Karena Sistem yang Salah, Negeri Ini Mengalami Pendarahan Otak!

Bagikan artikel ini

Usianya memang terbilang sudah tidak muda. Namun ketika diajak berdiskusi tema kebangsaan, semangat mudanya pun muncul. Ia Nampak masih menjaga kegelisahan untuk peduli dengan perkembangan bangsa. Di usianya yang ke 59 tahun, sikap kritis terhadap pemerintahan masih terjaga. Dengan nada yang terkesan lirih, banyak catatan kritis yang disampaikan kepada pemerintah.

“Melihat kondisi bangsa saat ini, saya coba melakukan pendekatan sebagai dokter saja. Selama ini orang bingung melihat semakin banyaknya kasus, jadi kalo menangani pasien itu, ada pilek, batuk, mual, muntah, terus pusing dan keringat dingin. Susah bener, darimana ini mau mulainya,” ujar dr. Zul, begitu ia kerap disapa memulai bercerita.

Dr. Zul menganalogikan apa yang terjadi di negeri ini dengan bencana Lapindo. Menurutnya, Lapindo itu miniatur Indonesia. Di situ terjadi konspirasi. Mulai dari ijin-ijinnya pun dibuat konspirasi, yang tidak boleh menjadi boleh. Ketika terjadi bencana, dimanipulasi juga. Bencana dianggap sebagai kesalahan teknis. Kemudian setelah ada korban pun terjadi pembiaran. Selain pembiaran, menurutnya, mereka kemudian dipecah-pecah. Diadu domba antar mereka, sehingga mereka tidak solid. Penindasan terhadap rakyat pun terjadi. “Nah, ini gambaran bahwa Indonesia sebetulnya seperti itu. Rakyat diperlakukan begitu,” jelasnya.

Sambil berbicara, dr. Zul sesekali memperhatikan telepon selularnya. Ia pun melanjutkan pembicaraannya. Ia menuturkan, banyaknya aksi mahasiswa yang terjadi belakangan ini bukan sebagai suatu perlawanan tapi hanya sekedar upaya perbaikan. Hanya saja keinginan mahasiswa yang mencoba memperbaiki kondisi bangsa disayangkan belum mengetahui persoalan utamanya. Mereka bingung. Apalagi menurutnya, kebetulan juga yang mengelola negeri ini atau orang-orang yang punya kepentingan dengan enak saja mengelola negara ini.

“Mereka juga tidak mengerti persoalan. Maka dimunculkanlah isu-isu. Isu-isu yang makin membingungkan. Jadi orang-orang yang bergerak seperti mahasiswa atau buruh, sesungguhnya belum tahu apa yang harus diperbaiki,” ujarnya.

Pada akhinya, menurut penilaian dr. Zul, mereka memikirkan dirinya sendiri. Buruh berbicara pengupahan, dokter tentang BPJS. “Inikan hanya potongan-potongan masalah akibat dari amandemen keempat UUD 1945 yang dilakukan MPR pada 2002 lalu,” ujarnya.

Dr. Zul yang merupakan mantan anggota DPRD Tingkat II Kota Surabaya Periode 1987-1992 ini, menyampaikan analisanya bahwa sesungguhnya kondisi negara yang tidak menentu ini akibat dari sistem kenegaraan Indonesia yang tidak jelas. Ia menilai kalau dilihat analoginya, Indonesia sebenarnya punya sistem politik dan pemerintahan yang khas. Menurutnya, MPR itu tidak dikenal di tempat lain. MPR diibaratkan sebagai sistem syaraf pusat, MPR itu otaknya. Disitulah tempat pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah mufakat.

“Sekarang begini, ketika MPR itu direduksi, muncullah keputusan yang namanya amandemen, perubahan UUD. Yang paling mendasar itu adalah pasal 1 ayat 2, kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan oleh MPR. Tapi fungsi itu dicabut. Jadi, fungsi otak itu dicabut. Digantilah oleh menurut UU,” ujar dr. Zul.

Kemudian ia mempertegas. “Nah, itulah yang kemudian yang dibuat oleh partai-partai. Sehingga kedaulatan rakyat ini boleh dikatakan, boleh disimpulkan sudah diambil alih oleh partai-partai, sehingga tidak mewakili bangsa dan rakyat secara keseluruhan. Karena  konsep MPR-nya, atau ibaratnya di otak ini fungsinya diubah.”

Lebih lanjut dr. Zul menambahkan, dahulu MPR konsepnya itu bottom up. Informasi dari bawah, dari daerah-daerah dikumpulkan lima tahun sekali mereka bersidang. Kemudian diputuskan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, maka dibuatlah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Baru dicari siapa yang bisa menjalankan ini. Itulah konsep yang dibawa dalam sistem itu.

Menurutnya, visi bangsa ini sudah ada di dalam preambule UUD 1945. Itu diterjemahkanlah di dalam GBHN sampai lima tahun ke depan.  “Jadi, bukan melalui visi dan misi dari seorang presiden. Ini terlalu kecil. Masing-masing orang memiliki kemauan, makanya arah bangsa ini melompat-lompat,” ujarnya.

Ia berpendapat, kalau di dunia kedokteran dinamakan skizophrenia, cara berpikir yang lompat-lompat. Keinginannya apa, yang dikerjakannya apa. Ini membuat tidak adanya kesinambungan. Bisa dilihat koordinasi antar menteri yang saling lempar tanggung jawab. Ini membuat carut marut. “Oleh karenanya kita harus kembali dulu pada konsep awal bernegara. Kembali ke jati diri, kita instrospeksi yang salah. Sayangnya kita ini bangsa yang malu untuk mengakui kesalahan,” tegasnya.

Lebih lanjut dr. Zul, yang merupakan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menjelaskan, bahwa negara ini memiliki sistem pemerintahan yang kelaminnya tidak jelas. Dibilang presidensil, tapi ada koalisi. Barangkali itu menjadi gambaran yang diidentikkan dengan rasa sakit. Jadi saat ini bisa dikatakan pemerintah sedang sakit.

“Kalau kita lihat presenter-presenter di TV, yang banci itu malah yang laku. Nggak jelas kelaminnya gitu. Itu tergambar di sisi pemerintahan juga,” celetuk dr. Zul.

Pria berkecamata kelahiran Surabaya, 1 Mei 1956 ini memang dikenal humoris. Dalam setiap kesempatan bincang-bincang bersamanya, kerap kali ada cerita-cerita lucu yang dilontarkan. Tak kecuali pertemuan kali ini. Lontaran humornya membuat suasana menjadi cair dan bersahabat.

Menurutnya, tidak jelasnya visi negara ini akibat dari dilakukannya amandemen UUD 1945. Ia mengatakan bahwa  akibat yang paling terasa itu adalah Pileg (Pemilihan Anggota DPR) dan Pilpres (Pemilihan Presiden), yang kemudian menghasilkan orang-orang yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat secara keseluruhan. Padahal kebutuhan rakyat itu adanya figure yang layak.

Dikatakan dr. Zul, kalau GBHN nya sudah diketahui, sebetulnya MPR tinggal memutuskan calon-calon yang kira-kira memenuhi kriteria untuk menjalankan GBHN ini. Bukan KPU. KPU itu sifatnya hanya administratif. Jadi, calon-calon inilah yang dipilih oleh MPR. Calon-calon ini sudah memenuhi kriteria untuk menjalankan GBHN.  Kalau leadership-nya dipilih dengan cara yang tidak benar, dengan sistem yang tidak benar, seperti inilah yang terjadi. Ini yang seharusnya dipahami oleh orang-orang yang memang berniat memperbaiki republik ini.

“Jadi begini, kalau kita masuk hutan, terus nyasar, maka kita harus kembali. Ke titik dimana kita ingat. Kita balik, baru kita perbaiki lagi, oh jalan ini,” ujar pria lulusan SMA Negeri 2 Surabaya ini.

Sekarang ini yang harus ditempuh adalah tujuan bernegara yang sesuai dengan cita-cita yang ada di preambule UUD 1945, yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Itu cita-cita proklamasi. Demokrasi yang berjalan sekarang bukan demokrasi yang dicita-citakan. Saat ini yang terpikir adalah Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar. Padahal demokrasi itu bukan tujuan tapi  merupakan alat untuk mencapai tujuan.

Dalam paparannya, dr. Zul meyakinkan bahwa selama sistemnya masih tidak menjadikan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, maka negara ini tidak akan melahirkan pemimpin yang tepat dan pada akhirnya bedampak pada buruknya pengelolaan negara. “Sesungguhnya republlik ini milik rakyat. Para pejabat negara hanyalah pelayan-pelayan yang digaji oleh rakyat,” ujarnya.

Komitmen dr. Zul untuk berkiprah di dunia politik pergerakan memang sudah terbangun cukup lama. Debut politiknya dimulai ketika ia terpilih menjadi Ketua Umum DPD KNPI Kota Surabaya periode 1985-1988.  Namun karakternya yang kuat sebagai politis memang sudah terlihat ketika dirinya menentang arahan-arahan politik yang tidak sesuai dengan suara hati nuraninya. Alhasil, sepak-terjang dr Zul dianggap tidak loyal oleh Pemuda Panca Marga sebagai organisasi yang mencalonkan dirinya.  Tentu saja dr Zul punya pendirian sendiri.

Baginya,  ketika menjadi Ketua Umum bukan lagi hanya milik Pemuda Panca Marga, melainkan sudah menjadi milik seluruh pemuda yang tergabung di Komite Nasional Pemuda Indonesia. Sikap seperti itu yang kemudian diharapkan juga ada pada orang-orang partai. “Begitu dia jadi pemimpin, dia harus melepaskan atribut itu meskipun itu kendaraannya. Kalau ibarat perusahaan, pemegang saham itu rakyat, mereka inikan eksekutifnya aja. CEO yang dibayar. Tapi sekarang terbalik, mereka nganggap rakyat itu orang-orang yang disuruh, mereka sebagai amtenar yang menjadi penguasa. Itu sudah terbalik balik. Rakyat mau ini ngga bisa.” ujar dr. Zul dengan nada lirih.

Sepertinya ia menanggung kekecewaan yang teramat mendalam. Tampak rasa  kecewa dari ucapan-ucapan yang terlontar.

Dr. Zul kembali mengingatkan bahwa karena proses recruitment anggota DPR/MPR tidak benar dengan sistem liberal ini maka dengan berbagai cara ditempuh. Mereka tidak tahu dirinya siapa dan tidak tahu fungsinya seperti apa. Masyarakat menyerahkan kedaulatannya kepada wakil rakyat yang dipilihnya. Tetapi kemudian mereka tidak pernah memikirkan nasib para pemilihnya. Hal  ini menurutnya tidak benar.

“Jadi memang sistem kenegaraan kita ini harus dikembalikan kepada sistem yang dulu menjadi kesepakatan para pendiri bangsa. Mereka bukan orang-orang bodoh, mereka sangat memahami jatidiri bangsa. Para pendiri bangsa juga sekolah di luar negeri, tapi ketika kembali mereka masih punya karakter sebagai orang Indonesia. Kalau sekarang ini, mereka yang sekolah di luar tapi kemudian karakternya berubah, tidak menjadi Indonesia. Karena mereka hanya berdasarkan otaknya saja, tidak ada kebijakan dan kearifan sebagai identitas orang Indonesia. Itu sudah hilang,” tegasnya.

Ditegaskan dr. Zul, sekarang ini semua sistem bernegara harus diperbaiki, karena ini akibat dari UUD-nya yang sudah dirusak. Makanya menurut dr. Sul, satu-satunya jalan untuk membenahi republik ini, MPR difungsikan kembali, sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. Kalau ternyata anggota DPR/MPR saat ini tidak sepakat maka rakyat yang harus mengambil alih.

Ketika rakyat mengambil alih, jangan melihat berapa kekuatan yang ada. Menurutnya, kita harus yakin tentang kemampuan otak, yakni melalui kecerdasan. Karunia paling besar seorang manusia itu adalah kecerdasan yang tidak dipunyai oleh makhluk lain. Dari kecerdasan itulah kita akan mendapatkan hasil. Ia berterus terang, apa yang dilakukannya hanya dengan mengandalkan kecerdasan saja, dan yakin segala yang dimilikinya. Semua itu adalah kekuatan terbesar, harus dimanfaatkan. Tidak bisa hanya menggunakan otot semata.

Lebih lanjut dr. Zul mengungkapkan, jangan lagi kita terpengaruh oleh orang yang banyak. Orang yang sedikit tapi punya kesamaan visi untuk menyelamatkan bangsa ini sudah cukup. Dan orang-orang tersebut yang mengambil kepemimpinan. Tidak usah menunggu banyak orang. Seperti halnya untuk mendirikan shalat berjama’ah. Syaratnya cukup dua orang bisa. Tidak usah harus menunggu masjidnya dipenuhi jama’ah dahulu.

Ia berpendapat, kalau kita hanya berharap dari satu kelompok, termasuk tentara, maka perubahan ini tidak akan jalan-jalan. Harus ada yang berani mengambil inisiatif. Kemudian, untuk yang mau ikut silahkan, dan yang tidak mau ya sudah. Sudah jelas diagnosanya, ini karena adanya kesalahan sistem. Menurutnya, sistem yang dulu kita miliki dan kita hargai sudah dirusak. “Kita harus kembali, tidak ada cara lain. Kita yang masih punya kesadaran untuk memperbaiki ini, harus segera berkumpul. Sekarang saatnya kita berkumpul. Orang-orang cerdas apalagi ini mahasiswa, calon pemimpin. Kita mesti konsolidasi, merancang sesuatu, bagaimana mengakhiri ketidakbenaran ini,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan. Saat ini memang peran mahasiswa diharapkan. Namun menurutnya, mereka harus dberikan pemahaman secara lengkap bahwa mana yang benar dan mana yang tidak. Jadi dibenak mereka itu, sudah tertancap ini yang harus mereka lakukan.

Sebegai seorang dokter, ia kembali memberikan sebuah analogi dalam memaparkan permasalahan bangsa. Menurutnya, dalam dunia kedokteran ada tiga tindakan setelah terdiagnosanya suatu penyakit. Yaitu tindakannya pakai obat, pakai penyinaran, atau tindakan operasi. Pada operasi juga ada tiga jenis tindakan. Operasi biasa, seperti bedah tulang, kosmetik, operasi urgent itu usus buntu, dan lainnya. Kemudian ada operasi emergency, dimana ketika pasien itu dalam keadaan hampir mati, karena pendarahan otak. Adanya pendarahan otak, karena sistemnya salah. Diinfus berapa pun, di transfuse berapapun maka akan tetap bocor. Karena dilakukan berapapun transfuse akan bocor, makanya harus diselesaikan di meja operasi.

Ia menegaskan bahwa kondisi bangsa saat ini seperti itu. “Negara sedang mengalami ‘pendarahan otak”, dilakukan berapapun ‘transfuse’ hutangnya maka akan bocor. Maraknya korupsi karena memang sistemnya membentuk seperti itu. Oleh karenanya MPR itu harus diselesaikan dengan tindakan ‘operasi emergency’,” jelasnya.

Lalu ia menambahkan, ketika melakukan operasi. Awalnya, dibedah kepalanya. Apa yang menyebabkan pendarahannya, dibersihkan kanker-kankernya kemudian ditutup kembali, dan selesai. Tahapan seperti itu yang harus dilakukan. Dan karena ini emergency maka dibutuhkan persiapan. Anastesinya bagaimana, jantungnya bagaimana, dan kondisi lainnya bagaimana. Maka kemudian berunding terlebih dahulu. “Dalam kehidupan bernegara pun seperti itu, kaum intelektual harus duduk bersama untuk mengetahui dan memahami persoalan sebenarnya yang terjadi bagaimana,” tegasnya.

Lanjut ia menerangkan, sedangkan pada saat operasi berjalan, para dokter bermusyawarah, melupakan ego masing-masing. Tidak ada siapa yang paling berwenang, apa itu dokter bedah, dokter penyakit dalam, atau dokter spesialis lainnya. Mereka konsentrasi pada pasiennya agar selamat.

Pun menurutnya, dalam mengelola bangsa ini, yang ada adalah bagaimana bangsa ini harus selamat. Kalau sudah selamat, baru disembuhkan, recovery namanya. Setelah sembuh baru kemudian disehatkan. Selama ini menurutnya, tidak ada sistematika yang dibuat. Semua kondisi dianggap sehat padahal sedang sakit.

“Dulu itukan, masalahnya cuma pada Soeharto yang sebetulnya harus diselesaikan. Kenapa kemudian kebablasan menjadi begini? Ini karena memang ada desain yang menginginkan republik ini tidak survive. Ingin negara ini porak-poranda. Jangankan ngomongin cita-cita kemerdekaan, wong bertahan saja sudah syukur. Itu yang saya khawatirkan. Kalau kita tidak segera kembali, akan terus menjadi seperti ini,” ujarnya.

Api semangat itu tampak tetap menyala pada dirinya. Di akhir perbincangan, ia menyampaikan pesan yang cukup menginspirasi. “Dalam menjalani hidup, ada pesan seorang ulama yang senantiasa diingatnya. Bahwa kalau ada seribu orang melawan kedzoliman, satu diantara seribu itu harus saya. Kalau ada seratus, satu diantara seratus harus saya. Kalau sepuluh orang, satu diantara sepuluh itu harus saya. Dan kalau memang hanya satu orang yang melawan kedzoliman tersebut, maka satu-satunya orang itu juga harus saya. Inilah keyakinan. Kalau sudah yakin dan maka pasti akan ada tuntunannya yang jelas dari Tuhan Yang Maha Esa,” ujar dr. Zul mengakhiri diskusi. (fsa/dk/ht)

—–

Profil Singkat dr. Zulkifli:

Nama                             : dr. Zulkifli

Tempat/ Tanggal Lahir     :  Surabaya, 1 Mei 1956

Pendidikan                      :  1. SMA Negeri 2 Surabaya

2. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Tahun 1975-1988

Organisasi                      :   Ketua Umum DPD KNPI Kota Surabaya Tahun 1985-1988

Pekerjaan                      :   Anggota DPRD Tingkat II Kota Surabaya 1987-1992

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com