Pelaporan Kaesang dan Gibran, dua anak presiden Jokowi, ke KPK atas tudingan KKN oleh Ubedillah Badrun, Ketua SMPT IKIP Jakarta 1995-1996 dan seorang dosen ASN, menyentak masyarakat di tengah ketakutan akan serangan BuzzeRp pada setiap mereka yang kritis terhadap pemerintahan saat ini.
Sepertinya ada pameo, bahwa ASN harusnya berdiam diri saja jika tidak mau jabatannya dipermasalahkan hingga kemungkinan dipecat. Tidak heran jika ada yang berpendapat bahwa Ubedillah akan dipecat sebagau ASN karena kekritisannya tersebut.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Ubedillah menjawab bahwa pelaporan tersebut justru sebagai tanggung jawab moralnya sebagai seorang akademisi dan dosen yang mengajar nilai-nilai kejujuran, demokrasi dan etika bernegara kepada mahasiswa-mahasiswanya. Dan ketika terjadi penyimpangan, maka beliau harus meluruskan hal tersebut. Tidak hanya diam saja dan menyarankan, “Yang penting kalian lulus kuliah dan dapat kerja. Negara sudah ada yang urus.”
Dengan kesadaran yang sama, yaitu menjaga marwah etika.pejabat publik, saya menjadi aktivis sejak tahun 90an. Tahun 2015, kesadaran kritis terhadap sikap dan etika pejabat publik mendorong saya ikut ambil bagian mendemo Ahok yang kala itu menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Ahok kerap menggunakan kata-kata yang tidak patut di ruang publik. Sebagai guru, sebagai orang tua, sebagau anggota masyarakat, saya mengajarkan dan meminta anak, keponakan, murid dan anak tetangga untuk menggunakan kata-kata yang patut dan sopan kepada orang lain. Tapi Ahok sebagai pejabat publik justru malah mengumbar banyak kata-kata makian dan kekerasan di ruang publik dan ditayangkan di berbagai media.
Sebagai pegiat demokrasi di Prodem, saya terlibat ketika Prodem mengajukan beberapa laporan Prodem ke KPK dan Polda Metro Jaya. Laporan terakhir adalah keterlibatan dua menteri di kabinet Jokowiyaitu Luhut Binsar Panjaitan dan Erick Tohir dalam bisnis tes PCR.
Keduanya adalah pimpinan Satgas Penanganan Covid 19 nasional, tetapi justrudirinya dan kakaknya berada di perusahaan yang terkait langsung dengan penanganan Covid 19 yaitu pelaksanaan tes PCR.
Adakah larangan orang untuk berbisnis? Ya dan tidak.
Sebagai pejabat publik atau PNS ada larangan tegas yang diatur antara lain PP 53/2010 tentang Disiplin PNS. Anak pejabat, anak presiden atau kerabat mereka secara perundang-undangan tidak dilarang berbisnis. Tapi ada etika yang harus diperhatikan. Orang mau berbisnis dengan anak presiden, anak pejabat, kerabat mereka apalagi pejabat aktif tentu punya maksud lain selain mendapatkan profit sebagaimana bisnis umumnya. Di sinilah pentingnya etika pejabat publik.
Betulkah tidak ada udang di balik batu dalam kerja sama tersebut? Apakah mereka yang resmi menjadi klien perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar membutuhkan barang dan jasa mereka?
Pejabat menerima hadiah saja sudah bisa dianggap sebagai gratifikasi. Diduga, pola pemberian hadiah diubah melalui kerja sama dalam bisnis. Dan itu dapat dilihat dari besaran modal yang ditanam masing-masing pihak dalam pembentukan perusahaan kerja sama antara anak presiden dan pihak swasta tersebut.
Dalam bisnis PCR, kebijakan pemerintah mengenai PCR berubah-ubah. Terakhir, ketentuan persyaratan tes PCR, swab antigen diterapkan untuk penggunaan seluruh moda transportasi. Siapa yang menentukan tes PCR dam biayanya? Rakyat sebenarnya tidak keberatan dengan tes-tes tersebut. Tetapi harga tes yang tinggi sungguh memberatkan masyarakat yang harus bepergian. Koalisi masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mencatat setidaknya ada lebih Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis PCR dengan total potensi keuntungan sekitar Rp 10 triliun.
Pesan moral dari tulisan ini adalah mendorong para guru, dosen dan akademisi untuk turun dari menara gadingnya, dari mimbarnya di depan kelas, untuk berani bersuara ketika ada hal-hal yang tidak beres di sekitar kita. Berani mendukung mereka yang menyuarakan kebenaran.
Bicara benar bukan kejahatan. Mari menjaga marwah etika pejabat publik untuk memperbaiki bangsa dan negara ini dan kebaikan masa depan anak cucu kita.
Pipit Apriani
Mantan Pengurus SMPT IKIP Jakarta, Guru dan Pegiat Demokrasi, Alumni Sekdem LP3ES