Masih ingat 36 Strategi Perang Cina Kuno? Dua di antaranya yang penulis nglotok alias di luar kepala ialah strategi yang bertajuk:
* Memancing Harimau Turun Gunung;
* Membuat Batu Bata untuk Mengikat Batu Giok.
Sebenarnya masih ada yang lain, seperti Menggebyah Rumput Mengagetkan Ular, misalnya, atau Mengecoh Langit Menyeberangi Lautan dan seterusnya. Yang lain, lupa-lupa ingat. Sebab, buku berjudul 36 Strategi Perang Cina Kuno itu saya baca ketika masih menimba ilmu di Garba Wiyata (1993-1995). Apa boleh buat. Karena kerap pindah kos sewaktu tugas di Jakarta, bukunya ketlisut. Entah kemana.
Dan melalui strategi Cina kuno inilah, terutama dua strategi perang —Memancing Harimau Turun Gunung dan Membuat Batu Bata untuk Mengikat Batu Giok— di atas akan dipakai membedah kehebohan MoU antara RI-Cina terkait wilayah tumpang tindih.
Kembali ke laptop. Ya. Beberapa hari ini, publik tanah air agak gaduh lagi heboh terutama kalangan pemerhati geopolitik dan penstudi Hubungan Internasional (HI) terkait Pernyataan Bersama atau Joint Statement antara Indonesia-Cina, 9 November 2024 di Beijing.
Apa pasal?
Dalam kunjungan perdana selaku Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto telah meneken Nota Kesepahaman (MoU) dengan Cina dalam koridor Joint Development. Tampaknya, kerisauan muncul akibat pointers dalam MoU, khususnya paragraf 2 poin 9 di Pernyataan Bersama dimana menyebut RI-Cina mencapai kesepakatan soal tumpang tindih wilayah maritim.
Tak pelak, MoU tersebut telah menimbulkan kecemasan beberapa pakar HI seperti Prof Hikmahanto Juwana, Guru Besar (Gubes) UI; Prof Eddy Pratomo, Gubes Undip, dan beberapa pengamat lain. Adapun pointers kecemasan para Gubes tersebut antara lain:
1. Selama ini, posisi resmi Indonesia ialah tidak ada tumpang tindih, apalagi sengketa maritim dengan Cina;
2. Secara yuridis, dengan adanya Joint Statement, sikap Indonesia dianggap mengakui klaim terhadap Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) atas Laut Cina Selatan (LCS), khususnya Laut Natuna Utara;
3. Posisi terbaru Indonesia kini berpotensi mengganggu konstelasi geopolitik di kawasan. Dan keberhasilan Cina ‘memperoleh pengakuan’ dari Indonesia, akan dikapitalisasi Cina untuk mendesak negara-negara pengklaim lain agar menerima klaim Cina;
4. Memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982;
5. Secara kronologis, sejak Menlu RI Ali Alatas tahun 1990-an hingga Menlu Retno Marsudi (2014 – 2024), Indonesia memprotes Cina atas LCS berdasar klaim sejarah. Apalagi, ketika Kementerian Sumber Daya Alam Cina menerbitkan peta baru klaim LCS dengan 10 garis putus-putus pada 28 Agustus 2023;
6. Dasar klaim Cina tidak dikenal di UNCLOS 1982. Adanya Joint Statement pada 9 November 2024 berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Cina atas 10 garis putus-putus;
7. Pernyataan Bersama atau Joint Statement itu berpotensi bertentangan dengan Pasal 8 UU 43/2008 tentang Wilayah Indonesia, karena dalam UU tersebut tidak menyebut adanya batas maritim dengan Cina sebagaimana diindikasikan dalam Pernyataan Bersama;
8. Juga, akan berdampak pada perjanjian Indonesia-Vietnam tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) pada 2002. Perjanjian dimaksud, tidak mungkin diratifikasi tanpa keterlibatan Cina, dan dokumen Joint Statement bisa digunakan Cina untuk melarang Indonesia meratifikasi perjanjian.
Itulah opini yang berkembang di publik berbasis protes dan pernyataan para pakar HI. Bahkan Prof Hikmahato menyarankan agar si pembuat damage control untuk mundur. Entah siapa yang dimaksud Prof Hikmahanto. Pembuat draft MoU di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, atau siapa? Pertanyaan ini tak perlu dijawab agar tulisan sederhana ini bisa dilanjutkan.
Lantas, bagaimana sikap Kemenlu RI atas protes dan opini yang berkembang terkait Joint Statement 9 November kemarin?
Dalam pernyataan resmi, Kemenlu menyebut bahwa kerja sama RI-Cina diharapkan menjadi model memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan. “Karena ini tak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim Nine Dash Line. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tak sesuai UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” demikian Kemenlu RI, Senin (11/11).
Aspirasi yang berkembang mengatakan, bahwa pernyataan Kemenlu dalam merespon opini publik cenderung formal dan kurang tajam. Bagaimana MoU diteken di wilayah tumpang tindih di satu sisi, sedang rujukannya ‘kecurigaan’ tidak mengakui Nine Dash Line pada sisi lain; bukankah filosofi MoU itu saling percaya antara para pihak untuk bekerja sama saling menguntungkan? Bukannya saling curiga!
Kita masuk ke pembahasan sesuai judul tulisan tak ilmiah ini. Ya. Bahwa dua strategi perang Cina kuno: 1) Memancing Harimau Turun Gunung, dan 2) Membuat Batu Bata untuk Mengikat Batu Giok itu (dilakukan oleh Cina) dalam satu tarikan napas.
Poin inti Memancing Harimau Turun Gunung ialah strategi melemahkan pihak lawan dengan cara mengundangnya keluar markas, misalnya, jamuan makan di restoran, atau lobi di luar wilayah yurisdiksi dan lainnya. Istilahnya, jika harimau turun gunung (keluar dari rimba) cenderung melemah. Tak lagi perkasa. Strategi ini kerap berjalan efektif, karena si target menjadi lemah dan “patuh”, lalu mengikuti kemauan si pengundang. Begitu substansinya.
Sedangkan strategi Membuat Batu Bata untuk Mengikat Batu Giok, substansinya adalah memberi yang kecil (batu bata) untuk memperoleh yang besar dan strategis (batu giok). Pada konteks implementasi strategi ini, ketika Indonesia butuh hard cash guna mengisi APBN 2024-2029 yang cenderung defisit, maka “bantuan” Cina guna membiayai Makan Bergizi Gratis, misalnya, atau program-program lainnya, bagi Cina, itu ibarat membuat batu bata. Remeh saja. Sedang Joint Statement itulah batu giok, berupa kerja sama ekonomi dan (otomatis) militer di Laut Natuna Utara yang jika berbasis histori Cina, masuk wilayah tumpang tindah (Nine Dash Line). Memang. Secara fisik, bekerja sama dengan Cina yang mempunyai kapasitas teknologi dan finansial lebih tinggi maka dapat memperoleh peluang besar di satu pihak, tetapi bisa menimbulkan kerawanan geopolitik pada pihak lain, misalnya:
* Ketergantungan yang tinggi terhadap Cina;
* Tergerusnya kedaulatan NKRI;
* Keretakan hubungan antaranggota ASEAN, terutama negara yang terdampak Nine Dash Line seperti Malaysia, Philipina, Vietnam, Brunai dan lain-lain;
* Diprakirakan bakal ada respon negatif dari Amerika Serikat (AS) selaku rival utama Cina di panggung geopolitik cq LCS. Dan hal ini bisa memunculkan masalah baru dikemudian hari di internal Indonesia.
Demikian sedikit ulasan soal pro kontra Joint Statement RI-Cina, 9 November 2024. Sengaja tidak ada simpulan pada tulisan ini guna memancing diskusi. Let them think let them decide. Masukan, kritik dan saran kami tampung untuk memperbaiki tulisan sederhana ini.
Terima kasih.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)