Meski saat ini AS terkesan mulai mengalihkan fokus perhatian dan prioritasnya dari ka wasan Timur Tengah ke Asia Pasifik, namun dalam soal minyak, AS masih bergantung pada Timur Tengah mengingat sebagian besar negara-negara di kawasan itu merupakan negara-negara produsen minyak. AS masih bergantung sebesar 45 persen dari total volume kebutuhan energi dalam negerinya.
Dalam kajian J.C Hurowitz yang diketengahkan alam bukunya bertajuk Foreign Policy Associate, sebagaimana dikutip oleh pakar geopolitik perminyakan Dirgo D. Purbo, Hurowitz membuat klasifikasi negara-negara di Timur Tengah dan Teluk Persia berdasarkan nilai strategis secara geopolitik. Baik dari segi luas geografisnya, penduduknya, kekuatan militernya, dan tentu saja kapasitas produksi minyaknya.
Baca: Dirgo D. Purbo, Geopolitik Perminyakan. Jakarta: Verburn -Center for The Study of Intelligence and Counter-Intelligence (CSICI), 2006.
Menurut Hurowitz, Iran pada masa pemerintahan masih berada dalam kekuasaan Dinasti Reza Pahlevi, dan kiranya juga hingga kini meski sejak 1979 sudah beralih menjadi Negara Republik Islam Iran, merupakan Super State. Adapun Irak, Arab Saudi, tergolong Major-state. Sedangkan Kuwait, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab, termasuk golongan Mini-state.
Begitu pula dari segi letak geografis, kawasan Timur Tengah mempunyai peran sebagai jembatan yang menghubungkan benua Eropa ke Asia dan Afrika sekaligus posisi kunci sebagai global power balance kekuatan penyeimbang berskala global. Betapa tidak, dua pertiga kebutuhan minyak di dunia perdagangan internasional bersumber dari kawasan Timur Tengah.
Maka terkait Iran, tidaklah mengejutkan ketika Dinasti Reza Pahlevi runtuh pada Januari 1979, AS memandang hal itu sebagai bencana besar dari sudut pandang kebijakan luar negerinya. Sejak 1928, meskipun Inggris sudah lebih dahulu menguasai kawasan Teluk Persia, AS berhasil memperoleh konsesi ladang minyak di Iran. Dan klimaksnya terjadi pada 1933 ketika perusahaan minyak Standard Oil of California (SOCAL) berhasil mengakuisisi ladang minyak di Arab Saudi, negara produsen minyak terbesar.
Setelah perang dunia II usai, beberapa perusahaan minyak seperti Exxon, Mobil, Texaco bergabung dengan SOCAL untuk membentuk perusahaan minyak Arabian-America Oil Company. Maka ketika pada 1948 Amerika menyandang status sebagai net oil importer, pemerintah AS memandang korporasi-korporasi minyak laiknya pasukan militer yang menyerbu negara musuh. Dengan motto: Find Foreign Oil, perusahaan-perusahaan minyak besar AS seperti Chevron, ExxonMobil dan Conoco Phillip serta Royal Dutch Shell, memandang negara-negara di Timur Tengah sebagai sumber-sumber minyak baru yang harus dieksplorasi dan dieksploitasi.
Dengan begitu, minyak pada perkembangannya bukan sekadar perkara ekonomi bagi Amerika, melainkan juga perkara politik dan pertahanan-keamanan (political and security). Stabilitas gejolak politik, apalagi ketika berpotensi mengarah pada meletusnya revolusi, AS sangat khawatir. Ada masa ketika Mesir dan Israel membahas penyelesaian damai kedua negara, Iran mengancam akan memboikot suplai minyak ke Mesir jika perundingan perdamaian dengan Israel dilanjutkan yang berakibat merugikan Iran.
AS juga khawatir ketika Oman dan Yaman terlibat dalam konflik perebutan perbatasan di bagian Selatan. Apalagi ketika konflik antara Israel dan otoritas politik semakin meruncing.
Inilah yang menjelaskan mengapa hingga kini AS memiliki pangkalan militer terbanyak di Timur Tengah. Bagi AS, rute suplai minyak punya nilai strategis dari segi geopolitik. Maka untuk mengamankan kawasan Timur Tengah termasuk Teluk Persia, Arab Saudi sejak era 1980an melakukan kontrak pembelian pesawat senilai 19 miliar dolar AS untuk 60 pesawat jenis F-15. Berikut pengeluaran sebesar 390 juta dolar AS untuk pembelian tank, aircraft, dan bantuan militer.
Pada masa pemerintahan Jimmy Carter pada pertengahan 1970an, sempat menyiagakan 110.000 tentara AS untuk mengantisipasi contingency plan yang disebut quick strike. Yang paling benderang berlangsung pada 1991, ketika AS melancarkan Perang Teluk dengan nama Operation Desert Storm, untuk menggempur Irak dari udara dan darat untuk membebaskan Kuwait yang diduduki Irak, sejatinya merupakan implementasi dari contingency plan yang dirancang Jimmy Carter, presiden AS terdahulu.
Bagi AS, seperti juga bagi negara-negara industri maju dari Eropa Barat, berkurangnya suplai minyak akibat timbulnya pergolakan di Timur Tengah dan teluk Persia, apalagi meletusnya revolusi Iran yang mengantarkan keruntuhan Dinasti Pahlevi dan tampilnya Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatullah Khomeini pada 1979, berarti berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi seperti harga bahan bakar yang langsung meroket, tingginya suku bunga, terjadinya pengangguran dan pemotongan program-program sosial.
Apalagi saat ini Iran semakin menjalin hubungan yang sangat erat dengan Cina. Pembelian peralatan militer dari Cina, Iran sebagai imbalan mengalokasikan minyaknya sebesar 60 ribu barel per hari. Pada 1994 AS sangat khawatir ketika Cina berencana akan membeli minyak dari Irak secara besar-besaran guna mengantisipasi kebutuhan energi setelah tahun 2000 yang diproyeksikan mencapai 40 juta sampai 50 juta barrel per tahun.
Bagaimana dengan kawasan Asia Pasifik utamanya Asia Tenggara? Seperti halnya AS, Cina juga memandang Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia merupakan lokasi geografis yang strategis. Lantaran merupakan titik hubung wilayah perairan Cina Timur, Cina Selatan, Selat Malaka dan Teluk Bengal. Selat Malaka merupakan chock point dari jaluran pelayaran tanker suplai minyak dari Timur Tengah ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Cina memandang kawasan perairan Laut Cina Selatan merupakan second Persian Gulf atau Teluk Persia kedua di kawasan Asia Tengggara, dalam arti sebagai sumber energi untuk Asia Pasifik. Mengapa perjanjian bilateral Indonesia-Cina yang ditandatangani Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping minggu ini mengundang kehebohan di beberapa kalangan? Rupanya kawasan Laut Cina Selatan mempunyai potensi kandungan minyak sekitar 85 miliar barel sedangkan untuk gas diperkirakan mencapai 135 Tcf. Sekadar bukti, pada 1988 ketika baru satu ladang minyak dikembangkan, mempunyai cadangan minyak sekitar 100 barrel di salah satu pulau Spratly.
Cina tidak hanya sebatas Laut Cina Selatan dalam mengamankan jalur pelayaran suplai minyaknya, melainkan juga Myanmar, yang saat ini merupakan negara yang tergabung dalam ASEAN. Cina menyewa beberapa pulau kecil untuk pemasangan satelit pengintai SIGINIT. Bahkan salah satu pulau kecil yang disewa Cina, juga digunakan sebagai pangkalan angkatan laut yang salah satu kegiatannya adalah memonitor kapa-kapal yang akan melintas di Selat Malaka.
Maka tidak mengagetkan ketika perjanjian RI-Cina membuahkan sebuah dokumen yaitu Consensus Document on Joint Development of Fisheries and Oil and Gas in Maritime Areas of Overlapping Claims between Two Countries.
Banyak kalangan yang kritis terhadap kesepakatan prorgresif Indonesia-Cina baru-baru ini, lebih meributkan aspek hukum internasional UNCLOS, Nine Dash Line dan sebagainya. Yang kerap sengaja atau tidak, diabaikan atau luput dari perhatian para pakar hubungan internasional, Cina kerap mengangkat soal border dispute terhadap beberapa negara yang terlibat klaim sengketa wilayah di perairan Laut Cina Selatan, sejatinya hanya merupakan sebuah komunikasi politik non-verbal. Ketika Cina dan negara yang terlibat sengketa klaim wilayah memasuki meja perundingan, yang dibahas adalah hal-hal yang justru menyatukan kepentingan strategis bersama. Bukannya meributkan hal-hal yang tak mungkin dicapai kesepakatan.
Maka dalam konteks yang seperti itu, Cina lebih senang merundingkan ihwal sengketa wilayah secara bilateral alih-alih secara multilateral. Maka kesepakatan Indonesia-Cina seperti Consensus Document on Joint Development of Fisheries and Oil and Gas in Maritime Areas of Overlapping Claims between Two Countries, membuktikan bahwa Indonesia dan Cina berhasil mencapai win-win solution.
Perkembangan hubungan Indonesia-Cina yang cukup mengejutkan itu, pastinya sangat meresahkan kepentingan-kepentingan korporasi multinasional di bidang perminyakan dan gas. Apalagi dalam dokumen kerja sama tersebut menggunakan frase joint development of fisheries, oil and gas. Perikanan, minyak dan gas. Bukankah ketiga hal itulah mengandung potensi sumberdaya alam di Laut Cina Selatan yang cukup besar?
Pertaruhan kepentingan AS dan sekutu-sekutu strategisnya seperti Inggris dan Australian di Asia Pasifik, memang terbukti cukup besar. Bahkan kepentingan mengamankan akses minyak dan gas di perairan Laut Cina Selatan, pada perkembangannya juga mempertaruhkan kekuatan militernya untuk mengamankan jalur suplai minyak dari Laut Cina Selatan.
Pada 2005 misalnya, di Laut Cina Selatan, diselenggarakan Joint Military Exercise dengan kode Bersama “Lima” menggelar kekuatan militer sebesar 3500 prajurit, dilengkapi dengan berbagai macam alat persenjataan berat, dengan melibatkan Negara Malaysia, Australia, Inggris, Singapura dan Selandia Baru, yang tergabung dalam Five Power Defence Agreement (FPDA), dengan dalih memerangi terorisme. Manuver militer AS dan sekutu-sekutunya tersebut sejatinya merupakan perang urat syaraf yang ditujukan ke Cina.
Juga pada 2005 Cina dan Rusia melancarkan Joint Exercise dengan nama “Peace Mission 2005.” Cina mengerahkan tentaranya sebesar 7000, sementara Rusia sebanyak 1800. Begitu pula Rusia dan Cina bersama-sama dengan negara-negara dari kawasan Asia Tengah yang tergabung dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO), juga melakukan latihan militer bersama dengan dalih memerangi terorisme. Enam negara tersebut adalah Cina, Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Latihan bersama ini sejatinya merupakan perang urat syaraf kepada Amerika, bahwa kekuatan Amerika di Asia Pasifik berhasil diimbangi melalui persekutuan Rusia-Cina dengan negara-negara di Asia Tengah.
Mengapa politik minyak sejagad AS di Timur Tengah pada perkembangannya berpotensi terancam menyusul kesepakatan strategis Indonesia-Cina di Laut Cina Selatan? Selain mengamankan akses ke sumber minyak dan gas, rute suplai pun sama vitalnya bagi AS.
Sehingga selain ketergantungannya pada sumber minyaka itu sendiri, namun rute suplai minyak juga sama vitalnya dengan sumber minyak dan gas itu sendiri. Rute suplai dari Timur Tengah, yang harus melintas dari Teluk Persia, Samudra Hindia sampai ke Selat Malaka, harus pula diamankan. Di sinilah wilayah di perairan Laut Cina Selatan menjadi pertaruhan besar baik bagi AS maupun Cina.
Bisa dipahami jika kesepakatan RI-Cina benar-benar mengusik kepentingan strategis AS, Inggris dan Australia di Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)