“HAMPIR setiap kekejaman sejarah,” demikian tulis jurnalis Alexandra Fuller, “memuat simbolisme geografis”.
“Tempat yang namanya mengingatkan kita pada trauma suatu kaum,” tambah Fuller.
Dia lalu menyebut beberapa tempat di dunia yang disebutnya sebagai simbol kekejaman sejarah.
Ini diungkap kembali oleh Alexandra Fuller ketika melakukan liputan jurnalistik tentang tragedi kekerasan yang menimpa suku Lakota Oglala di Amerika Serikat (AS) pada 15 Desember 1890.
Setidaknya 145 orang Oglala terbunuh ditembak tentara AS — termasuk 18 anak-anak.
Dia kemudian mendatangi situs kekerasan itu dan memotret bagaimana generasi sekarang suku tersebut berjuang hidup dalam bingkai kekerasan di masa lalu itu.
Laporan jurnalistik Fuller ini membayangiku dalam meliput tragedi kekerasan 1965 di Bali, pekan pertama September 2024 lalu.
Salah-satu simbol geografi kekejaman sejarah — jika Anda setuju dengan istilah ini — yang kudatangi adalah ‘Taman 65’ . Letaknya di sudut Kota Denpasar, Bali.
Agung Alit dan kakaknya Mayun (“panggil saya Ibu Mayun saja, itu sudah lengkap,” ujarnya, tegas) membangun taman itu, antara lain, agar masyarakat (dan negara) tidak melupakan tragedi pembunuhan massal pasca 1 Oktober 1965.
Sebagian sejarawan memperkirakan 80.000 orang yang dianggap anggota atau simpatisan PKI dibunuh di Bali. Di Indonesia diperkirakan antara 500.000 hingga satu juta orang dibantai antara 1965 dan 1966.
Taman 65 didirikan Agung Alit di bekas kamar ayahnya. Sang bapak hilang dan kemungkinan besar dibunuh pada tahun-tahun itu.
Kami juga mendatangi kuburan massal di sudut Denpasar. Agung Alit mengantar kami ke sana. Diduga ayahnya dikubur di tempat yang kini di atasnya dibangun kantor pemerintah dan pasar.
Selama sepekan, kami juga mendatangi situs-situs lokasi kuburan massal tragedi 1965 di sejumlah tempat di Bali. Kami menemui saksi mata, keluarga korban dan orang-orang yang dipersepsikan sebagai pelaku.
Laporan lengkapnya akan dimuat di BBC Indonesia menjelang akhir September nanti.*
(Foto: Taman 65, Denpasar, Bali, 3 September 2024, bersama Ibu Mayun, Gung Alit dan videografer Oki Budhi).
Heyder Affan, Wartawan Senior