Jasa Presiden Soekarno buat bangsa Indonesia

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Beliau telah mewakafkan 42 tahun atau 3/4 usianya untuk memperjuangkan nasib bangsa ini. Prinsip non-kooperatif yang ia pegang pasca bersimpang jalan dari Haji Tjokro menjebloskannya ke balik terali besi. Beberapa kali ia harus merasakan hawa dingin tembok penjara. Tak cukup itu, ia pun harus menjalani pengasingan di luar Jawa selama hampir 10 tahun. Sepanjang rentang waktu 42 tahun itu, tak kurang dari 23 rencana pembunuhan disusun untuk melenyapkan nyawanya. Sejak menjabat Presiden RI (1965) sampai dijatuhkan oleh MPRS hasil permufakatan jahat Soeharto dan A.H. Nasution (1966), tercatat 8 pemberontakan bersenjata yang dibiayai asing ditumpasnya habis.

Pemerintahan Soekarno mengumumkan “Deklarasi Djuanda” pada tanggal 13 Desember 1957 yang membuat luas wilayah Republik Indonesia mencapai 1,9 juta mil2 yang terdiri dari 17.508 pulau. “Deklarasi Djuanda” selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya, luas wilayah Republik Indonesia berlipat-ganda 2,5 kali dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².

Setahun sesudahnya, pemerintahan Soekarno mengeluarkan UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda berjumlah -+ 700 perusahaan, yang disusul dengan pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang melahirkan Demokrasi Terpimpin. Dalam komentar panjangnya tentang buku Herbert Feith, “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” (1962), Harry Benda beranggapan, bahwa lahirnya Demokrasi Terpimpin bisa dilihat sebagai momentum kembalinya Indonesia ke jalur sejarahnya yang otentik.

Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang masih dipakai hingga sekarang merupakan salah produk legislasi berwatak progresif yang dikeluarkan Soekarno.

Untuk membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda, pemerintah Indonesia menekan dari segala lini. Lobi lewat PBB gagal. Agar pihak Den Haag ‘menyerah’, pada 1958, Presiden Soekarno menasionalisasi -+ 700 perusahaan milik Belanda di Indonesia. Cara inipun juga gagal. Pada 1960, Belanda malah memobilisasi 12.000 tentara ke Irian Barat dan mengumumkan akan mendirikan negara Papua Merdeka. Setelah menyerukan pembentukan Komando Trikora, untuk membiayai misi “Pembebasan Irian Barat” itu, Presiden Soekarno harus menguras 80% APBN 1960, 1961 dan 1962 (jika dikonversi dengan nilai saat ini jumlahnya ribuan triliun). Langkah tersebut bagai buah simalakama karena harus mengorbankan program sandang-pangan dalam “Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun” yang telah disusun oleh Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang diketuai M Yamin. Harga yang harus dibayar untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI sangat mahal. Ironisnya, warisan besar Soekarno itu dibiarkan merana. Sejak UU No. 1/1967 diberlakukan rezim fasis Orde Baru, pemerintah kita diam saja ketika melihat kekayaan alam Irian Barat (kini Papua dan Papua Barat) dijarah asing.

Demi mewujudkan “Majapahit Baru”, Soekarno membeli Kalimantan Utara (mencakup Serawak, Sabah dan Brunei sekarang) dari Philiphina dan Amerika Serikat pada tanggal 2 Desember 1963 seharga $US 2.000 miliar. Ia melobi John F Kennedy dan Diosdado Macapagal habis-habisan untuk itu. Namun, persekongkolan Malaysia-Inggris-Australia memupus cita-cita besar Soekarno tersebut, yang akhirnya berujung dilakukannya operasi ofensif militer “Ganjang Malaysia”.

Berapa banyak industri strategis nasional yang didirikan semasa Orde Lama yang dibiarkan mangkrak tak terurus karena mala-manajemen akut ? Salah satunya, Krakatau Steel. Belum yang lain-lain.

Pada masa Soekarno, pemerintah melakukan kerjasama pertukaran mahasiswa dengan negara-negara asing. Soekarno bercita-cita menjadikan mereka sebagai tenaga ahli yang kelak mampu mengolah sumber daya alam milik bangsa. Sekitar 1.500 mahasiswa dikirim ke Uni Soviet, Republik Ceko, Rumania, Albania, Jerman, Kuba dan Cina. BJ Habibie adalah contoh produk sukses yang dihasilkan oleh program itu.

Namun, apa yang akhirnya diterima Soekarno?

Sewaktu sakit, ia dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan secara manusiawi. Ia diperlakukan layaknya binatang terbuang. Sejarah menjadi saksi bagaimana kita memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri.

Soekarno rela dilabur hitam-hitam oleh jelaga sejarah di ujung hidupnya demi menghindari meledaknya perang saudara.

Jika ia memilih jalannya Bashar al-Assad di Suriah, dengan dukungan satuan tempur AU yang siap siaga di Lanud Iswahyudi, korp KKO pimpinan Letjend Hartono, 80% kekuatan kepolisian dan beberapa Kodam yang masih loyal padanya, Soekarno bisa memukul balik tentara-tentara sayap Kanan pimpinan Soeharto sewaktu-waktu.

Kalau itu sampai terjadi, negeri ini akan menjadi ladang pertempuan “Vietnam Kedua”. Sebab, Soeharto dkk pasti didukung Amerika Serikat. Soekarno tidak mengambil pilihan tersebut. Ia tidak melawan. Seperti halnya laku dharma yang ditunjukkan Karna di medan laga Bharata Yudha, “Karna Kedua” itupun memilih mengalah. Soekarno memilih mengalah. Menjadi pesakitan di ruangan Wisma Yaso yang pengap. Sendirian.

Saat ini, kebanyakan dari kita hanya bisa memuja Soekarno sebagai artefak saja. Sebab, jika hidup pada zamannya, kita pasti tidak mau membayar mahal ongkos dari konsekuensi mempertahankan prinsip dan kehormatan. Padahal, Soekarno merelakan diri menjadi tumbal agar hari ini kita bisa menghirup udara segar alam merdeka. Sementara kita menikmati negeri indah warisan Soekarno ini secara gratisan, dengan suka-cita tanpa rasa sungkan sedikitpun, tak diliputi empati dan menjauhi sikap patriotik. Oleh sebab itu, mari kita semua sama-sama menghikmati historische leven-gevoels (rasa hayat sejarah), agar kita tidak gagap melintasi masa depan bangsa.

Sebagai penutup, patut saya kemukakan di sini, diakui atau tidak, Soekarno adalah sosok besar. Orang besar harus dibaca dengan menggunakan kaca pembesar. Jika kita membaca Soekarno dengan memakai lensa kecil berdaya-jangkau terbatas, itu tak ubahnya menjebak diri dalam kubangan post hoc ergo propter hoc.

Salam Merah Putih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com