Tinjauan Pola ITS (Isu – Tema/Agenda – Skema)
Ini catatan kecil tentang bagaimana membaca isu dalam dinamika (geo) politik global. Kenapa demikian? Sebab, terdapat pola ajeg dalam konflik apapun yang nyaris lestari, yakni Isu – Tema/Agenda – Skema (disingkat: ITS).
Misalnya, isu ditebar untuk membentuk opini. Dan isu tersebut bisa riil ada, bisa juga sebuah propaganda alias memanipulasi persepsi publik; kemudian tema alias agenda diluncurkan ke publik, selain untuk mempertebal dan pembenaran isu, juga meyakinkan khalayak tentang keberadaan isu dimaksud; dan terakhir, ditancapkanlah skema. Dalam perspektif geopolitik, lazimnya skema (kolonial) minimal penggulingan rezim atau ganti sistem; maksimalnya berupa pencaplokan geoekonomi di negara target.
Contoh kasus di level global, misalnya, penggebyaran isu al Qaeda lewat peristiwa WTC/9-11 pada 2001 silam; bahwa agendanya ialah penyerbuan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Afghanistan guna memberantas teroris al Qaeda pimpinan Osama; sedang skema kolonialis yang ingin diraih ternyata penguasaan minyak, gas dan beberapa sumber daya alam lain di Afghanistan. Contoh lain lagi misalnya, isunya Saddam Husein menyimpan senjata pemusnah massal (hoax); agendanya ternyata sama dengan tema di Afghanistan yakni penyerbuan militer koalisi pimpinan AS ke Irak; sedang skema kolonialis ialah kavling-kavling sumur minyak di Negeri 1001 Malam. Sekali lagi, Isu – Tema/Agenda – Skema alias ITS.
Itulah keterangan sepintas bekerjanya pola ITS secara militer di Afghanistan (2001) dan di Irak (2003). Masih banyak contoh atas praktik ITS di wilayah lainnya.
Kini membahas operasional ITS secara nirmiliter (asymmetrical war). Perang tanpa asap mesiu. Bahwa Kebangkitan Dunia Arab alias Arab Spring yang pernah melanda Jalur Sutra (2011-2012) tempo lalu, khususnya yang menerjang Afrika Utara dan Timur Tengah. Tak pelak, operator Arab Spring adalah National Endowment for Democracy (NED) melalui “kaki”-nya yaitu Center for Applied Non-Violent Action and Strategies (CANVAS). Dan tak dapat dipungkiri, NED merupakan Non-Govermental Organization (NGO) binaan Washington yang dibiayai Kongres AS. NED menerima alokasi sebesar US$ 315 juta di 2023 sebagaimana diungkap dalam laporan Carnegie Endowment for International Peace, “Hampir semua dana NED berasal dari Kongres AS.” Dan di dunia geopolitik, ia dikenal sebagai NGO spesial ganti rezim.
Singkat cerita, praktik (pola) ITS oleh NED dan “anak”-nya CANVAS di Jalur Sutra pada Arab Spring dapat dicatat sebagai berikut:
1. ISU: Pemimpin tirani, korupsi, demokratisasi, kemiskinan dan lain-lain;
2. TEMA/AGENDA: Melalui Gerakan Massa. Entah unjuk rasa, demonstrasi, dan lainnya yang sifatnya nonkekerasan. Namun, ketika tiba di Libya dan Syria, gerakan massa NED dinilai gagal. Tidak berhasil menjatuhkan rezim. Lantas, eskalasi pun ditingkatkan menjadi gerakan bersenjata (pemberontakan sipil);
3. SKEMA: Ganti Rezim. Lewat gerakan massa (nirmiliter) sukses melengserkan rezim di Tunisia, Mesir, dan Yaman. Sedang ganti rezim di Libya via serbuan NATO berbekal Resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone dan di Syria melalui pemberotakan sipil, mengapa? Sebab, modus nirmiliter dinilai gagal di kedua negara tersebut.
Dari pagelaran Arab Spring di Jalur Sutra, terdapat titik kritis yang mutlak harus diwaspadai bersama, yaitu:
* Inskonstitusional. Selalu terjadi pergantian rezim tanpa melalui mekanisme konstitusi;
* Ada praktik devide et impera sesama warga atas nama milisi, kelompok, golongan dan seterusnya baik secara horizontal maupun konflik vertikal.
Yang menjadi catatan pada kedua titik kritis di atas, bahwa kerap kali tak ada proses hukum bagi para pihak yang dianggap bersalah/tersalah.
Sesuai judul tulisan ini, saya coba mengulik trending topic tentang laporan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) perihal enam tokoh terkorup di dunia. Pertanyaan selidiknya, “Kemana isu OCCRP tentang enam tokoh tersebut berproses (tema/agenda) dan dimana akan berlabuh (skema)?”.
Sebagai organisasi jurnalis investigasi global, kenetralan OCCRP agak diragukan mengingat dukungan dana datang dari berbagai donatur baik organisasi, pemerintah maupun yayasan dan lembaga, misalnya:
1. Organisasi terdiri dari: Open Society Foundations (OSF) – George Soros; Ford Foundation; MacArthur Foundation; National Endowment for Democracy (NED); United States Agency for International Development (USAID); Google News Initiative; Facebook Journalism Project; Oak Foundation; Sigrid Rausing Trust; dan Jedel Foundation
2. Pemerintahan meliputi antara lain: Pemerintah AS; Kanada; Britania Raya; Swedia, Prancis; Jerman; Norwegia; dan Kementerian Luar Negeri Denmark, dan
3. Yayasan serta Lembaga terdiri atas: Pew Charitable Trusts; Rockefeller Brothers Fund; Foundation to Promote Open Society; International Center for Journalists (ICFJ); World Press Freedom Committee
4. Dan lain-lain.
Ada dua catatan penting dalam mapping kelompok pendana OCCRP, yakni: 1) pemerintah penyumbang semua adalah anggota NATO; 2) lembaga, yayasan dan organisasi kontributor terkait jaringan Barat, lebih khusus NED yang dijuluki NGO spesial ganti rezim.
Dan setidaknya, isu OCCRP di India telah menuai hasil, misalnya, dari perspektif ITS, konflik timbul sebagai tema/agenda antara Presiden India Narendra Modi melawan partai oposisi —Partai Kongres— gegara laporan OCCRP yang mencantunkan Adani, pemilik Adani Group, terkait investasi. Isu Adani sebagai finalis enam tokoh terkorup versi OCCRP mengakibatkan penurunan saham Adani Group dan ini memicu reaksi pemerintah India.
Partai Kongres menuntut penyelidikan atas tuduhan tersebut dan melancarkan protes. Mereka menduga terjadi kolusi antara pemerintah Modi dan Adani. Konflik ini menyebabkan penundaan sidang parlemen India untuk kedua kalinya.
Nah, dalam bahasa ITS, agenda sudah tiba di India. “Timbul konflik internal.” Lantas, apa skema kolonial yang ingin diraih di India? Wait and see. Agenda (konflik) tersebut masih berproses. Apakah agenda akan berjalan mulus hingga ke skema, atau kelak dapat terkontra oleh otoritas India.
Tatkala agenda konflik telah tiba di India ditandai dengan perseteruan antara Presiden Nodi versus Partai Kongres, bagaimana dengan lndonesia yang Presiden ke 7-nya masuk finalis enam tokoh yang dirilis oleh OCCRP?
Apabila kegaduhan di India akibat isu OCCRP bersifat elitis, hanya antarelit di level atas. Konflik masih sebatas perang narasi antara pemerintah (Partai BJP) melawan oposisi (Partai Kongres/Gandhi). Belum merambat di level menengah dan tataran bawah. Sedang di Indonesia, aroma kegaduhan lebih daripada sekadar perang narasi. Namun, sudah muncul upaya saling melaporkan antarpara pihak yang berkonflik, misalnya, atau demonstrasi di jalanan, mural serta tulisan di dinding meminta agar Presiden ke-7 diadili dan ditangkap.
Secara ITS, tema atau agenda konflik sebenarnya sudah tiba dan berproses masif di (Indonesia) publik. Sama seperti di India, “Timbul konflik di internal”.
Retorika menggelitik muncul, apakah kelak, konflik ini bakal mereda dengan sendirinya atau justru semakin meluas, maka tergantung bagaimana pemerintahan baru menyikapi.
Konon, era 2024 – 2029 ini disebut dengan istilah Babat Alas. Entah siapa membabat mana, apa dibabat siapa. Wallahualam bissawab.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments