Kedaulatan Rakyat: Di Antara Penegakkan Hukum, Korupsi, dan Politisasi

Bagikan artikel ini
Sebuah Kontemplasi Kecil
Penegakkan hukum (gakkum) yang dapat dibeli bermula dari kekuasaan yang bisa dibeli pula. Inilah prolog sekaligus asumsi tulisan ini. Mari kita audit. Uji nyali.
Dan keduanya, baik gakkum yang terbeli terutama kekuasaan yang dapat dibeli — bersumber dari Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 Produk Amandemen, dimana outcome pasal tersebut ialah: ‘politisasi di semua lini’. Politisasi KPK contohnya, atau politisasi Kementerian ATR/BPN, TNI-Polri, politisasi Kejaksaan dan/atau politisasi institusi lainnya. Itu tergantung objek (kepentingan) mana yang akan disasar. Pada kondisi inilah, teori tua Lord Acton masih relevan, “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely“.
Sedangkan arti politisasi menurut KBBI ialah: “Hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis”. Tafsir penulis, bahwa operasional politisasi, misalnya, suatu lembaga negara menjalankan kegiatan di luar tupoksi. Ya, meski melabrak UU, kendati tidak dalam koridor diskresi, ataupun bukan untuk substitusi (tugas penggantian), tetapi “direstui” pimpinan/lembaga karena dan atas nama kepentingan politik praktis. Demikian narasi singkat soal politisasi. Barangkali ada keterangan lain. Silakan.
Kenapa begitu?
Karena, pasca-UUD 1945 diamandemen (1999-2002), hanya partai politik (Parpol)-lah satu-satunya entitas pemegang saham kekuasaan di republik ini. “Inilah hulu permasalahan bangsa”. Kedaulatan Rakyat telah dirampas oleh Parpol. Lalu, kekuasaan mengalir dari entitas politik, bukan berasal dari rakyat pemilik kedaulatan (cq MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara). Tentunya, selain sarat penyimpangan kekuasaan (abuse of power) pada infra-struktur dan supra-struktur politik, kuatnya ego sektoral, juga terjadi pembiaran demi kepentingan politik praktis. Dalam praktik, institusi tertentu —korban politisasi— menjadi alat bagi kelompok politik tertentu pula. Nah, dari dinamika inilah berkembang anekdot soal “Partai Berwarna”. Namanya disesuaikan dengan warna baju masing-masing institusi yang terpolitisasi. Entah Partai Hijau, misalnya, atau Partai Biru, Coklat, Abu-Abu dan lainnya.
Menurut Ichsanuddin Noorsy (2024), jika politisasi diletak pada puncak segitiga sama kaki, maka kaki kanannya ialah komersialisasi, dan kaki kirinya kriminalisasi. Contoh komersialisasi, misalnya, pemberian jabatan dan/atau privilege untuk kelompok koalisi bahkan sampai di level buzzers sekalipun. Sebaliknya, ada kriminalisasi alias persekusi bagi pihak oposisi di sisi lain. Dampaknya sungguh di luar akal sehat. Kasus remah-remah dihebohkan. Dikriminalisasi. Tetapi, kasus besar yang merugikan keuangan negara ratusan triliun rupiah justru “didiamkan”. Dikomersialisasi.
Itulah bahaya yang ditimbulkan akibat Pasal 6A Ayat (2) UUD Produk Amandemen yang berbunyi:
“Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu … “
Dapat dibayangkan, kekuasaan negara ini hanya dalam genggam 8 (delapan) orang Ketua Parpol yang partainya eksis di Senayan. Apa yang terjadi bila para Ketua Parpol di atas berkolaborasi serta bersandar kepada korporasi alias oligarki? Inilah State-Corporate Crime, kata Soeripto, senior intelijen Indonesia.
Tak boleh dipungkiri, sesungguhnya bangsa ini telah tertipu puluhan tahun, khususnya ketika UUD 1945 diganti (1999 – 2002), bagaimana ujudnya? Ya. Bahwa seolah-olah Kedaulatan Rakyat masih di tangan rakyat (MPR), padahal kedaulatan telah dirampas oleh Parpol melalui Pasal 6A Ayat (2) di atas plus diturunkannya status MPR menjadi Lembaga Tinggi sekelas BPK, MK, DPR, MA dan lainnya.
Lantas, apa bukti penipuan tersebut?
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 Produk Amandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Lho?
Kedaulatan Rakyat itu dilaksanakan oleh lembaga, bukan (dilaksanakan) oleh UUD. “Ngawur.” Sebelum UUD diamandemen, ia —Kedaulatan Rakyat— dilaksanakan oleh MPR selaku penjelmaan rakyat, sebagai Lembaga Tertinggi Negara (meta-struktur). Usai amandemen UUD, entah lembaga mana pelaksana Kedaulatan Rakyat. Tak jelas. UUD NRI 1945 Pasal 1 Ayat (2) hanya mengatakan Kedaulatan Rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sekali lagi, entah lembaga mana kini yang melaksanakan Kedaulatan Rakyat?
Ketika negeri sebesar ini tidak lagi memiliki Kedaulatan Rakyat, jangankan mempertahankan diri dari “serangan” dari luar, sedangkan kasus Pagar Laut dan isu reklamasi yang menggerus kedaulatan negara saja, langkah dan cara antisipasi rezim (sistem dan aturan) seperti tarian poco-poco. “Maju selangkah, mundur selangkah”. Lambat dan terkesan jalan di tempat.
Memang. Semenjak Indonesia menganut UUD Produk Amandemen, pemerintahan sebenarnya telah membuka pintu bagi korporasi untuk mengkudeta Kedaulatan Rakyat.
Itulah makna pernyataan Ahok yang bertalian dengan ungkapan Aguan dalam frasa ‘menyelamatkan wajah Presiden’. Dalam praktik perebutan kekuasaan, aliansi kekuatan politik dan oligarki bisnis bisa menjadi ancaman kudeta bagi rezim yang sedang berkuasa. Dalam hal ini, ancaman kudeta terhadap Presiden Prabowo Subianto.
Bagaimana mengantisipasinya?
Pokok-pokok antisipasi ialah kaji ulang UUD (Produk Amandemen) yang kini beroperasional melalui mekanisme:
1. Kembali dulu ke UUD Naskah Asli rumusan pendiri bangsa yang lahir pada 18 Agustus 1945 dengan teknik adendum. Ibarat orang tersesat, janganlah terus berjalan dengan cara menduga-duga. Justru kian jauh tersesat. Seyogianya, balik dulu ke titik nol kilometer. Itu langkah bijak;
2. Dalam kaji ulang, hal-hal yang baik dalam UUD Produk Amandemen tetap dipertahankan bahkan disempurnakan dan dikuatkan, sedang hal-hal buruk dihapus, termasuk UU serta aturan turunannya;
3. Dan semua penyempurnaan dan penguatan UUD tersebut diletak pada adendum (lampiran/tambahan), sehingga Naskah Asli the Founding Fathers tetap orisinal. Utuh;
4. Perubahan adalah keniscayaan. Karya manusia tidak ada yang sempurna. Sebagai bahan perbandingan, Amerika Serikat misalnya, ia telah mengubah konstitusinya sebanyak 27 kali, namun Declaration of Independens tetap utuh. Perubahan konstitusi diletak pada adendum. India apalagi, ia sudah 104 kali mengubah konstitusi. Tapi, Naskah Asli para pendiri bangsa India tetap utuh. Tak diotak-atik. Semua perubahan dan penyempunaan ditaruh di adendum;
5. Dan lain-lain.
Akhir kata. Kontemplasi kecil ini dibuat untuk kita semua yang terpanggil menyelamatkan bangsa yang sudah tersesat dan terbelah selama satu generasi. Karenanya, mengajak anak-anak bangsa untuk sesegera mungkin memperbaikinya. Sebagai ajakan, kontemplasi tidak berniat menggurui namun mengajak diskusi dan sharing pemikiran.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com