Melacak jejak geopolitik di Bumi Pertiwi dari aspek konflik dan kerusuhan massa berskala besar/nasional di berbagai orde, sepertinya lebih dominan bersifat vertikal daripada (konflik) horizontal. Kenapa begitu?
Singkat narasinya begini. Konflik vertikal ialah konflik antara kelompok/golongan tertentu di masyarakat versus rezim penguasa pada masanya; sedang konflik horizontal ialah benturan antarwarga, golongan atau bentrok antarsuku/agama/ras (SARA). Intinya, bentrok sesama warga dan sesama anak bangsa karena faktor sesuatu. Apa itu “sesuatu”? Nanti diurai sekilas.
Kasus DI/TII di orde lama, misalnya, atau PRRI, G30S/PKI dan seterusnya merupakan contoh pertentangan ideologis antara segolongan anak bangsa melawan pemerintah sah dan/atau menolak kebijakan pusat.
Kemudian penolakan kebijakan tersebut diekspresikan dalam gerakan bersenjata, makar bahkan kudeta; sedang kasus Malari 1974 lebih pas disebut kerusuhan sosial (bukan konflik) meski menunya hampir sama dengan konflik vertikal yakni: “menolak kebijakan pusat”.
Kemudian ada isu GAM, isu OPM —ini juga konflik vertikal— meski secara embrio bersemi di era orde lama namun berkembang serta meletus di zaman orde baru. Kasus GAM dianggap usai melalui Kesepakatan Helsenki di era SBY-JK, sedang isu OPM terus berlanjut hingga kini meskipun sporadis, tetapi gaungnya mengglobal karena ada endorse dari anasir asing/negara lain.
Kerusuhan Mei 1998 dinilai juga bersifat vertikal karena “motif politik”-nya ingin menjatuhkan Pak Harto pada satu sisi, sementara korban amuk massa secara horizontal ialah etnis Cina sebagai tumbal (politik) di sisi lain. Apa boleh buat. Setiap tujuan pasti membawa korban, dan hal itu sudah jamak di dunia politik.
Di era reformasi, serpihan konflik orde lalu yang tertinggal adalah OPM Papua dan Poso.
Isu Poso sebenarnya bermula dari konflik horizontol (Islam versus Kristen), namun berubah menjadi konflik vertikal.
Dan tak boleh dilupakan pada masa transisi orde di era Pak Habibie dulu —awal reformasi— ada drama lepasnya Timor Timur dari Bumi Pertiwi karena faktor jajak pendapat yang ‘digarap’ oleh PBB. Kerusuhan Ambon dan konflik Dayak-Madura pun juga meletus di era transisi orde. Kedua isu tadi tergolong konflik horizontal bersumbu ledak: “suku asli versus pendatang”.
Memang sempat ada upaya menggeser isu tersebut menjadi isu agama (bentrok antaragama), tetapi gagal dan gagal, misalnya, meletusnya konflik Poso karena faktor larinya para tokoh kerusuhan Ambon ke daerah lain sebagai upaya meluaskan konflik, namun karena kesiapan antisipasi pemerintah maka konflik pun berhenti dan terisolasi di Poso.
Memang, jika yang dibenturkan isu sentimen agama niscaya konflik cepat membesar lagi meluas. Dalam konflik Sampit, para tetua Dayak cukup cerdas, karena mereka menjaga konflik tetap ber-isu Dayak versus Madura sehingga dalam konflik tersebut tidak ada masjid di bakar, tak ditemui pembantaian di tempat ibadah dan lain-lain.
Itulah sepintas jejak geopolitik dari perspektif konflik skala nasional baik vertikal, kerusuhan sosial, maupun konflik horizontal.
Pertanyaan filosofinya, “Apakah poin (tinjauan) geopolitik terhadap fakta konflik dari sisi penyebab, dampak dan nilai manfaat?”
Ya. Geopolitik adalah ilmu negara. Science of the state, kata Frederic Ratzel. Ada empat dimensi dalam geopolitik yakni teori/dimensi ruang; dimensi frountier; dimensi keamanan negara dan bangsa; dan dimensi politik kekuatan. Inti geopolitik adalah ruang (living space) atau lebensraum. Namun kajian kali ini berbasis dimensi keamanan negara dan bangsa sebagai pisau bedah karena pintu masuknya tentang kegaduhan keamanan negara.
Geopolitik mengajarkan bahwa tidak ada perang agama, tidak ada konflik antarsuku, rasialis dan tak ada pula konflik antargolongan (SARA) melainkan karena faktor (geo) ekonomi.
Ya. “Semua konflik atau perang karena faktor geoekonomi.” Itu clue utama.
Artinya, bila ada konflik dipicu oleh SARA, misalnya, maka hal itu hanya pintu masuk atau pemantik. Tidak lebih. Secara geopolitik, faktor penyebab konflik tetap (geo) ekonomi. Ini poin ke-1: Penyebab Konflik dari Perspektif Geopolitik;
Poin ke-2: Dampak Geopolitik.
Secara tak sengaja, akibat deraan berbagai konflik dan kerusuhan massa di atas tadi, ada enam konsep dasar geopolitik jatuh ke titik nadir, antara lain:
1. bhineka tunggal ika sebagai unsur pengintegrasi keanekaan elemen bangsa menjadi porak-poranda;
2. persatuan dan kesatuan sebagai anasir dalam rangka mengakumulasi kekuatan nasional malah terpecah-belah;
3. kebangsaan sebagai konsep untuk hidup bersama justru melemah;
4. geopolitik sebagai faktor mewujudkan kedaulatan negara malah dangkal serta terdangkalkan;
5. negara kebangsaan (nation state) sebagai konsep untuk meletakkan negara sebagai sarana mewujudkan cita-cita, tujuan dan kepentingan nasional, praktiknya justru melenceng;
6. negara kepulauan sebagai konsep mempertahankan keutuhan wilayah justru diserahkan ke swasta. Entah disewa, atau “dijual” dan lain-lain.
Poin ke-3: Nilai Manfaat yang Dapat Dipetik.
Ya, akibat didera berbagai konflik di atas, secara tidak sengaja telah membentuk mindset/pola pikir bangsa bertambah cerdas, bijak dan cenderung waspada khususnya terhadap isu imajiner (by design) yang bertujuan untuk memperlebar belahan sosial serta berupaya membenturkan (konflik) sesama anak bangsa.
Kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik. Maka hikmah atas terpaan berbagai konflik di atas bahkan hingga kini, tanpa disadari telah membangun mindset masyarakat ibarat lautan yang ikhlas menampung segala (residu) macam sampah.
Mental publik terkondisi jadi jembar atine (legawa) dan jembar pikirane (berwawasan), luas koyo segoro (seluas samudera). Ya. Kondisi inilah yang kini dapat dirasakan bersama. Beragam upaya senyap untuk membenturkan sesama anak bangsa di akar rumput, misalnya, disikapi secara bijak dan waspada. Masyarakat tak mudah terpancing. Paling cuma heboh di medsos. Ngedumel. Perang narasi mungkin, atau saling bully, ilok-ilokan dan seterusnya tidak sampai clash (benturan) fisik. Sikap dan mindset publik ini wajib diapresiasi oleh negara cq pemerintah selaku pengelola negara dan pemangku kepentingan lain.
Pengalaman telah membuat sebagian masyarakat, selain memiliki daya tahan, daya cegah, juga mempunyai daya lawan/tangkal terhadap apa yang disebut embrio konflik dan faktor pemantiknya. Mengapa begitu, bahwa kebhinekaan (tunggal ika) di Bumi Pertiwi merupakan realitas yang relatif lestari di satu sisi, tetapi bagi entitas (?) penganut mazhab könflik, realitas tersebut justru dianggap tumpukan jerami kering sekali terpecik api konflik pun bakal berkobar di sisi lain.
Artinya, saking berseraknya embrio konflik maka seolah ia bisa diletus kapan saja, dimana saja — sebab faktor kebhinekaan. Misalnya, mau mengeksploitasi sentimen suku, beda afiliasi politik, ataupun isu kultus individu, atau sentimen agama? Tinggal pilah dan pilih.
Harus diakui, tidak sedikit pemantik konflik komunal di Indonesia, akan tetapi toh hingga detik ini bangsa ini masih tetap utuh walau beberapa kali diuji dengan berbagai jenis konflik.
Ya, setelah kasus Ambon dan Sampit mereda, apabila timbul “konflik” di publik, misalnya, tidak lagi sampai meletus (secara fisik) di atas permukaan. Warga jenuh dengan situasi konflik.
Hidup jadi serba terbatas, gaduh lagi mencekam. Ke sana-sini susah. Selain itu, mungkin juga faktor era revolusi industri 4.0 membuat konflik terisolasi hanya di media. Ngomel, atau saling ejek dan lain-lain. Inilah salah satu nilai manfaat/positif secara geopolitik akibat bangsa ini kerap didera berbagai konflik di masa lalu.
Sebenarnya masih banyak sisi positif lain, seperti toleransi yang kian tinggi, tebalnya solidaritas lintas etnis dan agama, atau rekatnya keakraban antar-ras, dan lain-lain.
Itulah sekilas jejak geopolik dari sisi konflik komunal di Bumi Pertiwi. Tak ada maksud menggurui siapapun melainkan hanya sharing semata. Kenapa? Agar konflik yang terlanjur muncul dapat:
1. diantisipasi secara dini;
2. dampak konflik bisa diminimalisir; dan
3. nilai manfaat kian meluas serta membesar sehingga membentuk daya tangkal masyarakat terhadap upaya asing dan para proxi yang ingin membenturkan sesama anak bangsa.
Yang mutlak diwaspadai sekarang ialah perubahan modus dan metode oleh para “sutradara konflik” gegara beberapa upayanya gagal. Ya, isu Tolikara contohnya, atau pembakaran bendera tauhid di Jabar dan seterusnya semuanya gagal total karena daya imun (tangkal) masyarakat terhadap konflik cukup kuat.
Tergambar jelas walau agak remang, jika metode adu domba terdahulu bermodus spiral dari sisi luar, tidak menutup kemungkinan modus terbaru adalah spiral sisi dalam. Kaum muslimin, misalnya, sebagai umat mayoritas tak lagi diganggu dari sisi luar melalui pembakaran dan pengrusakan simbol-simbol Islam, akan tetapi justru diobok-obok dari dalam. Si pion ditanam dan berlindung di organisasi massa (ormas) yang relatif besar sehingga seolah-olah “api” yang ditebar dianggap suara ormas tersebut. Sebenarnya modus ini lagu lama. Ini metode tua Snouch Hugronye, pencipta metode adu-domba yang melegenda. Kala itu, ia memang berhasil memecah-belah Islam (Aceh) dari sisi internal. Dan agaknya inilah yang masif terjadi secara sistematis di Bumi Pertiwi.
Bagaimana solusi?
Sebenarnya selain publik sudah memiliki daya lawan (imun) terhadap segala upaya provokatif sebagaimana sekilas diurai di atas (itu sudah bagus), juga pisau hukum harus menikam ke semua pihak khususnya entitas pengacau. Kelompok penebar kegaduhan publik. Penegakkan hukum harus tegas lagi keras tanpa pilih bulu. Hal ini selaras dengan penggalan statement Komjen Listyo Sigit Prabowo sewaktu menjalani fit and proper test calon tunggal Kapolri di DPR-RI, Rabu,20/01/2021: “.. tak boleh lagi hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.. “.
Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)