June S Syarief, Kepala Seksi Afrika, Eropa, dan Rusia, Kementerian Perdagangan RI.
Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.
Presentasi disampaikan beberapa narasumber sebelumnya cukup bagus baik materi maupun pembawaannya. Maka untuk itu saya mau fokus pada aspek perdagangan dari tema besar seminar terbatas hari ini. Seperti sudah disampaikan melalui paparan-paparan narasumber sebelumnya, bahwa politik luar negeri kita yang bebas dan aktif sebagaimana sudah dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, namun pada bagian lain ditegaskan bahwa kita tetap patuh pada ketentuan internasional.
Namun satu soal yang hendak saya ketengahkan dalam forum seminar kita hari ini, kesenjangan antara yang ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 tadi itu, dengan kontroversi yang berkembang dalam memaknai alinea 1 dan 4 dari Pembukaan UUD 1945 tersebut. Kita ini condong mau menganut loyalitas tunggal atau loyalitas ganda ketika dihadapkan pada dispute atau konflik kepentingan antara ketentuan dalam negeri atau ketentuan internasional. Ini yang menurut saya tidak diamanatkan secara jelas melalui undang-undang kita sekarang ini.
Menurut hemat saya, sebagaimana hasil dialog kami dengan salah satu akademisi Australia bahwa Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang merupakan alternatif dari Trans-Pacific Partnership (TPP), merupakan hal yang paling ideal untuk saat ini. Tidak terlalu berambisi dan tetap memberi ruang bagi masing-masing negara yang tergabung dalam RCEP untuk melindungi diri. Dengan kata lain, RCEP lebih cendeung memihak untuk kepentingan nasional kita. Kira-kira begitulah.
Kalau kita tinjau melalui hubungan bilateral dengan negara-negara lain, Amerika Serikat masih menduduki peringkat pertama di rate perdagangan untuk mitra kerja. Yang kedua adalah Jepang, kemudian Cina, dan Rusia berada di urutan ke-8 untuk ASEAN. Sedangkan dengan Afrika, masih diurutan ke-40 ditinjau dari segi neraca perdagangan. Namun untuk menyentuh akses pasar di Afrika, terus teranga saya katakan belum ada pergerakan sama sekali.
Kalau secara bilateral Indonesia dengan Afrika, Indonesia sudah melakukan dengan Afrika, salah satunya untuk pembangunan pabrik Indomie. Lalu bagaimana halnya hubungan ASEAN dengan Cina? Kenapa ASEAN tidak terlalu berminat kerjasama dengan Cina karena Cina itu agak susah untuk diajak bekerjasama secara regional. Seperti yang tadi Pak Hendrajit bilang, Cina cenderung mengajak hubungan bilateral dulu, baru regional. Idealnya, regional dulu, setelah tercipta konsolidasi dulu di antara negara-negara anggota, baru diterapkan dalam hubungan bilateral dengan Cina.
Susahnya, hal seperti itu juga diterapkan oleh Jepang, dan bahkan sekarang juga mau dilakukan oleh Eropa melalui Uni Eropa. Tapi semua itu masih dalam pertimbangan ASEAN. Adapun yang bersentuhan langsung dengan bidang kerja saya sendiri, yaitu Rusia, sebenarnya banyak kebijakan-kebijakan Rusia yang membantu Indonesia. Kalau untuk ASEAN, Rusia pun sudah banyak menawarkan beberapa kerjasama yang siap untuk dituangkan dalam berbagai agreement atau kesepakatan.
Untuk Uni Eropa sendiri, mareka masih meneruskan proyek-proyek lama. Indonesia sudah kerjasama dengan Uni Eropa sejak 2009. Dengan beberapa negara Asia, kita sudah banyak melakukan kerjasama secara bilateral. Maka itu, dalam kesempatan ini saya ingin menekankan perlunya Indonesia mereaktualisasikan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Indonesia ini merupakan negara besar dan kuat. Bukan sekadar untuk 50 atau 70 tahun ke depan, tapi lebih dari itu. Sayangnya apa yang sudah tersurat pada Pembukaan UUD 1945 tersebut sama sekali tidak terjabarkan melalui pasal-pasal dalam undang-undang, sebagai derivat dari Pembukaan UUD dan pasal-pasal di UUD 1945 itu sendiri. Sehingga kita ini tidak tahu apakah mau mono-loyalisme atau dualisme. Apakah kita lebih patuh pada peraturan-peraturan di negeri kita sendiri atau aturan-atuaran internasional. Sekarang ini tidak jelas.
Lalu terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tentunya harus merujuk pada undang-undang, ternyata sama sekali tidak mampu merangkum masalah-masalah yang kita hadapi dewasa ini. Itu menurut pandangan saya. Sehingga apa yang diputuskan oleh bapak Presiden Jokowi, pada perkembangannya malah bentrok dengan undang-undangnya sendiri.
Untuk sekadar ilustrasi tidak perlu jauh-jauh. Di Kementerian Perdagangan sendiri, dimana saya bekerja, kadang-kadang ada hal-hal yang malah mempersulit pekerjaan kita. Itulah sebabnya kita memang perlu reaktualisasi hubungan perdagangan dengan luar negeri. Kenapa? Pertama, Politik Luar Negeri kita itu kan seharusnya dijalankan dengan merujuk pada peraturan-peraturan yang ada di sini. Selain itu, koordinasi antar-instansi, tentunya juga antar kementerian, harus lebih ditingkatkan lagi. Sehingga tidak lagi terjadi bentrok antar kementerian, hanya karena adanya perbedaan peraturan dari berbagai kementerian yang berbeda berkaitan dengan kegiatannya di luar negeri. Ketika masing-masing punya peraturan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi antar-kementerian, maka kita jadi sulit menjelaskan program-program kita.
Dalam hal kerjasama dengan ASEAN sebenarnya bisa lebih difokuskan lagi, dibandingkan hubungan kerjasama kita dengan negara-negara besar di utara seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Maka itu, saya mengusulkan agar selain kita lebih fokus ke ASEAN, kita harus menciptakan kerjasama yang lebih kohesif dengan ASEAN, untuk bisa mengakses sekaligus mengatur pasar di luar negeri. Apalagi ada prediksi bahwa kalau ASEAN berhasil satu misi dan satu suara, maka ASEAN bisa mengalahkan Amerika dan Eropa.
Kalau ASEAN gagal membangun kohesifitas dalam arti satu misi dan satu suara, maka upaya berbagai negara-negara besar untuk mendorong ke arah kerjasama bilateral ke masing-masing negara ASEAN, akan semakin mudah. Dan itu justru akan memperlemah ASEAN dan khususnya Indonesia. Karena ASEAN tidak bisa satu suara mewakili ruh-nya ASEAN. Kalau ASEAN tidak bersatu dalam satu misi dan satu suara, maka akses pasar di luar negeri tidak mungkin ada. Karena negara-negara besar tidak akan melindungi negara-negara seperti ASEAN, termasuk Indonesia.
Ide menuju kohesifitas ASEAN menurut saya semakin beralasan di tengah-tengah melemahnya Uni Eropa menyusul keluarnya Inggris, maupun sanksi-sanksi yang dijatuhkan Amerika dan Eropa kepada Rusia.
Inilah konteks reaktualisasi politik luar negeri di bidang perdagangan seperti yang saya maksud tadi. Semoga hal ini bisa menjadi bahan untuk didiskusikan lebih lanjut. Terimakasih.
Tim The Global Review