Dalam politik luarnegeri Indonesia yang Bebas-Aktif yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak 1948, mengandung pengertian Pro Aktif sebagai gerakan diplomasi, dan konstruktif sebagai suatu kebijakan. Maka itu, politik luar negeri Republik Indonesia yang sejatinya berhaluan Nonblok, bukan berarti bersifat pasif apalagi oportunistik. Politik Luar negeri Bebas Aktif berarti pro aktif dan konstruktif dalam menjabarkan kepentingan nasional Indonesia dalam menjalin hubungan dengan negara lain.
Maka itu menarik menelaah secara strategis dan mendalam isi Perjanjian Kemitraan Strategis baru antara Indonesia dan Inggris yang diharapkan selesai pada September 2025 mendatang. Dalam keterangannya kepada pers, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Dominic Jermey. Jika kita cermati, ada empat bidang yang jadi lingkup kemitraan strategis kedua negara. Pertama, Pengembangan Sumberdaya Manusia, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi, pembangunan berkelanjutan yang mencakup aspek energi ramah lingkungan dan konservasi hutan, serta pertahanan dan keamanan.
Baca:
New Indonesia-UK strategic partnership agreement coming September 2025
Sampai pada tahap ini, kolaborasi Indonesia-Inggris sepertinya cukup menjanjikan, dan bahkan sesuai dengan skema nasional Presiden Prabowo Subianto terkait dua prioritas nasional pemerintahannya, yaitu Meningkatkan Swadaya Produksi Pangan dan Swadaya Energi. Fokus utama yang ditekankan dalam bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi, jika diterapkan atas dasar Kesetaraan, Terbuka dan Adil, Inggris bisa membantu Indonesia mempercepat terwujudnya Prioritas Nasional pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Namun ada satu soal krusial yang disampaikan Duta Besar Dominic Jermey, yang kiranya perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadanan. Dalam bagian lain pernyataannya Duta Besar Jermey mengatakan: “Kami juga akan bekerjasama mewujudkan perdamaian melalui kolaborasi di bidang pertahanan dan keamanan untuk mempertahankan nilai-nilai dasar yang terus dipegang teguh kedua negara.”
Meski Duta Besar Jermey menggarisbawahi kesamaan pandangan Inggris dan Indonesia dalam penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, namun ada frase kalimat yang perlu dicermati secara hati-hati. Seperti ketika Duta Besar Jermey menekankan bahwa kolaborasi antara Indonesia dan Inggris semakin penting, mengingat lanskap geopolitik yang terus berkembang.
Frase kalimat “mengingat lanskap geopolitik yang terus berkembang” yang mana Indonesia terkait di dalamnya, berarti yang berada dalam benak Inggris adalah The US Indo-Pacific Strategy atau Strategis Indo-Pasifik Amerika Serikat yang dirilis Presiden pada masa kepresidenannya yang pertama pada 2017. Dalam mana Inggris bersama AS ikutserta secara konseptual merancang kerja sama AS, Inggris dan Australian yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan negara-negara di Asia Pasifik dalam bingkai Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat.
Seperti kita ketahui, AS melalui bingkai Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat, selain membentuk blok kerja sama antar negara-negara di Asia Pasifik di bidang ekonomi dan perdagangan seperti Trans-Pacific Partnerhship (TPP) di era Presiden Obama, dalam Strategi Indo-Pasifik AS, bahkan memperluas lingkup kemitraannya dengan membentuk Pakta Pertahanan Empat Negara (AS, Australia, Jepang dan India).
Dalam Skema ini, Australia dan India, hingga kini masih berada dalam orbit pengaruh The British Geopolitics mengingat fakta bahwa India dan Australia merupakan negara-negara eks jajahan Inggiris yang saat ini tergabung dalam The Common Wealth atau Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran.
Dengan itu, Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia-Inggris patut dicermati dengah penuh kehati-hatian dan kewaspadaan, mengingat fakta bahwa AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO, berupaya memperluas wilayah pengaruhnya di Asia Pasifik, untuk menggalang persekutuan negara-negara di Asia Pasifik, tentunya termasuk Indonesia, untuk menghadapi dan membendung pengaruh Cina. Jika demikian, maka politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang berhaluan Nonblok, akan berada di persimpangan jalan.
Segi lain yang cukup penting jadi perhatian adalah bagaimana strategi kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif itu, harus ditujukan untuk mencegah upaya Inggris yang tentunya sejalan dengan AS sebagai sekutu tradisionalnya, untuk menggiring Indonesia mendukung kebijakan luar negeri Inggris dan AS dalam lingkup non-regional seperti konflik Israel-Palestina atau Israel-Iran di kawasan Timur-Tengah dan Teluk Persia, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC), dan konflik Rusia-Ukraina.
Terhadap ketiga isu non-regional tersebut, pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga kini, tetap memandang Israel sebagai bagian intergral dari melestarikan skema kolonialisme dan imperialisme Inggris-AS di Timur-Tengah dengan berkedok Pembagian Wilayah Palestina yang tidak adil antara Yahudi dan Arab Palestina. Sehingga sikap Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia membela perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina tetap tidak berubah sampai sekarang. Dengan itu, sudah seharusnya Inggris tidak berusaha menggiring Indonesia mendukung atau memaklumi aksi sepihak Israel menyerang Iran baru-baru ini.
Terkait ICC, hingga kini Indonesia belum bersedia bergabung sebagai anggota ICC maupun ikut dalam menandatangani Statuta Roma, karena masih berbeda persepsi dalam mengartikan Pelanggaran Berat Hak-Hak Asasi Manusia dan Kejahatan Perang. Selain itu, meskipun AS pun belum menandatangani Statuta Roma, namun dalam prakteknya di dalam tubuh ICC ada mekanisme yang memungkinkan AS maupun negara-negara sekutunya dari Barat, untuk memainkan pengaruh dari belakang layar dalam memberi arah kebijakan yang harus ditempuh oleh ICC.
Dengan kata lain, ICC sendiri saat ini diragukan netralitas politiknya, lantaran cenderung pro AS dan negara-negara blok Barat. Saat ini berkembang sinyalemen adanya hubungan yang kolutif dan koruptif antara Karim Khan dengan badan intelijen AS dan Inggris. Sehingga hal itu juga mengundang satu pertanyaan lain yang tak kalah krusial, siapa negara-negara pemberi dana bantuan kepada ICC?
Baca kembali artikel saya:
Skandal Karim Khan, Merusak Kredibilitas dan Legitimasi ICC Sebagai Mahkamah Pidana Internasional
Jepang dan Korea Selatan, ditengarai merupakan dua negara Asia Timur yang dalam kebijakan luar negerinya sangat pro AS dan Barat, yang telah memberi bantuan dana kepada ICC. Hal itu perlu diinvestigasi secara mendalam, sebab sumber pendanaan yang berasal dari negara-negara yang terlibat dalam konflik dengan negara-negara dari blok yang berlawanan, bisa dipastikan tidak akan bersikap netral dan obyektif sebagai para penegak hukum ICC.
Isu non-regional lainnya yang mana pemerintah Indonesia tidak boleh tergiring masuk dalam orbit pengaruh Inggris dan blok Barat dalam Skema Kemitraan Strategis RI-Inggris adalah konflik Rusia-Ukraina yang hingga kini masih berlangsung meskipun kadang pasang naik kadang pasang surut. Mengingat ada hal sensitif yang memicu aksi militer terbatas Rusia ke Ukraina yang diprovokasi oleh negara-negara Barat yang tergabung dalam NATO untuk membujuk Ukraina bergabung sebagai anggota NATO, Pemerintah Rusia memandang provokasi Barat tersebut bermaksud untuk mengganggu wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan Rusia. Sehingga upaya AS dan negara-negara Uni Eropa untuk mengajak Ukraina bergabung ke dalam NATO, dipandang Rusia sebagai upaya merongrong dan melumpuhkan wilayah kedaulatan Rusia.
Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina ini lah, pemerintah Indonesia harus memandang konflik tersebut sebagai urusan dalam negeri Rusia. Dan cara Rusia menjabarkan Strategi Pertahanan Nasionalnya menghadapi negara-negara lain. Dengan itu, sangat tepat bagi Indonesia untuk menolak ajakan Inggris agar Indonesia masuk dalam pusaran konflik dua negara yang sama-sama bersahabat baik dengan Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga kini.
Ini menurut saya sangat penting untuk jadi fokus perhatian, karena sesuai dengan rencana, Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia-Inggris tersebut akan diluncurkan dalam pertemuan September 2025 mendatang antara Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer.
Namun demikian, asalkan Kemitraan Strategis Indonesia-Inggris sebatas sebagai Kerangka Kerja Sama antar sesame pelaku bisnis, lembaga akademik dan penelitian, organisasi budaya, dan berbagai elemen masyarakat pada umumnya, saya kira merupakan hal yang positif dan patut diapresiasi dalam membangun kolaborasi yang saling menguntungkan antara Indonesia-Inggris.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)