Kepanikan Singapura atas Geopolitical Leverage Aceh dan Thai (6)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Ide Gila Terusan Kra

Agaknya ide (gila) geopolitik Raja Thai Narai (1677) tempo doeloe benar-benar visioner lagi spektakuler. Betapa rencana menyatukan dua jalur internasional antara Laut Cina Selatan dan Lautan Hindia melalui sebuah kanal (terusan) yang membelah daratan, mampu menembus ruang dan waktu. Artinya ide berabad lampau, kini menjadi “emas” dan hendak dikerjakan oleh anak cucu, walaupun prakteknya timbul tenggelam di Thailand.

Apakah gagasan Raja Thai itu terinspirasi oleh Terusan Suez di Mesir? Tentu tidak, karena Terusan Suez sendiri baru dibuka 1870-an atas prakarsa insinyur Perancis bernama Ferdinand Vicomte. Sebaliknya, apakah gagasan pembangunan kanal di Mesir oleh Ferdinand menjiplak ide gila Raja Nara, juga tak dijumpai literatur secara pasti.

Meskipun pada 1897 pemerintah Negeri Gajah Putih dan Britania Raya sepakat untuk tidak membangun terusan dimaksud guna melindungi dominasi pelabuhan Singapura, tetapi di penghujung abad ke 20, bangsa Thai ingin mewujudkan mimpi Raja Nara untuk membangun Terusan Thai, atau Terusan Kra, atau istilah lain Kra Thailand, dll dimana memotong daratan tersempit Semenanjung Malaka, di Thailand Selatan.

Jika merujuk laporan (2005) Sekretaris Pertahanan AS Donald Rumsfeld yang bocor ke Washington Times, bahwa Cina telah menyiapkan sebesar USD 20 Miliar untuk membiayai terusan melalui Tanah Genting Kra lengkap dengan fasilitas pelabuhan. Kenapa hal ini dilangkahkan oleh Cina, karena urgensi kanal tersebut terkait dengan atau bagian dari implementasi “String of Pearl”, strategi handal negeri Tirai Bambu di perairan dalam rangka mengamankan energy security-nya.

Berbasis hitungan fisik, terusan ini bakal memangkas 612 mil antara Laut Cina Selatan – Lautan Hindia daripada jalur sebelumnya via Selat Malaka. Silahkan diprediksi, bagaimana nasib ekonomi Singapura apabila kanal tersebut beroperasi? Ketika jantung Paman Lee ada di Selat Malaka, maka (nafas) hidupnya pasti tersengal-sengal. Kemungkinan dinamika ekonomi Negeri Singa menurun drastis bahkan cenderung bangkrut, sebab 50% pelayaran internasional sedikit demi sedikit cenderung beralih ke Terusan Kra daripada melalui Selat Malaka, karena alasan singkatnya jalur pelayaran.

Secara moral, political will atau bahkan political action Thailand membangun kanal pasti didukung penuh oleh Jepang, Brasil, India, dll selain Cina yang sudah siap. Oleh karena keberadaan kanal tersebut, jelas menguntungkan mereka dalam segala hal terutama waktu dan jarak tempuh. Tak boleh dielak, beberapa negara tadi memang pengguna (pelanggan) setia jalur Selat Malaka untuk berbagai kepentingan, terutama rute suplai minyaknya.

Itulah geopolitical leverage Kra Thailand. Tak bisa tidak. Sebuah implementasi atas geostrategi negara bangsa dalam rangka pemanfaatan dan pemberdayaan ekonomi berbasis keunggulan-keunggulan geografi. Ia merupakan daya lenting, selain untuk kepentingan pertahanan (militer) juga utamanya mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sektor-sektor lainnya.

Geopolitical Leverage Sabang!

Aceh pun sejatinya demikian. Masih ingat Peraturan Presiden (perpres) No 22/1964 serta Undang-Undang (UU) No 10/1965 yang menetapkan Sabang sebagai free port(pelabuhan bebas) untuk kurun waktu 30 tahun berikut? Inilah “mimpi buruk” Paman Lee di zaman BK dahulu, selain visinya terhadap neokolonialisme.

Berdirinya free port lain (Sabang misalnya) di sekitar Selat Malaka, minimal akan mengurangi singgahan kapal-kapal ke pelabuhan Singapura. Sekali lagi, inilah mimpi buruk Negeri Singa. Seandainya sejak dulu para elit politik di negeri ini secara konsisten menjalankan amanat perpres dimaksud, kemungkinan mimpi tadi akan menjadi momok sepanjang Lee tidur. Tetapi apa nyatanya.

Tatkala meletus Gerakan Aceh Merdeka (GAM), rezim Orde Baru membekukan status tersebut. Apa boleh buat. Selama kepemimpinan Pak Harto tensi Aceh terus membara. Proyek Sabang pun dilupakan. Zaman Gus Dur memang diterbitkan UU No 37/2000 guna memberlakukan lagi Sabang menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, tetapi prakteknya kembang-kempis. Selain akibat konflik Aceh tak kunjung usai, tampaknya para elit gaduh sendiri dengan “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM, lingkungan) asyik berhura-hura (politik), mereka lupa atau gagal mengingat atas proyek strategis bangsa di Aceh. Padahal perpresnya sudah jelas, UU pun nyata. Bahkan hingga era kini, proyek pelabuhan bebas Sabang pun nyaris tak terdengar.

Jika Kra Thailand dan free port Sabang beroperasi kelak, maka dinamika Selat Malaka serta pelabuhan-pelabuhan Singapura cenderung menurun bahkan sepi, terutama lalu-lalang pelayaran antara Laut Cina – Lautan Hindia, dan sebaliknya. Cina misalnya, rute suplai minyak dari Timur Tengah, Afrika, dll tidak lagi melintasi Selat Malaka. Ia bisa langsung memotong melalui Terusan Kra. Demikian juga India, Jepang, Timur Tengah, dan lainnya (lihat gambar).

Kemungkinan besar sebutan chokepoints of shipping in the world akan beralih ke Terusan Kra di Thailand Selatan, bukan julukan bagi Selat Malaka lagi. Itulah yang bakal terjadi nanti. Apakah kamu kira Paman Lee akan diam berpangku tangan?

Bersambung ke (7)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com