Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Jepang dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Tahun 1942 – 1945

Bagikan artikel ini

Siswo Dwi Martanto

A. Pendahuluan
Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Di awal pendudukannya Jepang menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak kepada bangsa Indonesia. Bendera merah putih dibiarkan berkibar, dan bahas Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat. Sedangkan posisi yang kosong dalam pemerintahan didistribusikan kepada kaum terpelajar Indonesia. Indonesia dalam pandangan rakyat sebentar lagi akan merdeka. Bagi Jepang tindakan tersebut hanya upaya jangka pendek untuk mendapat dukungan rakyat sebelum mereka menunjukkan tujuan utama kedatangannya.

Pada perkembangan selanjutnya kebijakan Jepang terhadap Indonesia berubah. Orientasi yang sebenarnya lebih diarahkan pada upaya eksploitasi sumber daya alam, mobilisasi sumber daya manusia, serta mengupayakan mobilisasi sumber daya kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Pada masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan dampak dari pendudukan Jepang yang sangat menekan dan sangat memeras.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama.

Namun demikian, selain segi-segi merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segi – segi yang menguntungkanpun juga ada dan dirasakan pula oleh masyarakat Jawa.

B. Kebijakan Ekonomi Pemerintahan Jepang

Dalam menjalankan kebijakan pemerintahannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama. Pertama, mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum. Kedua, memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang sudah ada. Ketiga, meletakkan dasar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah selatan.1  Oleh karena itu pemerintah Jepang pada awalnya senantiasa berupaya mencapai dan kemudian mempertahankan keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan seperti yang sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu.

Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas, yaitu menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. 2

Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha. Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi atau kerja bakti. Pada awalnya mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap desa. Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan berakhir dengan kematian dari ½ 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma, Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak.

Kebijaksanaan yang dilakukan Jepang bidang ekonomi di Jawa adalah :

1). Peningkatan produksi padi

Keadaan beras di Jawa tahun 1942 sangat mengkhawatirkan. Oleh kerena itu produksi padi perlu ditingkatkan. Dalam rangka itu Jepang merencanakan penambahan areal tanah. Cara menambah areal tanah ini adalah dengan dengan membuka tanah baru terutama bekas perkebunan tanah lainya yang belum pernah ditanami. Disamping itu Jepang yang memeperkenalkan teknik penanamam padi yang baru, yaitu menanam bibit padi tanaman padi garis lurus dan Jepang mengemukakan bahwa hal ini adalah penyebab rendahnya produktivitas padi. Petani diharapkan menanam bibit padi lebih dari 2 centimeter dan tidak membiarkan tanaman terlalu besar di tempat pembibitan sebelum dipindahkan. Cara penanaman padi yang diperkenalkan oleh Jepang ini akhirnya diterima oleh petani Jawa, karena cara tersebut lebih efektif dalam rangka meningkatkan produksi padi.

2). Wajib serah padi
Pada masa pendudukan Jepang, Jawa ditetapkan sebagai pemasok beras pulau-pulau diluar Jawa serta untuk keperluan medan pertempuran di medan pertempuran di pasifik selatan. Beras didatangkan dari Jawa semakin memiliki arti yang sangat penting karena semasa perang angkatan jarak jauh dan perkapalan sangat sulit serta keamanan di laut memburuk. Disamping itu, beras Jawa dikenal bermutu tinggi dan rasanya enak. Oleh karena itu, Jepang berkeinginan untuk memperolah beras dari Jawa sehingga kebijakan mereka ditujukan unuk memeksimalkan produksi dan pengumpulan beras.

Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang adalah: 4
1). Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.

2). Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu, gula, pohon jarak, kapas dan sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang.

3). Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.

4). Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian), serta instansi resmi pemerintah.

5). Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian rakyat compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.

Dalam bidang sosial-ekonomi, pemerintahan pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang, seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagianya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua. 5

Demikian bentuk praktik-praktik eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang, yang telah begitu banyak menghancurkan sumber daya alam, menimbulkan krisis ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan tingginya tingkat kematian seperti yang terjadi juga pada bidang sosial, khususnya pergerakan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih mengarah pada kerja paksa untuk kepentingan perang.

C. Perubahan Sosial – Ekonomi Masyarakat Jawa

Berbagi kebijakan ekonomi Jepang di Jawa tentu ada kaitannya dengan perubahan sosial-ekonomi masyarakat Jawa tahun 1942-1945. Bentuk kebijakan ekonomi Jepang di Jawa yang berakibat pada perubahan sosial-ekonomi masyarakat secara mendasar ialah diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang semakin meningkat bagi tentara Jepang di front-front pertempuran.

Selain itu akibat dari terputusnya komunikasi pemerintah Jepang dengan daerah-daerah di wilayah selatan, menyebabkan daerah-daerah di wilayah selatan harus mencukupi sendiri kebutuhan ekonominya. Sehingga Syu (karesidenan) harus mampu mengelola kebutuhan ekonominya sendiri. Apalagi kenyataan bahwa antara kenyataan dan target penyetoran padi tidak sebanding. Di karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan Maret 1944 dari target setoran sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton atau sekitar 46,7% dari target. Bahkan dari April sampai dengan September 1945 dari total target 80.000 ton, hanya dipenuhi 17.464 ton atau sekitar 21,8%. 6 Selain disebabkan oleh target setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah faktor produksinya. Pada tahun 1944 terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan tahun 1941. kemungkinan lain ialah faktor kesulitan pengangkutan dan buruknya tempat poenyimpanan sehingga padi menjadi busuk.

Itulah sebabnya dalam sidang Chuo Sangiin pada bulan Nopember 1944 dibahas langkah-langkah untuk menintensifkan penyerahan padi bahkan ke desa-desa. Untuk itu dibentuk nogyo kumiai (koperasi pertanian) sebagai lembaga pedesaan yang diharapkan dapat memeksimalkan hasil pertanian. Kepala desa (kucho) bertanggung jawab terhadap target setoran sedangkan operasionalnya diserahkan melelui kumicho. 7 Proses eksploitasi tersebut  terlihat secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal dipahami bahwa perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani Jawa menurut Scott ialah petani yang subsisten, yaitu ia sekaligus satu unit produksi dan konsumsi. Dengan itu, masalah yang dihadapi petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk makan sekeluarga., untuk membeli barang kebutuhan dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar.

Implikasi dan penyerahan wajib tersebut ialah meningkatnya angka kematian dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Bahkan keadaan sosial serta tingkat kesejahteraan sosial yang sangat buruk sebagai akibat kelangkaan bahan pangan. Angka kematian. lebih tinggi dari angka kelahiran. Di Kudus misalnya angka kematian mencapai 45,0 %, sedangkan di Purworejo dan Wonosobo mencapai 42,7% dan 53,7%. Pola makan yang berubah, pola hidup yang bergeser serta tekanan-tekanan sosial-ekonomi yang menghimpit perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologis. 9

Dalam aspek fisik yang nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Kegelisahan komunal dan ketidaktentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya. Dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa berada dalam tingkat yang sangat buruk. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situsi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir.

Praktik eksploitasi atau pengerahan sosial lainnya adalah bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (Jung hu Lanfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Para wanita ini awalnya diberi iming-iming pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan disekolahkan, ternyata dijadikan pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang, Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit (terkena penyakit kotor), stress bahkan ada pula yang bunuh diri karena malu.10 Militer Jepang tidak bekerja sendirian melakukan operasi tersebut. Mereka didukung pejabat setempat seperti lurah dan camat serta melalui Tonarigumi (RT/RW). Jika operasi ini mendapat kecaman masyarakat, maka militer Jepang memakai tangan penguasa setempat untuk menutupi perbuatan biadab mereka. 11

Adapun kebijakan pemerintah Jepang di bidang sosial yang dapat dirasakan manfaatnya seperti pembentukan Tonarigami (RT), satu RT ½ 10 – 12 kepala keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan dari pemerintah desa.12 Seperti tercantum dalam berita pembentukannya, tujuannya antara lain adalah agar penduduk berusaha meningkatkan produksi hasil buminya dan menyerahkannya untuk negeri. 13 Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia terjadi pada masa pemerintahan Jepang berupa diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam institusi atau lembaga sosial di berbagai daerah.
___ _______________
catatan kaki:
1 AB Lapian , dan JR Chaniago. 1988. Di Bawah Pendudukan Jepang: Kisah Empat puluh Dua Orang yang Mengalaminya. Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia. Hal. 2.
2 Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang : IKIP Semarang Press. Hal. 180.
3 Aiko Kurasawa. 1993. Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang Perubahan Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia. Hal. 9.
4 Hendri F Isnaeni, dan Apid. 2008. Romusa Sejarah Yang Terlupakan. Yogyakarta : Ombak. Hal.37-38.
5 Aiko Kurasawa. 1993. Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang Perubahan Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia. Hal. 453.
6 Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang:IKIP Semarang Press. Hal. 191.
7 Ibid., hal. 192.
8 James C. Scott. 1989. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta:LP3ES.
9 Cahyo Budi Utomo,. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang:IKIP Semarang Press. Hal. 192.
10 http://musangjantan.blogspot.com/2008/05/pendudukan-jepang.html
11 Eka Hindra,. 2006. Semangat Asianis Jepang; Menciptakan Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang Sebaga iLogistik Perang Asia Pasifik 1931-1945. Dalam http://www.geocities.com/jugunianfuindonesia/semangat.html.
12 Hendri F. Isnaeni, dan Apid. 2008. Romusa Sejarah Yang Terlupakan. Yogyakarta : Ombak. Hal.40.
13 Kan Po, no. 34, Th III, Januari 2604 dalam Poesponegoro dan Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:Balai Pustaka. Hal. 40.

DAFTAR PUSTAKA

Hindra, Eka. 2006. Semangat Asianis Jepang; Menciptakan Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang Sebagai Logistik Perang Asia Pasifik 1931-1945. Dalam http://www.geocities.com/jugunianfuindonesia/semangat.html (diunduh pada 18/12/08)

Isnaeni, Hendri F. dan Apid. 2008. Romusa Sejarah Yang Terlupakan. Yogyakarta : Ombak.

Kurasawa, Aiko.1993. Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang Perubahan Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia

Lapian AB., dan Chaniago, JR.1988. Di Bawah Pendudukan Jepang: Kisah Empat puluh Dua Orang yang Mengalaminya. Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia

Poesponegoro, Djoned M. Dan Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka

Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta:LP3ES
Utomo, Cahyo, Budi. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang:IKIP Semarang Press
Website : http://musangjantan.blogspot.com/2008/05/pendudukan-jepang.html

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com