Jakarta Melepas Ke-ibukota-an: Momentum Betawi sebagai Nama Provinsi

Bagikan artikel ini

Jakarta telah lama menjadi episentrum politik, ekonomi, dan budaya Indonesia, sekaligus magnet urbanisasi terbesar di Nusantara. Sebagai kota melting pot, Jakarta menjadi wadah bercampurnya berbagai budaya dari seluruh Indonesia, menciptakan dinamika sosial yang kompleks dan khas. Namun, tingginya urbanisasi yang terus berlangsung juga membawa dampak signifikan terhadap budaya lokal, terutama tradisi dan budaya Betawi yang semakin terpinggirkan. Dalam hiruk-pikuk modernisasi, nilai-nilai tradisional Betawi kerap kehilangan tempatnya di tengah gempuran budaya urban yang seragam.

Selain itu, pembangunan dan lanskap Jakarta yang dirancang pemerintah sering kali kurang memberikan perhatian penuh terhadap seni dan budaya Betawi. Misalnya, pembangunan kawasan seperti Sudirman Central Business District (SCBD) dan revitalisasi kota tua lebih menonjolkan estetika modern dan komersial dibandingkan kearifan lokal Betawi. Ruang publik seperti taman dan jalur pedestrian jarang mengintegrasikan elemen-elemen budaya Betawi secara signifikan, baik dalam desain maupun fungsi. Akibatnya, ikon budaya Betawi menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di tengah masyarakat Jakarta yang semakin majemuk.

Sebagai perbandingan, kota Yogyakarta berhasil mempertahankan identitas budayanya melalui berbagai elemen perkotaan yang merefleksikan kearifan lokal. Dari tata ruang hingga landmark seperti Malioboro, masyarakat dapat merasakan aura budaya Jawa yang kuat. Bahkan, pembangunan modern seperti Bandara Internasional Yogyakarta tetap mengintegrasikan elemen tradisional dalam arsitekturnya. Contoh ini menunjukkan bahwa modernitas dan tradisi dapat berjalan beriringan, memberikan inspirasi bagi Jakarta untuk mengangkat budaya Betawi sebagai ciri khas utamanya.

Selain Yogyakarta, kota Makassar di Indonesia Timur juga menawarkan pelajaran berharga dalam menjaga budaya lokal. Makassar dikenal dengan budaya Bugis-Makassar yang kental, tercermin dalam festival budaya seperti F8 Makassar yang merayakan seni, kuliner, dan tradisi lokal. Ruang publik seperti Pantai Losari pun dihiasi dengan elemen-elemen yang merepresentasikan identitas budaya setempat. Integrasi ini memperlihatkan bagaimana kota dapat berkembang modern tanpa kehilangan sentuhan tradisionalnya, sebuah pendekatan yang dapat menjadi referensi bagi Jakarta.

Seiring perpindahan ibu kota negara ke IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kalimantan Timur, peran Jakarta dalam konteks nasional kini mengalami transformasi. Salah satu kajian yang menarik untuk dimunculkan adalah usulan untuk mengganti nama provinsi Jakarta menjadi Provinsi Betawi, sebuah langkah yang dianggap mampu mengangkat kembali identitas budaya lokal yang lama tersisih. Nama Betawi, yang merujuk pada kelompok etnis asli Jakarta, memiliki nilai historis dan budaya yang dalam. Betawi bukan sekadar identitas lokal, tetapi juga simbol pluralisme, akulturasi, dan peradaban yang tumbuh seiring sejarah kolonial hingga modern. Perubahan nama ini, jika direalisasikan, membuka peluang baru untuk merefleksikan kebanggaan lokal dan memberi perhatian lebih terhadap pelestarian budaya Betawi.

Mengapa Betawi?

Betawi bukan hanya nama, tetapi juga representasi dari akar budaya yang unik. Sebagai entitas etnis, masyarakat Betawi lahir dari perpaduan budaya Melayu, Arab, Tionghoa, Portugis, dan India yang telah hidup berdampingan sejak era kolonial Belanda. Budaya Betawi dikenal melalui seni tari, musik Gambang Kromong, dan makanan khas seperti kerak telor dan soto Betawi. Namun, seiring modernisasi Jakarta sebagai ibu kota, elemen budaya Betawi sering kali terpinggirkan.

Mengganti nama Jakarta menjadi Provinsi Betawi adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah dan tradisi yang pernah menjadi pondasi kota ini. Sebuah nama tidak hanya berfungsi sebagai label, tetapi juga memiliki makna sosial dan politis. Nama “Jakarta” yang berasal dari Jayakarta (artinya “kemenangan yang sempurna”) mencerminkan semangat perjuangan, tetapi juga menjadi simbol modernisasi yang sering kali melupakan akar tradisionalnya. Sementara itu, “Betawi” membawa pesan keberlanjutan budaya lokal yang plural dan harmonis. Langkah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga identitas lokal di tengah globalisasi yang semakin homogen.

Mengubah nama menjadi Provinsi Betawi bukan hanya soal identitas, tetapi juga wacana tentang siapa yang memiliki kota ini, siapa yang dianggap “asli,” dan bagaimana kita mendefinisikan masa depan bersama. Wacana ini menuntut refleksi mendalam dan dialog terbuka agar perubahan ini menjadi momentum positif bagi semua pihak.

Belajar dari Perubahan Nama di Negara Lain

Perubahan nama kota atau wilayah telah dilakukan di berbagai negara sebagai upaya memperkuat identitas lokal atau historis. Sebagai contoh, Bombay di India berubah nama menjadi Mumbai pada tahun 1995 untuk merefleksikan warisan budaya Marathi. Langkah ini muncul sebagai respons terhadap dorongan masyarakat lokal yang ingin menegaskan kembali identitas budaya yang telah lama berada di bawah bayang-bayang pengaruh kolonial. Dalam bukunya Yule dan Burnell (1996), menyebutkan bahwa kata Bombay konon berasal dari penggunaan kata Bombai oleh penulis Portugis Gaspar Correia dari frasa Portugis bombaim yang berarti “good little bay”. Ketika Inggris menduduki kota tersebut, nama Portugis resmi diubah menjadi Bombay.

Di Thailand, nama Bangkok yang secara resmi dikenal sebagai “Krung Thep Maha Nakhon” mencerminkan warisan budaya dan sejarah kerajaan. Meskipun Bangkok lebih sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dan internasional, nama resmi tersebut memiliki arti “Kota Para Malaikat,” yang berasal dari tradisi agama dan kepercayaan lokal. Pemerintah Thailand memanfaatkan nama ini untuk mempromosikan identitas nasional melalui pariwisata dan budaya.

Kota Almaty di Kazakhstan sebelumnya dikenal sebagai Alma-Ata selama era Soviet. Nama ini diubah pada tahun 1993 untuk mencerminkan identitas nasional pasca kemerdekaan Kazakhstan. Almaty, yang berarti “tempat apel,” merujuk pada akar budaya dan geografis kota tersebut sebagai pusat peradaban lokal. Pemerintah Kazakhstan menggunakan perubahan ini untuk memperkuat rasa kebanggaan masyarakat terhadap warisan nasional mereka.

Di Indonesia, perubahan nama provinsi bukanlah hal baru. Provinsi Irian Jaya berubah menjadi Papua pada tahun 2001 untuk menegaskan identitas budaya dan geografi lokal. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa perubahan nama dapat menjadi instrumen penting untuk memperkuat nilai budaya sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap akar sejarah mereka.

Implikasi Sosial dan Budaya

Jika Jakarta resmi menjadi Provinsi Betawi, implikasinya akan sangat luas, baik secara sosial maupun budaya. Pertama, perubahan ini dapat mendorong revitalisasi seni dan budaya Betawi, seperti pelestarian seni tradisional, pengembangan bahasa Betawi, dan pemanfaatan arsitektur tradisional dalam pembangunan kota. Kedua, hal ini juga membuka peluang ekonomi, terutama dalam sektor pariwisata, dengan mempromosikan Jakarta sebagai destinasi wisata berbasis budaya.

Namun, langkah ini juga memerlukan perhatian terhadap potensi resistensi dari masyarakat yang merasa tidak terkait dengan identitas Betawi. Jakarta adalah rumah bagi berbagai etnis dan budaya, sehingga penting untuk memastikan bahwa perubahan ini dilakukan dengan pendekatan inklusif.

Penutup

Momentum perpindahan ibu kota membuka ruang bagi Jakarta untuk menemukan kembali dirinya. Dengan mengganti nama menjadi Provinsi Betawi, Jakarta memiliki peluang untuk merayakan dan melestarikan identitas lokal yang kaya. Seperti yang dikatakan oleh Stuart Hall, identitas adalah proses yang terus-menerus dibangun melalui dialog antara masa lalu dan masa kini. Nama “Betawi” bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang visi masa depan yang lebih berakar pada nilai-nilai lokal.

Langkah ini, jika dilakukan dengan bijak, akan menjadi contoh bagaimana budaya lokal dapat diberdayakan dalam kerangka pembangunan modern. Pada akhirnya, ini bukan hanya soal nama, tetapi juga tentang pengakuan, penghormatan, dan penghargaan terhadap peradaban Betawi yang telah menjadi jiwa Jakarta selama berabad-abad.

Ferdiansyah Ali
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Media Komunikasi Trisakti

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com