottoman dan Uni Soviet disebabkan masuknya paham asing (Barat) mengatas-namakan perubahan, misalnya: nasionalisme, keterbukaan, reformasi, demokratisasi dan seterusnya berkedok ajaran (global wisdom) modernisasi.
Ya, kaum Yahudi meskipun minoritas namun pengaruhnya sangat besar di dunia. Pengaruh itu, disebabkan mereka memiliki interkoneksitas jaringan dan menguasai berbagai media. Hampir semua “jalur-jalur” menuju kekuasaan di negara-negara (terutama adikuasa) dikuasai. Mereka bekerja secara sinergis. Merajut jaringan di berbagai aspek dengan beragam kedok dan modus.
Isu Global: Propaganda Global?
Adakah disadari dunia bahwa isu hak azasi manusia (HAM) adalah propaganda yang sengaja diglobalkan supaya kaum Yahudi terhindar dari holocaust jilid ke-2 pasca pengusiran oleh Hitler; bukankah setiap agama atau negara manapun, niscaya punya tata cara dalam mengelola hak serta kewajiban warganya?
Sedangkan demokrasi dan liberalisme dihembuskan kencang-kencang agar ia bisa tampil memimpin suatu negara bahkan dunia; bukankah hampir semua bangsa di dunia niscaya memiliki budaya dan mekanisme guna memilih pemimpin masing-masing?
Ada hukum keseimbangan dilanggar. Yang mayoritas harusnya melindungi minoritas, yang minoritas harus tahu diri. Tetapi rasio dunia seperti terlelap oleh ilusi demokrasi, dan hukum keseimbangan dibolak-balik. Minoritas justru ‘mengendalikan’ mayoritas.
Sementara sekulerisasi digemborkan kian-kemari agar ajaran agama (hakiki) atau Tauhid tidak didalami oleh penganutnya. Lalu secara perlahan dibuat supaya umat agama lari kepada modernisasi. Ia putar-balikan kiblat umat agar tercengang dan menghamba kepada teknologi, tujuannya supaya sekulerisme menjadi ajaran (agama) global di jagat ini.
Dengan isu-isu atau stigma global diatas, Yahudi menghancurkan Turki Ottoman dan Uni Soviet melalui “kader-kader”-nya di negara yang dianggap membahayakan kepentingan cita-cita Zinonis. Pola dan tata caranya seolah-olah berbeda tetapi secara hakiki serupa. Hal yang sama niscaya dilakukan pada setiap bangsa dan negara yang ditumpanginya. Ya. Ia memang bangsa parasit.
Pertanyaan menggelitik muncul: “Bagaimana dengan AS?”
Kemungkinan Paman Sam bakal menyusul pasca runtuhnya Uni Soviet era 1991-an. Kenapa demikian, oleh karena sangat dominan dan berperannya American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC) sebagai lembaga lobi di Paman Sam merupakan salah satu indikasi kuat. Tunggu saja apa yang bakal terjadi. Sekali lagi, Israel itu memang bangsa parasit di muka bumi.
“Dunia hanya mungkin aman dan damai manakala Israel Zionis dipindahkan ke planet lain,” kata Buya Ahmad Syafii Maarif mengutip Gilad Aztmon.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com