Keterlibatan AS Membantu Al Qaeda dan Kelompok-Kelompok Ekstremis Teroris Untuk Mengisolasi Suriah

Bagikan artikel ini

Hanya sedikit kalangandi Timur-Tengah yang menaruh keraguan bahwa Washington telah memainkan agen-agen proxy-nya di Suriah sejak 2011 untuk operasi menggulingkan Presiden Bashar al Assad. Maka itu semua masyarakat Arab dan pada umumnya negara-negara Muslim di Timur-Tengah, sangat tidak menyukai organ-organ yang mendapat cap kelompok ekstrem seperti ISIS, ISIL dan DAESH.

Polling yang baru-baru ini diselenggarkaan oleh Pew Research Centre yang berbasis di Washington, mendapati 99 persen warga Lebanon, 94 persen warga Yordania, dan 84 persen warga Palestina, punya pandangan yang tidak mendukung sepak-terjang ISIS. Menariknyaa lagi, Lebanon yang corak keagamaannya aneka ragam termasuk adanya keseimbangan antara Islam suni dan syiah, 98 persen warga Muslim suni Lebanon tidak mendukung keberadaan dan sepak-terjang ISIS.

Temuan berdasarkan polling tersebut telah mematahkan citra yang selama ini dibangun di Barat bahwa ISIS berasal dari komunitas yang bermahzab Muslim suni.  Juga berdasarkan polling tadi terungkap bahwa 1 persen warga Lebanon, 3 persen warga Yordania, dan 6 persen warga Palestina, setuju untuk membubarkan ISIS yang telah memberi kesan seakan-akan komunitas Muslim mendukung aksi terorisme.

Baca: The Dirty War on Syria: Washington Supports the Islamic State (ISIS)

Turki, negara berpenduduk mayoritas Muslim yang di masa silam pernah menguasai hampir semua negara-negara di kawasan Timur-Tengah, berada di peringat paling rendah di antara negara-negara yang menentang pandangan dan sepak-terjang ISIS. 73 persen tidak menaruh kebaratan terhadap keberadaan ISIS. Bagaimana kiprah yang dimainkan AS di Timur-Tengah terkait terorisme? Sejak 2014, AS terliba dalam perang terhadap apa yang mereka sendiri sebut ekstremis-ekstremis teroris, di Suriah dan Irak.

Paradoksnya, meskipun secara retorika menyerukan perang terhadap kelompok-kelompok ekstrimis teroris berlabel Islam, namun di Suriah AS mendukung kelompok-kelompok bersenjata ilegal yang identik dengan citra sebagai organ-organ berwatak ekstremis teroris dengan menyebut kelompok-kelompok tersebut termasuk “kelompok-kelompok moderat.”

Inilah mitos yang secara terus-menerus dikumandangkan pihak Washington, sehingga AS melalui isu ancaman terorisme mempunyai legitimasi untuk campurtangan dalam politik dalam negeri negara-negara Arab dengan dalih melindungi keselamatan wargam masyarakat  di kawasan Timur-Tengah.

Mitos kedua yang selalu didengung-dengungkan Washington, seakan ada dua kubu kelompok Islam di Timur-Tengah. Antara kelompok-kelompok Muslim yang dipersenjatai, didanai dan dilatih secara kemiliteran oleh AS, dan kelompok-kelompok ekstremis teroris seperti ISIS, ISIL atau DAESH, yang diklaim pihak AS sebagai kelompok-kelompok yang akan diperangi. Padahal kedua kelompok yang sepertinya bertentangan tersebut, sama-sama di bawah pembinaan AS.

Kebijakan standar ganda (Double Game) AS terkait isu terorisme di Suriah tersebut, nampakya mengisyaratkan adanya pergeseran strategi dari humanitarian intervention ke arah kebangkitan strategi yang pernah diterapkan di era George W Bush, yaitu War on Terror.

Namun demikian, cerita tersebut sejatinya membuktikan bahwa selama ini justru AS dan negara-negara sekutunya lah yang secara langsung menciptakan kelompok-kelompok ekstremis teroris berbendera Islam tersebut.

Maka itu, perlu adanya pembuktian lebih mendalam ihwal adanya bantuan dan pembinaan Washington terhadap organ-organ ekstremis teroris berlabel Islam tersebut.

Fakta penting yang harus kita ketahui, para pentolan ISIS direkrut oleh aparat-aparat intelijen AS di penjara. Salah satu perekrutnya adalah  Abdul Rahim Muslim Dost asal Afghanistan. Dia pernah mendekam 3 tahun dalam penjara Guantanamo, yang berada dalam kendali tentara AS.


Muslim Brotherhood

Al-Qaeda

ISIS

Adapun pemimpin ISIS  Ibrahim al-Badri (aka Abu Bakr al-Baghdadi), mulai direkrut AS antara setahun atau dua tahun di Camp Bucca, Irak. Pada 2006, ketika Al Baghdadi dan para pentolan ISIS lainnya dibebaskan dari penjara, Presiden George W Bush tiba-tiba mengumumkan rencananya bernama “A New Middle East.” Dengan mengembangbiakkan dan menumbuhsuburkan konflik-konflik dengan menggunakan kekerasan sebagai bagian dari apa yang disebut “Creative Destruction” di kawasan Timur-Tengah.

Theresa May and Mohammed bin Salman in London in March 2018.

Meski ada banyak klaim yang mengatakan bahwa al-Baghdadi merupakan rekrutan agen CIA dan Mossad, namun belum ada bukti nyata. Namun demikian menurut sebuah artikel yang ditulis oleh  Seymour Hersh berjudul ‘The Redirection’ , ada indikasi AS berencana menggunakan negara-negara Muslim suni yang dipandang moderat oleh Washington, khususnya Arab Saudi, untuk membendung pengaruh kekuatan kelompok Syiah Irak sebagai buah dari invasi militer AS menggulingkan Saddam Hussein di Irak pada 2003 lalu.

Kelompok-kelompok kekuatan Muslim moderat suni tersebut akan digunakan AS untuk melancarkan operasi intelijen melemahkan kekuatan Iran dan Hezbollah, yang dipandang sebagai kekuatan-kekuatan utama Islam yang mengancam eksistensi Israel.

Skenario AS inilah yang menjelaskan mengapa dalam beberapa tahun terakhir ini Arab Saudi dan Israel semakin menjalin kerjasama yang erat satu sama lain. Nampaknya kedua negara tersebut dipersatukan oleh ketakutan dan kekhwatirannya terhadap Iran.

Pada 2012 lalu, pihak intelijen AS melaporkan dua fakta penting terkait tindak kekerasan di Suriah. Pertama, hampir semua aktivitas pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan sah Suriah, dimotori oleh kelompok-kelompok ekstremis yang erat kaitannya dengan Al Qaeda. Kedua, tujuan dari keberadaan kelompok-kelompok sectarian tersebut sejatinya sejalan dengan tujuan strategis AS.

Menurut laporan dari Defense Intelligence Agency (DIA), badan intelijen Pentagon:

“Kelompok Salafis, Ihwanul Muslimin, dan Al Qaeda, merupakan kekuatan-kekuatan utama yang memotori pemberontakan bersenjata di Suriah. Ada kemungkinan untuk mendeklarasikan atau tidak mendeklarasikan basis kekuatannya di Suriah Timur (Hasaka dan Der Zor), dan inilah yang diinginkan kekuatan-kekuatan di Barat maupun negara-negara Dewan Kerjasama Teluk, untuk mengisolasi Suriah.”

Oleh sebab itu AS hingga kini tetap memasok senjata kepada kelompok-kelompok ekstremis yang merupakan bagian dari jejaring Al Qaeda, dari Benghazi di Libya sejak Agustus 2012. Yang dipasok ke kelompok-kelompok jejaring Al Qaeda tersebut adalah 500 senapan laras panjang, 100 granat berpeluncur roket anti tank, dan 400 artileri laras pendek.  Kesemuanya dikirim lewat kapal ke pelabuhan Banias dan Borj Islam, Suriah.

Fakta tersebut semakin diperkuat oleh keterangan Michael Flynn, mantan kepala intelijen DIA, bahwa Obama sewaktu menjabat presiden telah memutuskan untuk mendukung Al Qaeda, Ihwanul Muslimin dan beberapa kelomok Jihadis lainnya.

Keterangan Michael Flynn tersebut telah mengkonfirmasi keterlibatan AS dalam membantu kelompok-kelompok Muslim jadi-jadian itu sejak meletusnya konflik di Suriah pada 2011 lalu. Seperti Jabar al Nusra dan Free Syrian Army. Keduanya erat kaitannya dnegan jejaring Al Qaeda. Seperti pengakuan Joe Biden saat masih Wakil Presiden maupun Senator  Lindsey Graham yang juga duduk di komisi militer senat, mengakui bahwa negara-negara Arab sekutu regional AS, telah mendanai ISIS. Bahkan Joe Biden malah selangkah lebih maju dengan mengatakan bahwa Turki, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi, sangat berkepentingan untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Bashar al Assad.

Negara-negara tersebut telah menggelontorkan dana ratusan juta dolar AS termasuk persenjataan, kepada Jabal al Nusra dan Al Qaeda, maupun kelompok-kelompok Jihadis lainnya, untuk melancarkan pemberontakan bersenjata menggulingkan Presiden Assad. Keterangan Biden tersebut semakin memperkuat adanya dukungan dan bantuan AS dan sekutu-sekutunya, termasuk di Timur-Tengah, kepada Al Qaeda dan jejaring ekstrem teroris seperti Jabal al Nusra dan Free Syrian Army sejak meletusnya konflik Suriah pada 2011.

Meskipun konteks pernyataan Biden adalah untuk mempersalahkan negara-negara sekutu Arabnya seperti Arab Saudi, namun semua orang tahu bahwa Arab Saudi tidak mungkin membuat kebijakan strategis tanpa restu dari Washington. Apaalgi Arab Saudi sangat tergantung pada pembelian dan pasokan senjata dari AS.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com