Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris.
Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik. Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.
Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .
Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen.
Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak.
“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .
Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik.
Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah.
“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.
Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan.
Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi.
Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .
Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer.
Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu.
Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .
Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan.
Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton.
Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya.
Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris . Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional .
Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi.
Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar. Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar.
Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush.
Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”
Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya.
Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi.
Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” .
Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”. Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS.
Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya.
Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris .
Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun .
Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan.
Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya.
Julukan “moral compass” pun melekat padanya.
Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.
Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .
Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.
RUJUKAN
Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Katharine Gun