Kerjasama RI-Rusia Punya Nilai Strategis Bagi Kedua Negara (Ulasan Singkat Pertemuan Jokowi-Putin di Beijing 10 Oktober 2014)

Bagikan artikel ini

Pertemuan Presiden Jokowi-Putin di  Beijing 10 November 2014, sepertinya jauh lebih strategis dan menjanjikan bagi Indonesia untuk dipertimbangkan, jika kerjasama dengan negara  beruang merah tersebut didasarkan pada panduan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif. Kerjasama kedua negara, meskipun sebatas kerjasama ekonomi dan perdagangan, pada perkembangannya akan jauh lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan baru antara Indonesia dan Rusia.

Setidaknya ada dua hal yang patut dicatat menyusul pertemuan Jokowi-Putin yang cukup penting, jika pada perkembangannya nanti, bisa benar-benar ditindaklanjuti secara lebih serius. Pertama, Presiden Jokowi meminta agar Rusia berinvestasi di bidang transportasi dan energi.  “Dalam hubungan Indonesia-Rusia yang sudah baik ini saya mengajak untuk lebih ditingkatkan lagi dan saling mengisi dan saling percaya. Kita juga mengajak Rusia untuk investasi di Indonesia untuk bidang-bidang energi, power plantrailway, irigasi, pangan dan manufaktur.”
Kedua, Presiden Putin di awal pembicaraan menegaskan komitmennya. “Rusia dan Indonesia memiliki hubungan kemitraan. Ikatan kerjasama kita didasarkan pada persahabatan yang sudah berlangsung lama dan memiliki sejarah yang kaya. Kita memiliki dialog politik yang baik dan ekonomi kita berkembang.”
Nampaknya secara tersirat, Putin merasa perlu menyatakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan Indonesia-Rusia semasa pemerintahan SBY. “Ada sedikit kekurangan dalam perkembangan kita dari segi ekonomi. Tapi saya berpikir bahwa kekurangan ini dalam banyak hal disebabkan karena perkembangan ekonomi dunia secara menyeluruh dan saya harapkan dalam pertemuan ini, kita bisa membahas bagaimana kita bisa memperbaiki kekurangan tersebut,” kata Putin.
Berdasarkan berbagai sumber pustaka yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, Pemerintah Indonesia dan Federasi Rusia telah menjadi mitra strategis sejak 21 April 2003 dengan ditandatanganinya sebuah dokumen di Moskow. Sejak itu, kedua negara menjalin kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi. Termasuk di bidang alat-alat berat dan pabrikasi peralatan komunikasi berbasis satelit serta kerjasama pengembangan sistem keamanan dan teknologi informasi, serta perhubungan.
Data terakhir menunjukkan, nilai perdagangan antara RI dan Rusia terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Jika pada 2010 nilainya US$ 1,68 miliar, maka di tahun 2011 naik menjadi US$ 2,54 miliar. Kemudian 2012 naik menjadi US$ 3,37 miliar, dan 2013 menjadi US$ 3,52 miliar.
Menyusul pertemuan kedua kepala negara, nampaknya ada yang cukup prospektif bagi keuntungan timbal-balik kedua negara. Jokowi dan Putin sepakat mematok target angka perdagangan RI-Rusia menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 60 triliun di 2015. Apalagi ketika Jokowi secara eksplisit menegaskan agar berinvestasi di bidang trasnportasi dan energi. Bahkan bukan itu saja. Kesepakatan strategis Jokowi-Putin bahwa target untuk menaikkan target angka perdagangan RI-Rusia menjadi  US$ 5 miliar atau sekitar Rp 60 triliun di 2015, disertai juga dengan komitmen bersama bahwa Rusia akan berinvestasi dalam pembagunan di bidang smelter (pabrik pengolahan) alumunium senilai satu miliar dolar Amerika Serikat.
Menyadari adanya misteri dan atmosfer ketertutupan yang menyertai kerjasama bilateral RI-Cina yang melibatkan Cina International Fund beberapa waktu sebelumnya, nampaknya isyarat kerjasama RI-Rusia kiranya patut mendapat apresiasi yang lebih baik dari berbagai elemen strategis masyarakat, khususnya di dunia usaha.
Memanfaatkan Fokus Politik Luar Negeri Rusia ke Asia Pasifik
Ada banyak hal yang bisa kita manfaatkan dari Rusia mengingat kita punya hubungan sejarah yang panjang dengan Rusia. Apalagi pada 2004-2005 Presiden SBY sudah menandatangani Kemitraan Strategis dengan Rusia. Menurut data yang ada pada saya, Indonesia sudah memiliki sekitar 14 kemitraan strategis dengan beberapa negara, termasuk Rusia. Namun sampai hari ini tidak ada follow up atau tindak lanjutnya.
Menarik jika kita mencermati geopolitik Rusia. Kalau mengamati pola perubahan pergerakan geopolitik Rusia, yang menarik itu adalah filosofi lambang negara Rusia sendiri yaitu elang. Elang berkepala dua. Ini sepertinya Rusia hendak menyampaikan pesan bahwa mereka akan berpaling ke kiri dan ke kanan. Menoleh ke barat tapi juga ke timur.
Maka kalau kita pahami konteks kekiniannya, terutama di forum APEC Vladivostok tahun lalu, dan pada September 2013 lalu di KTT G-20 di Rusia. Nah ini artinya, Rusia berusaha agar tidak kehilangan fokus dan arah dalam menekankan kebijakan politik luar negerinya. Rusia menoleh ke barat, karena bagaimanapun negara beruang merah tersebut merupakan bagian dari eropa. Menoleh ke timur, karena sebagian besar wilayah negara Rusia berada di kawasan Asia, Timur Jauh dan Pasifik. Ini satu fakta geopolitik yang harus kita perhitungkan.
Sejatinya, basis kekuatan sesungguhnya Rusia berada di Asia. Ketika Rusia menghadapi krisis atau depresi, Rusia selalu ingat punya daerah di sekitar pegunungan Ural. Ketika Perang Dunia II, Rusia punya beberapa tank yang cukup berkualitas, sehingga mampu mengalahkan kedigdayaan tank-tank Jerman. Sehingga akhirnya gagal lah serangan Nazi Jerman ke Rusia. Nah tank-tank Rusia ini dibuatnya di daerah Rusia yang masuk kawasan Asia. Itu Luar Biasa.
Selain itu, modalitas politik luar negerinya yang utama adalah, ketika Rusia berhasil merebut 4 kepulauan milik Jepang. Ini dianggap sebagai simbol kemenangan geopolitik Rusia terhadap Jepang. Kalau kita berbicara mengenai geopolitik di Asia Pasifik dan Timur Jauh, ada tiga paradigma politik luar negeri.
Pertama, Asia Pasifik dan Jepang. Kedua, Asia Pasifik dan Cina. Dan ketiga, Asia Pasifik dan Amerika Serikat. Lantas di mana posisi Rusia? Nah inilah makanya Rusia ingin menunjukkan eksistensinya melalui hegemoninya. Seakan hendak mengatakan, “Hey, kami ini juga hadir lho di Asia.” Pada 1941, Joseph Stalin pernah mengatakan “Kami (Rusia) adalah negara eropa dari di Asia.” Dengan demikian bangsa Rusia selalu ingin menegaskan bahwa Rusia tidak ingin dinafikan dari masa depan Asia Pasifik. Apalagi ketika sekarang ada tren pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Pasifik.
Dengan demikian para penyusun kebijakan politik luar negeri Indonesia harus menyadari bahwa Rusia pun sekarang menekankankan fokus politik luar negerinya ke kawasan Asia Pasifik.
Keunggulan Rusia
1. Militer
2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
3. Sumberdaya Manusia.
4. Sumberdaya Mineral.
5. Kepemimpinan, terutama di era Vladimir Putin
Peluang Rusia
1. Rusia sebagai kekuatan penyeimbang.
2. Persekutuan strategis bersama Cina, India, dan Afrika Selatan
Indonesia Sebaiknya Kerjasama dengan Rusia dalam Teknologi Refinery
Jika Indonesia mengambil sikap untuk bekerja sama dengan Rusia, seperti dalam bidang teknologi refinery, baik refinery minyak atau refinery CPO. Maka kondisi ini akan membuat gelisah negara Malaysia, bahkan world bank. Kenapa bisa begitu? Sekarang coba bayangkan saja, kalau kita produksi sawit atau CPO dengan harga jual sekitar US$ 400, akan tetapi setelah itu masuk tanker semua maka di dunia harganya sudah mencapai US$ 1.200. Begitu tinggi selisihnya. Bagi mereka yang memiliki kecukupan dana atau modal tidak perlu susah-susah, atau sampai pertempuran berdarah maka dengan mudah akan mendapatkan keuntungan hingga US$ 800.
Begitu pula seandainya Indonesia memiliki teknologi refinery sendiri. Keuntungan besar yang akan didapatkan Indonesia. Dahulu Indonesia sudah mencoba untuk membeli teknologi refinery untuk CPO tetapi Malaysia sudah cemas dan berusaha menghalangi. Karena memang pemimpin kita tidak berani, yah akhirnya tidak jadi juga. Sama halnya juga dengan minyak. Indonesia sebagai penghasil minyak besar akan tetapi melakukan impor minyak, ini sangatlah ajaib.
Dan ini letak masalahnya di bidang teknologi. Karena teknologi refinery yang dimiliki Indonesia ini dibuat bukan untuk minyak Indonesia. Oleh karena itu minyak Indonesia dibuatnya di Singapura dan di beberapa negara lainn. Beda halnya dengan Venezuela, teknologi refinery yang diciptakan memang untuk minyak mereka.
Ada apa sebenarnya yang terjadi? 
Kondisi seperti ini harusnya sudah mampu menyadarkan Indonesia untuk tidak lagi disibukkan dengan masalah-masalah yang sebenarnya bisa dinomor-duakan. Seperti masalah demokrasi, ham, dan lain sebagainya. Indonesia harus memiliki visi baru bagaimana membangun kedaulatan bangsa Indonesia secara mandiri. Saatnya diperlukan adanya pemimpin yang berani dan tegas dalam mengambil kebijakan yang memang untuk kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat. DPR jangan lagi dapat dilemahkan oleh kepentingan-kepentingan asing melalui pembuatan peraturan dan undang-undangnya.
Dengan kekayaan minyak yang Indonesia miliki sudah saatnya Indonesia memiliki teknologi refinery yang dikhususkan untuk minyak Indonesia sehingga Indonesia tidak lagi menjadi pengimpor minyak.
Pada tataran ini, kerjasama RI-Rusia akan memiliki nilai strategis bagi kedua negara, jika kerjasama teknologi refinery bisa benar-benar terwujud, mengingat keunggulan Rusia dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Penulis: Hendrajit dan Agus Setiawan, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com