Jebakan Utang Dalam Perspektif Perang Asimetris

Bagikan artikel ini
Contoh Kasus di Sri Langka
Menarik sekali mengkaji modus debt trap alias jebakan utang pada kolonisasi gaya baru. Ada ‘plus-minus’-nya. Baik debt trap ala Barat yang dikembangkan lewat Structural Adjusment Programme (SAP)-nya IMF, dimana negara target kudu manut SAP seperti cabut subsidi, misalnya, atau privatisasi, naikkan harga kebutuhan publik, buka kran impor dan seterusnya. Atau, ala Cina melalui Turnkey Project Management (TPM). Nah, catatan kecil ini hanya membahas debt trap melalui TPM-nya Cina, meski di ujung ulasan nanti, sebagai simpulan akan disambungkan dengan SAP-nya IMF.
Ya, bermula dari One Belt One Road (OBOR)-nya Xi Jinping, Presiden Cina, kebijakan tersebut merupakan pengembangan dari String of Pearl, strategi Cina mengamankan energy security, yaitu pengamanan jalur ekspor impor atas pasokan pangan dan energi dari Laut Arab – Selat Malaka – Laut China Selatan dan seterusnya sehingga jika dilihat dari atas seperti untaian kalung atau rangkaian permata. “String of Pearl.” Selanjutnya istilah OBOR diubah oleh Xi menjadi Belt and Road Initiative (BRI).
Dari perspektif geopolitik terendus bahwa ada geopolitical hazard atau kerawanan geopolitik yang kudu diwaspadai dalam geliat BRI.
Katakanlah, seandainya ‘plus’-nya adalah masuknya investasi asing di suatu negara lalu dipersepsikan membuka lapangan kerja. Otomatis dinamika ekonomi lokal dan nasional bergerak, pundi-pundi negara terisi, serta lingkungan di sekitar projek memperoleh multiplier effects dan lain-lain. Begitu idealnya investasi datang di pelbagai belahan dunia. Akan tetapi, apa yang terjadi apabila ‘kriteria plus’ tadi tak terpenuhi? Simpan dulu jawabannya.
Sedangkan faktor ‘minus’ pada konteks plus-minus di atas ialah persepsi ancaman yang diprakirakan muncul atas geliat BRI, contohnya meliputi:
Pertama, pro-kontra (impor) TKA. Bahwa investasi Cina kerap menggunakan skema TPM, yakni model investasi mulai dari manajemen, money, material, man power dan lain-lain, sampai kuli-kuli pun berasal (diboyong) dari Cina. Negara tujuan nantinya hanya menerima kunci. “Projek usai”. Silakan dimanfaatkan, namun kewajiban negara objek mencicil pokok utang dan bunganya.
Namun, dalam proses kedatangan TKA, negara tujuan terkadang sulit mengawasi. Ada fenomena kecil terkait gelombang TKA. Entah ketibaan di malam hari, seperti menghindari pantauan publik; atau penerbangan khusus dari negara asal langsung ke wilayah tujuan dan seterusnya. Fenomena ini menimbulkan tafsir geopolitik bahwa Xi hendak meluaskan ruang hidup (living space)-nya di negara tujuan. Kenapa begitu? Asumsi ini berbasis unsur teori ruang:
Manusia butuh negara, dan negara butuh ruang hidup“.
Tak boleh diingkari, bahwa ledakan demografi dan lapangan kerja di Cina menimbulkan asumsi global bahwa Xi tengah menerapkan teori ruang (living space) atau lebensraum demi stabilitas di internal negerinya. Muncul pertanyaan selidik, “Siapa berani menjamin bahwa semua TKA akan balik ke Cina apabila projek sudah rampung?”
Kedua, kuat disinyalir bahwa skema TPM secara diam – diam menyembunyikan agenda dengan apa yang disebut debt trap alias jebakan utang.
Dan keduanya, baik TPM maupun debt trap sebenarnya merupakan hidden agenda. “Agenda tersembunyi”. Kerap, hal itu justru tidak diperhitungkan dan sama sekali tidak diantisipasi oleh negara penerima utang. Entah berdalih mengejar pertumbuhan ekonomi lalu membabi-buta pada investasi asing, atau ingin transfer tekonologi, dan lain-lain.
Pertanyaan selidik, “Siapa menjamin bahwa ribuan TKA itu bukan tentara merah, atau minimal advance team military, ataupun diselipkan unit intelijen?”
Sementara abaikan dulu pertanyaan selidik tadi, kita lanjut membahas jebakan utang.
Tampaknya, debt trap ala Cina mulai menelan korban. Hal ini terbukti pada beberapa negara yang welcome terhadap berbagai projek OBOR atau BRI. Banyak contoh di Dunia Timur. Salah satunya adalah Sri Lanka. Ia terpaksa menyerahkan Pelabuhan Hambantota ke Cina akibat tidak mampu mencicil utang. Apa boleh buat. Pelabuhan strategis Sri Lanka yang dibangun tahun 2010 dengan dana 85% dari Exim Bank of China tapi gagal bayar. Dan pada 2017 lalu, Hambantota pun ‘disewa’ —kalau tidak boleh menyebut diambilalih— oleh Cina selama 99 tahun alias sampai tahun 2116.
Merujuk salah satu quote John Adams, Presiden Amerika ke-2 terkait utang sebagai cara memperbudak sebuah bangsa:
Ada dua cara menaklukkan dan memperbudak sebuah bangsa. Pertama dengan pedang; kedua melalui utang” (1725 – 1825).
Bahwa buah pikir dua abad silam —debt trap— kini terbukti nyata (reality) dan berada (existance). Olah pikir Adams melintasi zaman. Tanpa letusan peluru, negara target melepas simpul strategis teritorinya.
Bandingkan kasus Hambantota dengan isu yang sama di Cina tempo doeloe. Ia menyerahkan 11 (sebelas) pelabuhan laut ke Inggris Raya via traktat setelah melewati peperangan secara militer —dan Cina kalah— melalui dua pertempuran (Perang Candu I dan Perang Candu II).
Lagi-lagi, pertanyaan selidik muncul, “Jika kelak muncul kontinjensi di Samudra Hindia, atau gejolak di Lautan Pasifik, ataupun di Laut Cina Selatan, siapa berani menjamin Hambantota tidak disulap oleh Cina menjadi pangkalan militer?”
Secara geopolitik, adanya pangkalan militer asing di sebuah negara merupakan potret bahwa kedaulatan negara bersangkutan telah tergerus alias tak lagi berdaulat.
Di sini, tak dibahas simpul transportasi an sich melainkan perspektif geopolitik, khususnya perang nirmiliter (asymmetrical war). Ya. Inti perang nirmiliter ialah peperangan tanpa asap mesiu. Nonviolence. Tak ada letusan peluru. Namun, manuver asimetrisnya mampu melumpuhkan negara target. Atau, minimal mengendalikan kebijakan di negeri lawan supaya warganya ‘menari-nari dalam gendang asing’. Maksimal mengubah ideologi alias mengganti sistem negara target agar sesuai hasrat kolonialisme (gaya baru).
Inilah yang kini berlangsung secara sistematis dan masif di pelbagai belahan dunia, bahwa utang (debt trap) kini merupakan modus asimetris untuk menggerus kedaulatan sebuah negara.
Terakhir, sebagai simpulan prematur ulasan ini — meski SAP-nya IMF tidak dibahas dalam catatan ini, menurut Ichsanuddin Noorsy (2024), pakar ekonomi politik, baik SAP maupun BRI, pada hakikatnya merupakan ujud:
. Invasi
. Intervensi
. Infiltrasi
. Interferensi
. Intimidasi
. Indoktrinasi
. Inflasi
Nantinya, ke 7-I di atas akan menghasilkan apa yang disebut INSTABILITY. Negara target terjebak utang, lalu aset-asetnya diambilalih si pemberi utang sebagaimana kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com