Iran, salah satu negara yang selama ini kerap dianggap musuh oleh AS terus memperkuat postur kerja samanya dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dunia seperti China dan Rusia. Dengan China misalnya, Iran seolah memberikan sinyal kebangkitannya dengan menjalin kerja sama strategis melalui proyek integrasi ekonomi abad ke-21 terkemuka di seluruh Eurasia dalam lingkup Jalur Sutra Baru.
Kemitraan strategis Iran-China tersebut dalam visi New Silk Roads tentang integrasi Eurasia secara resmi didirikan pada tahun 2016, ketika Presiden Xi mengunjungi Teheran. Dalam salah satu butir terkait integrasi Eurasia, dinyatakan bahwa “Pihak Iran menyambut baik ‘Jalur Ekonomi Jalur Sutra dan inisiatif Jalur Maritim Sutra Abad 21’ yang diperkenalkan oleh China. Mengandalkan kekuatan dan keunggulan masing-masing serta peluang yang diberikan melalui penandatanganan dokumen seperti “MOU tentang Bersama-sama Mempromosikan Jalur Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad 21 ‘dan’ MOU tentang Penguatan Kapasitas Industri dan Mineral dan Investasi ‘, kedua belah pihak akan memperluas kerja sama dan investasi bersama di berbagai bidang termasuk transportasi, kereta api, pelabuhan, energi, industri, perdagangan dan jasa.”
Dan dalam salah satu butirnya yang lain, China sangat mengapresiassi keanggotaan Iran di AIIB. “Pihak China menghargai partisipasi Iran sebagai ‘Anggota Pendiri’ Bank Investasi Infrastruktur Asia. Kedua belah pihak bersedia untuk memperkuat kerja sama mereka di bidang terkait dan bergabung dengan upaya mereka menuju kemajuan dan kemakmuran Asia.”
Sebagaimana dikemukakan oleh Pepe Escobar, kemitraan strategis Iran-China ditandai dengan gelontoran dana yang besar. Setidaknya ada sekitar $ 400 miliar investasi China dalam energi dan infrastruktur Iran untuk 25 tahun ke depan. Hal ini sangat beralasan mengingat China harus memastikan mengamankan kepentingan nasionalnya, yaitu pasokan minyak dan gas, yang bisa saja akan mengalami “kendala” kemacetan berbahaya di Selat Malaka, yang dijamin dengan diskon rata-rata 18%, dan dibayar dalam yuan atau dalam sekeranjang mata uang yang melewati Dolar Amerika.
Bahkan, Beijing juga akan menginvestasikan sekitar $ 228 miliar untuk infrastruktur Iran – di situlah AIIB masuk – untuk jangka lebih dari 25 tahun, terutama sampai 2025. Termasuk, dalam membangun pabrik hingga renovasi industri energi yang sangat dibutuhkan, hingga pembangunan yang sudah berjalan, rel listrik sepanjang 900 km dari Teheran ke Mashhad.
Teheran, Qom dan Isfahan juga akan dihubungkan oleh kereta berkecepatan tinggi – dan akan ada perluasan ke Tabriz, simpul minyak, gas dan petrokimia yang penting dan titik awal dari pipa gas Tabriz-Ankara.
Semua hal di atas masuk akal dalam istilah Jalan Sutra Baru, karena Iran adalah persimpangan jalan utama Eurasia. Kereta api berkecepatan tinggi yang melintasi Iran akan menghubungkan Urumqi di Xinjiang ke Teheran, melalui empat “stan” Asia Tengah (Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan dan Turkmenistan) sampai ke Asia Barat, melintasi Irak dan Turki, dan selanjutnya ke Eropa: kebangkitan techno Jalan Sutra Kuno, di mana bahasa utama perdagangan antara Timur dan Barat di wilayah Heartland, yaitu Persia.
Ahli geografi Halford Mackinder saat memberikan ceramah Royal Geographical Society menguraikan teori kekuatan global. Dikatakan bahwa “Wilayah poros dari politik dunia” bukan di Inggris atau kekaisarannya yang berlayar di laut, melainkan “wilayah luas Euro-Asia” yang membentang dari Volga ke Yangtze. Dia menyebutnya “heatland”, dan siapa pun yang mengendalikannya, akan menguasai dunia.
Melihat dari pergeran peta politik dunia, maka tesis yang dikemukakan Mackinder seolah mendapati kebenarannya dimana, negara-negara adidaya saat ini tengah berupaya untuk mengendalikan wilayah yang dikenal dengan heartland tersebut.
Wajah geopolitik dunia pun berubah selama 25 tahun terakhir, demikian dikatakan Peter Frankopan saat melakukan perjalanan ke Asia Tengah untuk mengeksplorasi arti penting ekonominya saat ini. Frankopan adalah sejarawan dan penulis The New Silk Roads. Karyanya menjadi bahan perdebatan terutama oleh pemerhati dan pakar geopolitik internasional.
Dalam terang The New Silk Roads, perkembangan terus terjadi. Iran memasok sepertiga dari minyak India, Azerbaijan memompa gas ke Eropa tenggara, Afghanistan membangun saluran pipa ke Pakistan dan India. Sebuah “pelabuhan kering” di Khorgos, di perbatasan Cina dengan Kazakhstan, bertindak sebagai pusat pengiriman raksasa untuk barang-barang yang dikirim dari pantai jauh lebih dari 1.000 mil jauhnya, sementara pelabuhan laut baru terletak di pantai Kaspia Turkmenistan. Ini adalah pelabuhan terbesar di dunia di bawah permukaan laut.
Bahkan Frankopan menunjukkan bagaimana negara-negara di sepanjang Jalur Sutra yang lama sibuk memupuk kerja sama lintas batas. Uni Ekonomi Eurasia telah membentang dari Belarus melalui Rusia ke Armenia, Kirgistan dan Kazakhstan, dan telah terlibat dalam pembicaraan perdagangan dengan Iran. Lalu ada “inisiatif Jalan Bright Kazakhstan, Dua Koridor, inisiatif Satu Lingkaran Ekonomi Vietnam, inisiatif Koridor Tengah Turki, inisiatif Jalan Pembangunan Mongolia”, belum lagi dengan Inisiatif One Belt, One Road China.
Sekali lagi, China dalam hal ini, paling berkepentingan dengan dengan ambisinya membangun koneksi darat dan laut dengan negara-negara lain ya g dianggap sesuai dengan kredo politik dalam negerinya. Dengan demikian, visi Jalur Sutra Baru adalah tentang bagaimana “jalan” China mengelilingi dunia. Lihat saja bagaimana China telah menjadikan lebih dari 80 negara menjadi bagian dari inisiatif tersebut.
Karena sapuan investasi China yang benar-benar global, Istilah-istilah globalisasi yang puluhan tahun disuarakan oleh kaum neoliberal barat boleh jadi memunculkan kredo baru tentang globalisasi. Hal ini bika dimulai dengan sebuah pertanyaan, seperti apa aturan tatanan global yang dipimpin China? Frankopan mengutip Xi Jinping tentang keinginan China untuk “meningkatkan saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya” dan mempromosikan “perdamaian dan pembangunan”. Namun demikian, banyak sepak terjang China yang sangat merisaukan komunitas internasional, sebut saja propvokasi yang China lakukan di Laut Cina Selatan; praktik pinjaman predator di Afrika sub-Sahara; tekanan terhadap maskapai komersial untuk mengubah peta dalam penerbangan “untuk mencerminkan pandangan Beijing tentang status Taiwan; dan, yang paling mengganggu, penahanan ratusan ribu warga Uighur di “kamp pendidikan ulang”.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)