Kebijakan Amerika Serikat dan Teror Orlando

Bagikan artikel ini
Dalam konferensi pers seusai rapat dengan Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Presiden AS Barack Obama mengatakan, “Pembunuh di Orlando dilakukan oleh seorang anak muda pemarah, terganggu dan tidak stabil yang teradikalisasi.” Menurut Obama, Mateen mendapatkan informasi ekstrimis dan propaganda dari internet.
Omar Mateen merupakan anak dari pasangan imigran asal Afghanistan dan ia dilahirkan di New York. Sekarang muncul berbagai dugaan seputar motif pelaku penembakan tersebut. Juru bicara Biro Investigasi Federal AS (FBI) mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki apakah serangan itu tergolong kasus terorisme domestik atau internasional.
Serangan teror Orlando akan memberi dampak pada tingkat regional dan internasional. Ia dianggap sebagai 11 September baru dengan skala yang lebih terbatas, di mana membawa berbagai pesan regional dan internasional. Dalam hal ini, Roger Cohen, penulis surat kabar New York Times‎, membeberkan dampak-dampak negatif penembakan Orlando dan secara khusus insiden ini akan memperkuat rasisme di Amerika dan Eropa. Cohen mengatakan, “Penembakan massal Orlando akan menguntungkan proses mengerikan kubu sayap kanan, isolasionis, populis dan rasis di Amerika dan Eropa.”
Sudah bisa ditebak bahwa anak panah akan diarahkan ke sisi Muslim sebagai reaksi atas penembakan di Orlando. Bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump menegaskan kembali rencananya untuk melarang Muslim memasuki Amerika. Ia benar-benar memanfaatkan insiden itu sebagai momen untuk menyerang Muslim.
Trump memanfaatkan penembakan tersebut untuk menjustifikasi komentar kontroversialnya mengenai larangan semua Muslim masuk ke Amerika. Ia menuturkan bahwa sejumlah orang menghubunginya setelah kejadian itu dan mengucapkan selamat karena ia sudah berkata benar. Kemudian di akun Twitter pribadinya, Trump menulis, “Saya menghargai ucapan selamat karena (kata-kata saya) terbukti benar terkait terorisme Islam radikal. Tapi saya tidak ingin ucapan selamat, saya ingin ketegasan dan kewaspadaan.”
Para pengamat percaya bahwa penembakan Orlando bisa menambah kekuatan kelompok ekstrim kanan di AS dan menyediakan ruang yang lebih besar kepada orang-orang yang mengkampanyekan Islamphobia. Kelompok ini ingin menekan masyarakat Muslim di AS dan negara-negara Eropa serta mengontrol masuknya imigran dan pendatang Muslim ke AS.
Dampak negatif insiden-insiden seperti ini sangat cepat mempengaruhi kondisi masyarakat Muslim di AS. Kejadian itu kembali memperkuat upaya kelompok rasis dan ekstrim di Negeri Paman Sam untuk merusak citra Islam. Mereka memanfaatkan penembakan Orlando untuk menyuarakan sikap anti-Muslim di jejaring sosial dan mencoba memperkenalkan Muslim sebagai pelaku serangan tersebut.
Sebagian pengamat mengatakan bahwa penembakan Orlando akan mempengaruhi partisipasi Muslim pada pemilu presiden AS. Jika tekanan terhadap Muslim meningkat pasca insiden ini, maka mereka tidak akan memberikan hak suaranya pada hari pemungutan suara karena khawatir menjadi target serangan kelompok tertentu.
Senator Republik, Jeff Flake mengatakan, “Investigasi akan dilakukan terhadap insiden itu untuk mengetahui motif pelaku. Jika pelakunya diketahui mengikuti Daesh, maka aspek terorisme akan dipelajari dan jika latar belakangnya adalah masalah mental dan psikologis, maka undang-undang kontrol senjata akan dibahas.”
Kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, Bernie Sanders mendesak peninjaun kembali undang-undang kepemilikan senjata. Hillary Clinton juga mengulangi seruannya untuk pengendalian senjata yang lebih ketat termasuk larangan senjata serbu di AS.
Penembakan Orlando kembali memunculkan perdebatan tentang undang-undang kebebasan kepemilikan senjata di AS. Presiden Obama dalam pidatonya mengatakan, tim penyelidik tidak memiliki informasi apapun untuk mengindikasikan adanya kelompok teroris asing manapun yang memerintahkan serangan. Ia menilai kejadian itu sebagai implikasi dari undang-undang kebebasan memiliki senjata dan mengkritik Trump karena mengaitkan penembakan Orlando dengan Muslim.
Asosiasi Senjata Api Amerika (NRA) sebagai salah satu lobi utama kepemilikan senjata di negara itu, kembali menjadi sorotan dan sasaran kritik setelah penembakan di Orlando. Buletin New York Daily News dalam satu laporannya dengan judul, “Thanks, NRA” memperkenalkan asosiasi itu sebagai pihak yang harus disalahkan atas kejadian tersebut.
Penembakan Orlando juga berimplikasi pada penerimaan imigran di AS. Presiden Obama dan anggota Partai Demokrat menegaskan bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan bersahabat terkait penerimaan pengungsi. AS menampung 2,5 ribu pengungsi Suriah sepanjang lima tahun lalu. Menurut laporan Departemen Luar Negeri AS, Obama memutuskan untuk menerima 10 ribu pengungsi Suriah sebelum akhir tahun 2016.
Akan tetapi, perkembangan terbaru membuat Kongres AS mengkritik kebijakan Obama soal pengungsi dan menghalangi terwujudnya rencana itu. Kongres sedang mengkaji sebuah draft undang-undang yang bertujuan memangkas jumlah penerimaan pengungsi di Amerika. Berdasarkan aturan ini, polisi federal dan menteri keamanan nasional AS harus menyiapkan laporan tentang pemeriksaan latar belakang setiap pengungsi dan memastikan bahwa mereka bukan ancaman bagi keamanan AS. Menyiapkan laporan seperti ini tentu saja akan memakan waktu berbulan-bulan dan mungkin juga bertahun-tahun.
AS dengan alasan memerangi terorisme menginvasi Irak dan Afghanistan, namun serangan ini bukannya mencerabut akar terorisme, tapi malah melahirkan monster-monster baru seperti, Daesh, Front al-Nusra, Jaish al-Fatah, dan puluhan nama lain. Pada dasarnya, kebijakan AS dan dukungannya kepada teroris di Suriah telah menyebabkan penyebaran aktivitas kelompok-kelompok teroris, di mana zona operasi teroris bahkan telah mencapai wilayah Amerika.
Di sisi lain, jarang ditemukan analis yang menutupi peran Arab Saudi dalam sejumlah peristiwa mulai dari memberi dukungan dana dan senjata kepada kelompok-kelompok teroris di Irak dan Suriah, menghasut perang sektarian sampai menyerang rakyat Yaman. Jejak Saudi dalam peristiwa 11 September juga tidak bisa ditutupi, di mana 15 dari 19 pelaku serangan adalah warga Arab Saudi.
Meski kejahatan rezim Riyadh sudah menjadi rahasia umum, namun pemerintahan Obama pada tahun 2010 mengeluarkan izin penjualan senjata senilai 60 miliar dolar kepada Arab Saudi. Sejak masa itu, pemerintah AS telah melaksanakan kesepakatan penjualan senjata sekitar 48 miliar dolar. Angka ini tiga kali lipat lebih besar dari total nilai penjualan pada masa pemerintahan George W. Bush. Senjata-senjata itu sekarang digunakan untuk memperkuat Daesh dan teroris serta membunuh rakyat sipil Yaman.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, Mansour al-Turki mengatakan, “Omar Mateen pernah berkunjung ke Saudi pada tahun 2011 dan 2012 lalu.” Dalam hal ini, seorang pejabat AS juga mengatakan bahwa Mateen pernah satu kali melakukan kunjungan ke Uni Emirat Arab. Meskipun pejabat Riyadh tidak menjelaskan apakah Mateen menjalin kontak dengan para teroris selama perjalanannya ke Saudi, namun tidak mustahil ia menghubungi para pentolan teroris di negara itu.
Lalu, mengapa AS tidak menekan Arab Saudi dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah tindakan liar negara tersebut, tapi justru melanjutkan dukungan penuhnya kepada Riyadh? Meskipun ini bertentangan dengan tuntutan rakyat Amerika dan bahkan mempertaruhkan nyawa warganya dan juga keamanan nasional, tapi Washington tetap tidak bersedia mencabut dukungannya kepada Riyadh.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com