Kebijakan Luar Negeri AS di Kawasan Heartland Tetap Tidak Berubah Dalam Era Donald Trump (2024-2028)

Bagikan artikel ini

Pemilihan Presiden AS sudah berakhir. Donald J. Trump berhasil mengalahkan Kamala Haris sebagai presiden Amerika. Adakah perubahan yang drastis terkait kebijakan luar negeri AS? Dalam perspektif keamanan nasional AS, meskipun dalam doktrinnya bisa saja berbeda prioritas dan penegasan ketika dijabarkan oleh setiap presiden Amerika yang berbeda, namun tetap merujuk pada satu frase kalimat:  US National Interest is the survival of homeland and the US Political Order.

(Dirgo D. Purbo, Geopolitik Perminyakan (2006). Jakarta: Verburn-Center for The Study of Intelligence And Counter-Intelligence).

Kepentingan nasional (the survival of homeland) yang ditujukan untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, tentu saja yang dimaksud adalah mengutamakan perlindungan kepentingan korporasi-korporasi multinasional yang bersenyawa dengan ambisi geopolitik para elit politik pemerintahan negara yang bercokol di Gedung Putih maupun para kongres yang bermarkas gedung Capitol Hill. Alhasil, bila kepentingan tersebut dipandang oleh Washington dalam keadaan bahaya atau terancam, maka opsi penggunaan sarana militer akan digunakan. Bukan saja dalam pengertian untuk bertahan, melainkan jadi pembenaran untuk menginvasi negara-negara yang dipandang membahayakan kepentingan korporasi-korporasi multinasional AS di pelbaga kawasan dunia.

Lantas, kawasan manakah yang dalam  visi geopolitik Donald Trump yang saat ini masih punya nilai strategis? Agaknya, kawasan Asia Timur an Asia Tengah yang dalam pandangan pakar geopolitik asal Inggris, Halford Mackinder, merupakan daerah jantung atau heartland, sampai sekarang masih merupakan ajang perebutan pengaruh bagi negara-negara consume minyak dan gas bumi seperti AS, Inggris, Rusia, Jerman, Italia, Prancis, Cina, dan Jepang.

Dengan kata lain, daerah jantung atau  heartland yang meliputi Asia Timur dan Asia Tengah tersebut, merupakan kawasan yang kaya  atas sumberdaya alam seperti  minyak mentah dan mineral (khususnya petrokimia dan logam).  Menurut catatan pakar geopolitik perminyakan Indonesia, Dirgo D. Purbo, salah satu sebab Amerika menjadi kekuatan utama dunia lantaran dimilikinya basis mineral dan kekuatan industri yang luar biasa besarnya dan tersebar di seluruh dunia. Selain itu mempunyai produksi industri sipil dan militer yang terintegrasi untuk mendukung perang modern. Sebab, senjata moder tak dapat diproduksi tanpa basis industri dan sumberdaya alam nasional.

Itulah sebabnya minyak menjadi sangat strategis bagi Inggris dan AS, terutama sejak tahun 1882, ketika Laksamana Lord Fischer dari Inggris mencanangkan agar mengubah sistem pembakaran mesin-mesin kapal perang yang semula menggunakan bahan bakar batu bara, kemudian diganti dengan menggunakan bahan bakar minyak.

Inilah yang oleh Dirgo dikatakan bahwa negara-negara industri maju seperti AS dan Eropa Barat begitu tinggi ketergantungan suplai minyaknya dari kawasan heartland atau daerah jantung, menurut istilah Mackinder. Memang kalau kita telaah, potensi kandungan minyak di kawasan Asia Tengah, misalnya, terutama di Laut Kaspia, merupakan magnet dari kebijakan geostrategi AS. Setidaknya ada dua potensi rute pipanisasi untuk menyalurkan minyak dari kawasan ini:

  1. Melalui Afghanistan dan Pakistan dan selanjutnya ditransfer ke Tanker
  2. Juga melalui Afghanistan, namun dipesan ke jaringan pipa di Irak

Maka tampak jelas sekarang mengapa AS semasa pemerintahan George W. Bush (2000-2010) menetapkan Afghanistan dan Irak jadi prioritas untuk diinvasi secara militer, meski dengan menggunakan dalih untuk menumpas sarang terorisme dan kepemilikan senjata biologis atau pemusnah massal. Padahal tujuan strategis sesungguhnya adalah penguasaan sumberdaya alam minyak dan mineral, seraya mengamankan jalur rute suplai minyak ke AS dan Eropa. Sebab sebagian besar kebutuhan minyak negara-negara net-importers didatangkan dari kawasan Heartland. Dengan itu, bagi AS menguasai minyak dibingkai oleh skema imperialisme ekonomi, politik dan  pertahanan-keamanan.

Ketika jaminan keamanan suplai minyak dari kawasan Heartland (yang punya cadangan minyak begitu besar seperti Teluk Persia dan Laut Kaspia),  menjadi satu hal yang krusial dalam kebijakan geostrategi AS, maka minyak erat kaitannya dengan imperialisme ekonomi. Dan memang itulah yang menjadi pondasi kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Dengan begitu sekarang terjelaskanlah sudah, mengapa Afghanistan (2001) dan Irak (2003)  menjadi sasaran utama invasi AS. Irak yang termasuk kawasan Heartland, memang punya nilai strategis dan ekonomi yang cukup tinggi. Di sini pula kepentingan-kepentingan bisnis minyak korporasi-korporasi multinasional di kawasan Heartland sangat tinggi sekaligus rentan.

Sepertinya, arah kebijakan luar negeri Trump (2024-2028) terhadap Timur Tengah dan Teluk Persia, akan tetap sama seperti era kepresidenan Joe Biden. pasokan minyak dari kawasan ini adalah 42% dari total konsumsi dalam negeri para negara Barat. Sebab pasokan minyak dari kawasan ini adalah 42% dari total konsumsi dalam negeri negara-negara Barat.

Lantas, apakah eskalasi konflik militer di Timur Tengah juga akan semakin menguat? Mungkin ada baiknya kilas balik sejenak menelisik Timur Tengah dekade 1970-an.  Salah satunya,  kebijakan Barat yang layak dicermati terkait minyak ialah “arm sales and security assistance” terhadap negara yang memiliki jaminan pembayaran seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Irak. Dan setidaknya pasca Oil Shock atau Bom Minyak tahun 1973 dan 1979, kompetisi pemasaran senjata dan peralatan perang canggih di antara negara-negara Barat itu sendiri malah bertambah meningkat.

Menggebunya penjualan alat dan persenjataan militer oleh Barat di Timur Tengah dan kawasan sekitar, motivasi utamanya selain sebagai pembayaran impor minyak (oil bills) juga untuk mendukung industri pertahanannya. Henry Kissinger mengistilahkan recycle petrodollar. Menjual senjata untuk membeli minyak, lalu minyak guna kesinambungan industri senjata.

Itulah kira-kira singkatnya. Dengan demikian, “cengkraman” kepada Timur Tengah oleh AS hingga kini, atau dominasi Uni Eropa (NATO) terhadap Afrika dan Timur Tengah, baik melalui recycle petrodollar ataupun arm sales and security assistance dengan berbagai cara dan bentuk kemasan, semata-mata karena panggilan kepentingan nasional (minyak) yang teramat vital bagi kelangsungan kehidupan di Barat.

Apalagi, kalau merujuk masa kepresidenan Trump pada periode 2016-2020, bisnis persenjataan memang dimanfaatkan betul untuk mengimbangi kerugian perdagangan AS dengan negara-negara berkembang termasuk ASEAN. Bahkan mengeluarkan Undang Undang (CATSA) untuk memberikan sanksi ekonomi dan embargo kepada negara-negara yang membeli peralatan militer strategis dari negara-negara yang dipandang sebagai musuh AS seperti Cina dan Rusia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com