Kerja Sama ASEAN-SCO Bernilai Strategis Dalam Perspektif Geopolitik

Bagikan artikel ini

Ada dua frase kata yang cukup menarik, diutarakan oleh Sekretaris Jenderal Shanghai Cooperation Organization (SCO), Zhang Ming, pada 8 Agustus 2024 lalu, bertepatan dengan hari jadi ASEAN yang ke-57. Zhang Ming menegaskan siap membuka peluang baru untuk menjalin kemitraan di beberapa bidang yang menjadi kepentingan bersama antara SCO dengan negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Kedua, ASEAN-SCO dapat berkontribusi untuk memperkuat perdamaian dunia.

Baca: SCO siap buka peluang baru untuk kemitraan dengan ASEAN

Kalau kita menelisik kembali awal mula terjalinnya kerja sama ASEAN-SCO, sebenarnya sudah dimulai ketika   Nota Kesepahaman antara SCO dan Sekretariat ASEAN ditandatangani pada tahun 2005. Empat tahun setelah SCO itu sendiri dibentuka atas prakarsa Cina, Rusia dan negara-negara di kawasan Tengah.

SCO yang pada 2001 lalu hanya sebatas kerjasama bidang ekonomi, perdagangan dan kontra-terorisme di kawasan Asia Tengah antara Rusia, Cina dan negara-negara Asia Tengah, pada perkembangannya telah menarik minat dua negara Asia Selatan yaitu India dan Pakistan, dan baru-baru ini, yang kemudian disusul Iran, bergabung sebagai anggota terbaru SCO.

Dengan begitu, menyusul masuknya Iran  dari kawasan Asia Barat sebagai anggota baru pada SCO Summit Meeting awal Juli 2023 lalu, nampaknya semakin beralasan bagi Indonesia maupun  negara-negara  di kawasan Asia Tenggara (ASEAN)  untuk semakin serius menjalin kerjasama strategis baik dengan Cina-Rusia maupun negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan, yang mana sebagian besar negara-negara di kedua kawasan tersebut masih tergolong negara-negara berkembang, untuk menjalin kemitraan strategis dalam kerangka SCO.

Selain daripada itu, SCO saat ini lingkup kerjasamanya sudah meluas ke bidang politik dan keamanan, maupun sosial-budaya. Bagi ASEAN, utamanya Indonesia, bergabung dengan SCO hendaknya jangan hanya dipandang  sekadar berfungsi sebagai “kekuatan penyeimbang” dalam polarisasi yang kian menajam di Asia Pasifik antara blok AS-NATO dengan blok Cina-Rusia, namun lebih strategis dari itu, gagasan dasar terbentuknya kerjasama SCO yang mengaitkan konektivitas geografis dan kerjasama di bidang ekonomi-perdagangan, nampaknya lebih punya nilai strategis alih-alih sekadar meraup keuntungan dari segi ekonomi, perdagangan, investasi maupun keuangan.

Shanghai Cooperation Organization (SCO) leaders' summit in Samarkand

Pertimbangan geopolitik juga harus jadi bahan pertimbangan dan masukan. Betapa tidak. Kawasan Asia tengah dengan titik sentralnya wilayah Negara Uzbekistan, sejatinya merupakan jantung lintasan “Silk Road” atau Jalur Sutera, sekaligus merupakan cross-road (persimpangan) penting penghubung Benua Asia dan Eropa.

Baca: Buku karya  Drs. Mohamad Asruchin, MA, yang bertajuk: Perjalanan Seorang Diplomat Menyusuri Jalur Sutra. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020)

Silk Road atau Jalur Sutra merupakan lintasan perdagangan antara Asia (Cina) ke Eropa (Roma) dan Timur Tengah yang sudah berlangsung sejak Dinasti Han (202 SM-220 M). Mengapa disebut Jalur Sutra? Saat itu kekaisaran di Cina ingin memperdagangkan produk sutera yang melimpah di wilayah kekuasaannya untuk dibarter dengan produk dari daratan Eropa seperti Emas, perak, gading, wol, obat-obatan, minyak wangi, batu mulia, kaca serta barang-barang dari logam.

Nilai strategis Geopolitik Jalur Sutra yang menjadi basis kerjassama strategis Cina-Rusia dengan negara-negara Asia Tengah, nampak jelas melalui skema kerjasama Cina-Kyrgyzstan melalui beberapa proyek pembangunan infrastruktur sebagai implementasi dari program Silk Road China di Kyrgyzstan sebagai  gateway atau pintu masuk penting Cina menembus pasar Asia Tengah.

Sedemikian strategisnya kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan bagi Amerika Serikat (AS), sehingga Zbigniew Brzezinski dalam bukunya yang bertajuk The Grand Chessboard, mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional AS pada era Presiden Jimmy Carter itu mengatakan bahwa “control of Eurasian landmass is the key to global domination and control of Central Asia is the key to control of Eurasian landmass.”

Tak heran jika Cina, Rusia dan AS, sebagai tiga negara adikuasa dunia, berupaya melancarkan manuver geostrategis-nya di kawasan Asia Tengah-Selatan sesuai kepentingan nasionalnya masing-masing.

Telaah Zbigniew Brzezinski dalam bukunya yang bertajuk The Grand Chessboard, memang cukup beralasan. Saat ini, total jumlah penduduk seluruh kawasan Asia Tengah-Asia Selatan berjumlah sekitar 1,7 miliar, dan seperti saya singgung pada awal pemaparan tadi, berperan sebagai penghubung antara benua Eropa dan Timur Tengah. Maka dari itu kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan praktis merupakan sentra geopolitik penting yang jadi sorotan negara-negara adikuasa baik AS, Uni Eropa, Rusia dan Cina.

Selain itu, dari perspektif pemetaan sumberdaya alam, Asia Tengah saat ini muncul sebagai “pasar baru” dengan potensi  minyak dan gas bumi-nya yang sangat besar. Pun juga dari segi ekonomi, nilai strategis geopolitik Asia Tengah dan Asia Selatan ditandai dengan kemunculannya sebagai the emerging market atau pasar yang sedang tumbuh.

Berarti, negara-negara Asia Tengah merupakan pasar baru yang potensial untuk digarap. Dengan memanfaatkan kekayaan alam terutama energi yang melimpah begitu pula cadangan minyak dan gas bumi yang begitu besar. Sehingga bisa menjadi sumber alternatif di luar negara-negara Timur Tengah.

Dengan demikian pernyataan Sekretaris Jenderal SCO Zhang Ming bahwa terjalinnya kemitraaan ASEAN-SCO dapat membuka peluang-peluang baru di beberapa bidang atas dasar kepentingan dasar kedua kekuatan regional tersebut, kiranya juga cukup beralasan. Buktinya, menyusul terbentuknya SCO, kemudian ditindaklanjunti dengan kerja sama antara Cina-Rusia-negara-negara Asia Tengah, membentuk kerja sama secara khusus di bidang ekonomi, dengan mendirikan  EAEU (Eurasian Economic Union).

Melalui dua skema kerjasama politik-keamanan (SCO) maupun ekonomi (EAEU) tersebut, maka kedua organisasi tersebut selanjutnya dikerjasamakan dengan SCO yang dimotori oleh Rusia dan Cina dengan bersendikan negara-negara di Asia Tengah. Yang mana lingkup keanggotaannya kemudian meluas dengan bergabungnya India dan Pakistan dari Asia Selatan, maupun Iran yang menyusul kemudian.

Melalui gambaran tersebut tadi, bagi ASEAN utamanya Indonesia, forum kerjasama ASEAN-SCO jangan hanya dipandang sebatas menjalin aliansi strategis dengan Cina-Rusia maupun Asia Tengah.  Melainkan juga Asia Selatan.

Sekadar gambaran geopolitik Asia Selatan-Asia Tengah. Wilayah Asia Selatan dan Tengah meliputi 15 negara yaitu: Afghanistan, Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, India, Iran, Sri lanka, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Maladewa, Nepal, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan.

Dari penuturan tersebut, nampak jelas bahwa Indonesia dan ASEAN menjalin kemitraan strategis dengan SCO, berarti sekaligus juga membangun aliansi strategis bersifat jangka panjang dengan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan dalam kerangka Global South. Mengingat fakta masih banyak negara-negara di kedua kawasan tersebut masih tergolong negara-negara miskin.

Bergabungnya Indonesia baru-baru ini ke dalam blok kerja sama perdagangan BRICS yang juga dimotori oleh Cina-Rusia, maupun ke dalam SCO melalui kerangka kerja sama strategis ASEAN-SCO, sejatinya  tetap mencerminkan azas Politik Luar Negeri RI yang Bebas-Aktif, yang pro aktif dalam gerakan, dan konstruktif dalam kebijakannya. Selain itu, juga mengaktualisasikan Spirit Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 dan Konferensi Gerakan Nonmblok di Beograd pada 1961.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com