Kasus Kim Dotcom, Bukti Nyata Amerika Bersikeras Kuasai dan Kendalikan Media Internet di Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Ada  berita menarik dua minggu lalu seputar di ranah telekomunikasi dan media cyber. 89 negara yang tergabung dalam International Telecomunication Union telah menandatangani kesepakatan baru terkait regulasi telekomunikasi yang member kewenangan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengatur tata-kelola internet. Menariknya, Amerika Serikat menolak ikut menandatangani kesepakatan baru bidang telekomunikasi tersebut, dengan dalih yang menurut saya sangat aneh yaitu, karena terdapat kata-kata dari regulasi baru tersebut yang membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk mengontrol internet.

Dalam pandangan kami dari Global Future Institute, dalih yang digunakan Amerika untuk menolak keikutsertaannya dalam regulasi baru telekomunikasi ini, menarik untuk digali lebih jauh. Benarkah semata karena alasan-alasan yang tidak demokratis di balik perjanjinan teleokomunikasi PBB tersebut, atau karena Amerika merasa akan kehilangan kontrol dan kendalinya atas tata-kelola internet internasional yang selama ini memang berada dalam dominasi beberapa korporasi global Amerika yang berada di luar kendali pemerintahan di Washington.
Global Future Institute memandang kesepakatan baru bidang telekomunikasi tersebut merupakan sebuah langkah strategis yang cukup mendasar, karena perjanjian ini merupakan revisi atau bahkan pembaruan terhadap regulasi sebelumnya (International Telecomunication Regulation-ITRs) yang ditandatangani pada 1988.
Yang  mencurigakan dari alasan yang disampaikan pihak Amerika adalah keberatannya soal kemungkinan adanya tata-kelola baru dalam bidang internet. Padahal Sekretaris Jenderal ITU Hamadoun Toure jelas-jelas mengatakan kesepakatan tersebut tidak menyinggung sama sekali soal internet, meskipun di kesepakatan terdapat seruan yang tidak mengikat untuk mendorong pertumbuhan internet.
Adapun bunyi resolusi yang jadi keberatan Amerika tersebut: “Semua pemerintah harus mempunyai prean dan tanggung jawab yang sama soal tata kelola Internet dalam level internasional untuk memastikan stabilitas, keamanan dan keberlanjutan Internet dan  masa depan pengembangannya.”
Kalau ini yang jadi keberatan Amerika, kiranya logis bagi kita untuk bercuriga mengapa negara Paman Sam ini begitu khawatir dengan adanya peran pemerintah dalam mengatur tata kelola internet, yang tentunya termasuk soal cyber media.
Dalam War on Terror yang menjadi landasan kebijakan mantan Presiden George W Bush antara 2000-2008, memang Amerika telah mengekploitasi habis-habisan media cyber untuk membangun opini masyarakat internasional bahwa aksi terorisme menyusul pemboman Gedung World Trade Center dan Pentagon, dilakukan oleh anasir-anasir Islam Radikal yang diprakarsai oleh Al Qaeda dan Osama bin Laden. Dalam perang informasi ini, media internet telah menjadi instrument penting pihak Pentagon. Dan dalam skema perang informasi model begini, Amerika memang mengandalkan pada korporasi-korporasi swasta yang bergerak di bidang Information Technology (IT), untuk melayani kepentingan-kepentingan strategis Amerika dalam pengembangan opini publik. Dan bilamana perlu, korporasi-korporasi global AS di ranah IT tersebut memainkan peran sebagai agen-agen intelijen yang bekerja untuk Pentagon maupun National Security Act (NSA). NSA, yang dinilai bahkan jauh lebih berbahaya mengingat jangkauan kendali kontrolnya di dalam dan luar negeri Amerika, selalu mengandalkan pada perangkat-perangkat telekomunikasi dan teknologi komunikasi dalam operasi-operasi intelijennya mengawasi dan mendeteksi musuh-musuh Amerika.
Membuka Kembali File Lama Kim Dotcom, Korban Operasi Intelijen Amerika dan Selandia Baru
Kalau anda membuka file-file lama berupa berita-berita Koran pada 1990-an, maka terdapat seorang sosok yang bergerak sebagai entrepreneur di ranah internet. Dial ah Kim Schmitz atau yang kelak lebih populer sebagai Kim Dotcom. Dotcom dinilai sukses sebagai entrepreneur di ranah internet karena dia lah pendiri dan pemrakarsa berdirinya Megaupload beserta perusahaan-perusahaan rekanannya(associated) yang mengelola hosting website.
Pada 20 Januari 2012, pemerintah Selandia Baru menjebloskan Dotcom ke penjara gara-gara tuduhan pemerintah Amerika bahwa Dotcom terlibat dalam pelanggaran hak cipta terkait  kiprah dirinya di Megaupload website dan penggelapan. Bahkan pihak Amerika menjerat Dotcom terlibat dalam insider trading jual beli saham yang barang tentu dianggap pelanggaran hukum. Benarkah semua tuduhan pihak Amerika tersebut?
Yang jelas Dotcom sendiri sudah membantah semua tuduhan tersebut dan tidak benar.  Kalau melihat rekam jejak Dotcom bergerak di ranah internet, sepertinya Amerika memang khawatir benar dengan orang model Dotcom ini. Kalau ukuran sukses seseorang dilihat dari segi materi. Mungkin Dotcom merupakan salah satu contoh yang cukup fantastis. Pada 2009. Dotcom membeli 12 mobil mewah seharga 3,2 juta dolar AS. Dan menyewa sebuah helicopter untuk bersiaga mengantarkan dia ke mana pun dia pergi.
Sedemikian rupa reputasinya sebagai pengusaha sukses dalam bidang hosting website, sehingga pemerintah Selandia Baru dengan senang hati member izin mukim bagi Dotcom pada November 2010. Izin tersebut diperoleh Dotcom dari Kementerian Imigrasi Selandia Baru. Padahal waktu itu Dotcom sudah dikenakan vonis pidana dan dipersona non grata dari Thailand. Yang menarik itu pertimbangan mengapa pihak imigrasi Selandia Baru member izin tempat tinggal di Selandia Baru. Menurut Warwick Truck, Kepala Imigrasi Selandia Baru, Dotcom dikabulkan permohonan tinggal di negeri ini karena masuk kategori investor istimewa (The Investor Plus Categoy). Menurut ketentuan Imigrasi Selandia Baru, seseorang diberi izin tinggal kalau dia mampu menanam investasi sebesar  10 juta dolar AS di Selandia Baru.
Kembali ke bisnis inti Dotcom dalam file hosting dan bisnis berbagi informasi, mulanya pada Februari 2003 Dotcom merintis berdirinya sebuah perusahaan bernama Data Protect Limited, yang kemudian dia rubah namanya menjadi Megaupload pada 2005. Di sinilah keanehan mulai timbul. 7 tahun setelah sukses mengelola Megaupload, Pada 2012 Dotcom nampaknya mulai jadi target operasi aparat intelijen dan keamanan Amerika.  Sehingga pada 5 Januari 2012, pemerintah Amerika negara bagian Virginia telah mengajukan dakwaan  tindak kejahatan pembajakan  media-media online, persekongkolah dalam pelanggaran hak cipta, bahkan persekongkolan dalam pencucian uang (money loundering) terhadap Dotcom dan para eksekutifnya.
Pada saat dakwaan tersebut diajukan pada Dotcom dan rekan-rekan bisnisnya, dia sudah mukim di Selandia Baru.  Alhasil, dua minggu sejak dakwaan diajukan, Kim Dotcom beserta mitranya seperti Finn Batato, Mathias Ortman dan Bram van der Kolk, dikenakan dijebloskan oleh kepolisian Selandia Baru di Coatesville, Auckland, Selandia Baru. Aset kekayaan Dotcom senilai 17 juta dolar AS disita oleh pihak kepolisian Selandia Baru, termasuk 18 mobil mewah, dan benda-benda seni yang tentunya bernilai jutaan dolar. Yang lebih sialnya lagi, rekening bank Dotcom segera dibekukan. Sehingga Dotcom tidak bisa mengakses uang cash-nya  yang diperkirakan senilai 175 juta dolar AS.
Sejak saat itu berakhir lah sudah legenda Dotcom di ranah internet. Karena sejak saat itu dia meringkuk dalam penjara. Namun kasusnya ini belakangan menarik perhatian beberapa media sehingga berkembang spekulasi bahwa jangan jangan Dotcom telah menjadi korban dari target operasi aparat intelijen Selandia Baru atas arahan dan permintaan dari FBI, polisi federalAmerika. Karena saat Dotcom dan para mitra bisnisnya ditahan, merupakan warga negaraasing yang sudah mendapat izin tinggal di Selandia Baru. Sehingga pihak berwajib Amerika tidak punya legalitas menangkap Dotcom.
Dan celakanya, ada banyak bukti-bukti bahwa The Organized and Financial Crime Agency (OFCANZ) telah meminta badan intelijen Selandia Baru untuk memata-matai Dotcom dan mitranya van der Kolk sejak 16 Desember 2011. Peran dari lembaga spionase Selandia Baru The Government Communication Security Bureau (GCSB) dalam menangani spionase terhadap Dotcom dan para mitranya ini pun terungkap pada Agustus 2012. Ketika para pengacara Dotcom menginvestigasi aparat kepolisian ihwal sekelompok orang tanpa identitas yang terlibat dalam sebuah pertemuan menjelang penggrebekan dan penangkapan terhadap Dotcom di tempat tinggalnya pada 19 Januari 2005 (2 minggu setelah dikenakan dakwaan oleh pemerintah negara bagian Virginia Amerika Serikat). .
Sekelumit kisah yang kami sajikan tentang  Kim Dotcom, membuktikan betapa Amerika dan sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasifik, telah secara total mengendalikan dan menguasai media-media cyber, termasuk perangkat-perangkat-perangkat telekomunikasi terbaru yang didistribusikan oleh Amerika bagi perusahaan-perusahaan IT provider-provider luar negeri. Sehingga para stakeholders telekomunikasi dan cyber media Amerika ini praktis mempunyai akses bebas tanpa hambatan terhadap pertukaran dan berbagi data-data elektronik (Electronic Data Exchange and Sharing).
Kedua, kasus Kim Dotcom tersebut secara jelas membuktikan bahwa Washington secara aktif tetap  menjalin kerjasama dengan beberapa  badan-badan intelijen negara-negara sekutunya di Asia Pasifik dalam menerapkan secara illegal sarana dan cara-cara mengadakan investigasi terhadap warga masyarakat yang bermukim di negara-negara yang masuk dalam kendali dan penguasaan pemerintah Amerika. Seperti Kanada, Selandia Baru, Australia dan Inggris. Kesemua negara yang tersebut tadi masuk kategori the US-led “Echelon” Global Surveillance Stations.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com