Setiba di Jakarta, Sabtu, seminggu lalu, langsung ke acara bedah buku di Bona Indah Plaza, atas ajakan Wulansary Mumun. Di sana ketemu banyak kawula muda, usia millenial, dari lapisan terbaru disebut Gen-Z. Saya manula satu-satunya yang menyelinap.
Karena lapar, belum sarapan, sebelum ke acara kami mampir lebih dulu ke Rawon Nguling. Pepakannya (kelengkapannya) oke. Ada kecambah pendek, sambal terasi, krupuk udang dan telor asin. Sayangnya, dari sisi rasa masih kurang pas. Tak apa. Setidaknya bisa mengobati kangen kampung halaman: ‘Rawon Agamaku’, seloroh kami, masyarakat Kediri – Malangan.
Alhasil kami datang agak terlambat. Ruang pertemuan di Kafe Literasi (lupa namanya) sesak oleh remaja segaya – sepenampilan, berasal dari kampus-kampus berbeda. Ada yang dari UI, UIN, UNJ dan Paramadina. Tak terkecuali, semua khusuk menyimak percakapan berdua, antara narasumber dan moderator. Topik bahasan, sesuai muatan buku yang di-launching: perubahan iklim.
Diam-diam saya membatin, “Aiiih, hebat nian teman-teman muda ini”. Dan hapuslah seketika bayangan-bayangan tentang cap ‘strawberry generation‘ yang kerap dilekatkan di jidat serta bahu-bahu mereka. Setidaknya, di ruang itu, saya tidak mandapati gambaran tentang anak muda yang lembek, kurang kemauan dan tanpa harapan. Justru sebaliknya, mereka cukup cerdas, tangkas dan bersemangat.
Lalu dari mana muasal stigma-stigma seperti itu? Sebelum ketemu jawabnya, saya jadi ingat pada masa lalu, ketika Pemerintah Orde Baru, 1972 / 1973-an, menyebut kami-kami (sekarang usia 60 – 80), sebagai generasi MADESU: Masa Depan Suram. Jinguk, mudah sekali mereka, para orang tua, itu membuat sebutan-sebutan tidak senonoh begitu? Bukankah ini kepicikan sekaligus kepongahan mereka dalam menyikapi fenomena perkembangan zaman, atau malah semacam cara melempar tanggungjawab atas kegagalan mengasuh anak-anak?
Sepanjang waktu diskusi sampai selesai acara, justru kecamuk itu yang menguasai pikiran. Republik ini nyata-nyata gagal dalam melakukan pengasuhan-pengasuhan bangsanya. Sejak 1967, berlanjut ke 1978, berlanjut sampai kini, banyak hal ingin diubah melalui penjungkurbalikan paradigma. Kita mengalami gagal paham dalam berbagai paradigma. Mudah melempar tanggungjawab kepada pihak lain. Ini masalah besarnya.
“Kita duduk bersama, sejajar, sederajat, senasib-sepenangungan, disni Dik”, ujar saya membuka percakapan di luar ruang diskusi. Di atara rintik hujan yang tidak seberapa, obrolan saya lanjutkan: “Kita disatukan oleh stigma-stigma. Hanya beda kemasan bahasa. Dulu Madesu, kini Generasi Strawberry”. Untuk memulai ulang, bagaimana menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru tentang hal-hal yang ideal, rasanya semakin jauh panggang dari api.
“Kecuali kita mulai dari cara-cara sederhana yang kita bisa”, simpul saya ke arah Wulansari. “Melalui cara pengepungan ide-ide, inspirasi yang disediakan di ruang-ruang dan segala tempat”, tambah saya lagi. Entah bentuknya apa, realisasinya bagaimana, tidak tahu. 7 sampai 8 teman yang nimbrung semeja tampak manggut-manggut. Semoga menjadi PR yang perlu diselesaikan bersama, kapan-kapan.
Mengaku salah dan keberanian untuk mengambil tanggungjawab terhadap kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan, ini kelemahan kolektif sebagai Bangsa (Indonesia). Alih-alih ingin mengkompensasi pendidikan melalui jalur persekolahan – termasuk pesantren – secara penuh, itu pun tidak baik. Hasilnya seperti saat ini. Stigma-stigma buruk yang diproduksi sejak jaman Orba sampai Millenium, ini saya sebut sebagai kejahatan yang tidak mudah direhabilitasi dalam waktu pendek.
Joko Koentono, budayawan asal Kediri. Tinggal di Yogyakarta