Ketegangan di Selat Taiwan, Memicu Konflik Militer AS-Cina dan Proliferasi Senjata Nuklir Pasca Perjanjian INF di Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Prediksi Global Future Institute dalam seminarnya pada 30 April 2019 lalu, nampaknya semakin mendekati kenyataan, menyusul ketegangan terbaru di Selat Taiwan antara Taiwan dan Cina baru-baru ini.

Dihentikannya secara sepihak  Perjanjian Intermediate Range Nuclear Forces (INF) atau Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah sejak awal Februari 2019, Pemasangan sistem pertahanan anti rudal THAAD di Korea Selatan oleh pemerintah AS,  pada perkembangannya akan  berpotensi untuk semakin meningkatkan perlombaan senjata nuklir di kawasan Asia Timur maupun Asia Tenggara, yang mana Indonesia termasuk di dalamnnya.

Beberapa indikasi ketegangan di Asia Timur belakangan ini, kiranya perlu dicermati secara intensif. Seperti dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (13/6/2020), sebuah pesawat tempur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Cina secara singkat mendekati Taiwan pada hari Jumat 12 Juni lalu. Sebagai reaksi terhadap uji coba senjata rudal yang dilancarkan tentara Taiwan di lepas pantai tersebut.

Dengan tak ayal pemerintah Beijing segera mengirim pesawat tempur Yun-8 melintasi garis tengah (median line) di Selat Taiwan. Pemerintah Beijing nampaknya cukup beralasan untuk khawatir mengingat fakta bahwa Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan, Taiwan, melakukan uji tembak dua rudal ke daerah timur Taitung dan pangkalan militer Jiupeng di daerah selatan Pingtung pada Kamis 11 Juni lalu. Perkembangan ini mengindikasikan semakin meningkatnya eskalasi persaingan militer antara AS versus Cina, mengingat Taiwan merupakan sekutu strategis AS di kawasan Asia Timur, selain Jepang.

Maka dari itu, hasil seminar Global Future Institute yang bertema: Mengantisipasi Meningkatnya Perlombaan Senjata Konvensional dan Proliferasi Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif) pada 30 April 2019 lalu, kiranya perlu menjadi fokus perhatian para stakeholders kebijakan luar negeri dan politik-keamanan Indonesia.

Dalam salah satun poin penting hasil seminar GFI tersebut antara lain: Potensi meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Asia Timur dan Asia Tenggara, ditandai oleh tiga kejadian penting. Penempatan dan Pemasangan Terminal Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan, yang oleh para pakar studi strategi-keamanan merupakan upaya AS untuk mendeteksi aktivitas operasi militer Cina di daerah perbatasannya dengan Korea Utara. Sehingga akan memicu Cina untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif.

Baca: Executive Summary Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) 30 April 2019

Kedua, AS dengan dalih untuk latihan militer bersama dengan negara-negara sekutunya, telah mengirim pesawat pembom B-52 dan B52H, yang bermuatan senjata nuklir, ke atas perairan Laut Cina Selatan, di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, hasil seminar GFI juga menggarisbawahi bahwa seiring dengan semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina dia Asia Timur dan Asia Tenggara,  AS semakin agresif mendukung dan memfasilitasi negara-negara Asia yang termasuk sekutu strategisnya, dengan mendorong peningkatan dan pengembangan senjata nuklirnya kepada Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Perkembangan terkini semakin terbukti  ketika pada Senin hari ini,  15 Juni, AS mengerahkan tiga kapal induknya ke perairan Indopasifik USS Theodore Roosevelt, USS Nimitz, dan USS Ronald Reagan. Tentunya hal ini harus dibaca sebagai respons AS terhadap manuver angkatan udara Cina ke Selat Taiwan.

AS Kerahkan 3 Kapal Induk ke Indo-Pasifik, Warning bagi China

 

Dengan demikian, uji coba tembak rudal yang dilakukan Institut Sains dan Teknologi Nasional Chung-Shan, Taiwan, semakin memperkuat analisis tren tersebut di atas, bahwa AS dan negara-negara sekutunya seperti Taiwan dan Jepang, akan semakin agresif dengan dalih untuk menghadapi Cina.

Apalagi dengan berakhirnya Perjanjian INF menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Donald Trump pada awal Februari lalu 2019 lalu, nampaknya AS merasa tidak lagi terkekang untuk meningkatkan postur militernya secara lebih agresif. Sehingga menciptakan kembali perlombaan senjata nuklir pada skala besar seperti di era Perang Dingin. Seraya mengabaikan sama sekali instablitas politik dan keamanan nasional negara-negara lain baik di kawasan Asia Pasifik maupun di kawasan Eropa.

Bukan itu saja. Konstelasi ketegangan di kawasan Asia Pasifik semakin memburuk dengan AS sejak Mei 2017 mulai menempatkan senjata canggih sistem pertahanan anti-rudal bernama Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan. Dalih pihak resmi dari Kementerian Pertahanan AS maupun US Forces Korea atau pasukan AS di Korea yang saat ini diperkirakan berkekuatan 28.500 tentara, penemapatan dan pemasangan THAAD di Korsel bertujuan untuk menghadang rudal Korut seraya membela kedaulatan Korsel.

Sistem Pertahanan anti-rudal THAAD diyakini oleh pihak Pentagon mampu mencegat dan menghancurkan rudal balistik jarak pendek dan menengah Korut. Namun benarkah THAAD hanya ditujukan untuk mengantisipasi serangan nuklir atau rudal balistik antarbenua Korut?

Merujuk pada hasil seminar yang diselenggarakan Global Future Institute (GFI) pada 9 November 2017 lalu, ketegangan di Semenanjung Korea yang dipicu oleh penempatan dan pemasangan Sistem Pertahanan Anti-rudal THAAD di sisi selatan Seongju County, Provinsi North Gyeongsang itu, ternyata juga mengundang kecemasan dari pemerintah Cina di Beijing. Sehingga penempatan dan pemasangan THAAD harus dipandang dalam perspektif persaingan dan perebutan pengaruh global antara AS versus Cina. Bukan saja di Semenanjung Korea, melainkan kawasan Asia Pasifik pada umumnya.

Maka itu tidak heran ketika pihak Washington pada Mei 2017 menyatakan THAAD aktif untuk dioperasionalkan di Korsel, Beijing sontak menyatakan protes.  Geng Shuang, jubir kementerian.luar negeri Cina mengatakan bahwa Presiden Xi Jinping menempatkan kedaulatan Cina sebagai prioritas pemerintahan. Maka, Beijing tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang mengancam kedaulatan wilayahnya. Apalagi mengancam pertahanan dan keamanan regional. THAAD juga dianggap sebagai salah satu bentuk gangguan terhadap kedaulatan Cina.

Baca: Membayangkan Skenario Terburuk Akibat Penempatan dan Pergelaran THAAD AS di Korea Selatan

Bisa dibayangkan jika Cina mewujudkan ancamannya jadi kenyataan. maka konflik  bersenjata berskala luas besar kemungkinan akan terjadi. Yang mana bukan saja akan melibatkan AS dan Cina, melainkan juga Rusia.

Menariknya, dalam Dokumen Kebijakan Strategis Keamanan Nasional AS yang dirilis Gedung Putih bulan lalu tepat setahun Presiden Donald Trump menjabat, secara jelas menetapkan Cina dan Rusia sebagai pesaing utama AS dalam persaingan global dewasa ini.  Dalam dokumen yang sangat mirip dengan Project New American Century (PNAC) pada era pemerintahan George W Bush (2000-2008), melukiskan Cina dan Rusia sebagai “kekuatan revisionis” yang bermaksud mengubah status quo global.

Apakah ketegangan militer antara AS  versus Cina di Semenanjung Korea, Laut Cina Selatan dan Selat Taiwan baru-baru ini, juga termasuk yang dimaksud dokumen kebijakan keamanan nasional AS itu?

Jika demikian adanya, maka Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN), harus mewaspadai kemungkinan meningkatnya kembali proliferasi persenjataan nuklir di Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara. Apalagi dengan dihentikannya perjanjian INF dan penempatan sistem pertahanan antirudal THAAD di Korea Selatan.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com