Kebangkitan Cina dan Sikap Negara-Negara di Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Tinjauan Kecil Geopolitik

Menurut Stephen M. Walt, bahwa persepsi terhadap kekuatan baru dan bagaimana menghadapinya menjadi penting. Dan hal tersebut —penyikapan kekuatan baru— adalah tema utama dalam bukunya Walt yang berjudul The Origins of Alliances (Cornell University Press, 1986).

Retorikanya begini, “Apakah kebangkitan negara besar di kawasan akan disikapi secara balancing, bandwagoning, atau hedging?”

Selanjutnya singkat narasi, balancing itu upaya perimbangan terhadap munculnya kekuatan baru yang dipersepsikan sebagai ancaman; hedging itu sikap membatasi dan/atau melindungi diri dari persepsi ancaman akibat munculnya kekuatan (adidaya) baru; dan bandwagoning justru bersekutu dengan kekuatan baru tersebut.

Ya. Ketiga sikap dan/atau strategi di atas bukanlah hal baru di dunia (geo) politik, karena hampir semua negara di kawasan manapun niscaya memilih di antara tiga strategi tersebut dikala menghadapi kebangkitan kekuatan baru. Entah memilih satu —balancing saja— misalnya, atau dua strategi sekaligus, atau memilih ketiga-tiganya. Tapi jarang yang memilih dua atau tiga strategi sekaligus. Kenapa? Selain high cost, terkesan tak punya “warna”, juga biasanya negara (adidaya baru) memiliki target dan persyaratan tertentu yang mengikat para pihak.

Kebangkitan Jerman menjelang Perang Dunia II, contohnya, hal itu disikapi secara balancing oleh Inggris dan Perancis. Kedua negara membuat perimbangan kekuatan baik dari sisi internal maupun eksternal, akan tetapi Italia justru memilih bandwagoning. Merapat ke Jerman, beraliansi dengan kekuatan baru.

Atau Israel, contoh di era kini, betapa di tengah memanasnya suhu politik antara Cina versus Amerika/AS, ia justru merangkul Cina dalam hal pariwisata, perdagangan, investasi, dan lain-lain. Sikap Israel ini boleh disebut bandwagoning strategy menghadapi kebangkitan Cina di dunia. Boleh-boleh saja. Namun dirasa unik, kenapa? Paman Sam itu “mentor”-nya Israel di satu sisi, tetapi pada sisi lain, kenapa ia malah bersekutu dengan rival sang mentor? Ini unik. Tetapi apa hendak dikata, dinamika (geo) politik memang unpredictable. Tak bisa diramal sekaligus turbulent, bersifat tiba-tiba.

Pertanyaan selidik pun muncul, “Apakah merapatnya Israel ke Cina atas restu AS dalam rangka operasi intelijen mencuri informasi atas riil kekuatan Cina; atau jangan-jangan, hal itu memang pilihan sikap karena Israel melihat bahwa Cina kelak akan mampu menggantikan Paman Sam sebagai superpower?” Apakah Israel berkhianat kepada AS, sang mentor? Ini perlu kajian secara tajam lagi mendalam.

Mencermati hal-hal di atas, pertanyaan besar muncul di Asia Pasifik, “Apakah kebangkitan Cina dianggap ancaman bagi kawasan?” Jika tidak, no problem. Lanjutkan sebagaimana adanya. Namun bila dianggap ancaman, bagaimana negara – negara di Asia Pasifik menyikapi kebangkitan Cina? Kemudian, apa pilihan strategi mereka: “Balancing, hedging, atau bandwagoning?”

Bersambung ke Bagian II

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com