Oleh Mohamad Asruchin, Duta Besar RI untuk Uzbekistan merangkap Kyrgistan (2010-2014). Disampaikan dalam Kuliah Umum di Seskoau, Lembang, Bandung dengan materi Peran ASEAN di Indo-Pasifik (16/07/2024).
Ketika 5 (lima) negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapore dan Thailand sepakat untuk membentuk organisasi regional ‘Association of Southeast Asian Nations’ (ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967, dunia sedang dicekam oleh Perang Dingin antara Blok Barat berpaham kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur berpaham sosialis-komunis di bawah pimpinan Uni Soviet. Kelima negara tersebut ditambah dengan Brunei Darussalam yang menyusul bergabung pada Januari 1984 semuanya menganut paham demokrasi yang bertekad untuk membendung menyebarnya ideologi komunisme.
Dengan dimasukkannya Vietnam, Laos dan Kamboja yang berideologi komunis serta Myanmar di bawah kepemimpinan diktator militer, maka kebersamaan ASEAN yang beranggotakan 10 negara ini lebih ditopang oleh kedekatan geografis dan kesamaan kepentingan, yaitu penciptaan keamanan, stabilitas, perdamaian kawasan, serta mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan penyejahteraan rakyat negara anggotanya. Kesamaan kepentingan dan sekaligus menjadi tujuan ASEAN telah dikukuhkan dalam ASEAN Charter yang disahkan pada tahun 2007.
Dalam rangka meningkatkan ketahanan regional serta mengefektifkan kiprah ASEAN di tingkat regional maupun internasional, ASEAN Charter juga telah menggariskan pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu ‘ASEAN Political-Security Community’, ‘ASEAN Economic Community’, dan ‘ASEAN Socio-Cultural Community’. Dalam interaksinya dengan pihak lain, baik entitas negara maupun organisasi, ASEAN akan mempertahankan posisi sentralnya serta perannya sebagai kekuatan pendorong atau ‘driving force’ berlandarkan prinsip keterbukaan, transparan dan inklusif baik di Asia Tenggara maupun untuk wilayah Indo-Pasifik.
Kerjasama ASEAN Dengan Mitra Wicara
Bagaikan primadona, ASEAN mendapatkan perhatian sangat besar dari berbagai penjuru dunia untuk menjalin kerjasama. Semangat kerjasama regional-internasional meningkat menjelang dan setelah berakhirnya Perang Dingin di tahun 1990-an. ASEAN bahkan sempat memberlakukan moratorium untuk menerima permintaan hubungan kemitraan baru (Dialog Partnership) pada tahun 1999, sehingga organisasi ASEAN mempunyai keleluasaan untuk mengintensifkan dan mengkonsolidasikan hubungan Mitra Wicara yang sudah ada, selain untuk dapat memfokuskan diri pada upaya integrasi kawasan.
Praktis hampir semua negara besar dunia dan kawasan telah menjadi Mitra Wicara ASEAN, mereka adalah Amerika Serikat, Australia, China, India, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, dan Selandia Baru, Selain itu ASEAN juga telah menjalin dialog dan kerjasama dengan organisasi-organisasi regional-global seperti PBB, Uni Eropa, Pacific Alliance (PA), South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Economic Cooperation Organization (ECO), Gulf Cooperation Council (GCC), Mercado Comun del Sur/Common Market of the South (MERCOSUR), dan Community of Latin American and Caribbean States (CELAC).
Keterlibatan kekuatan besar dunia dengan ASEAN telah menjadikannya sebagai organisasi yang sangat penting sekaligus mengukuhkan posisi sentralnya dan ‘kekuatan penggerak’ (driving force) dalam mewujudkan perdamaian, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan kawasan. Untuk para pihak eksternal diminta terlebih dulu menandatangani ‘Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia’ (TAC) sebelum dapat berpartisipasi dalam mekanisme ASEAN seperti ‘East Asia Summit’ (EAS), ‘ASEAN Plus Three’ (APT), ‘ASEAN Regional Forum’ (ARF), ‘ASEAN Defence Ministers’, serta ‘Expanded ASEAN Maritime Forum’ (EAMF).
Guna menciptakan pasar tunggal dan basis produksi sebagaimana diamanatkan oleh ASEAN Charter, telah dibentuk ‘ASEAN Free Trade Area’ (AFTA) yang dimaksudkan untuk dapat meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-ASEAN serta menarik investasi dari luar negeri. Dalam upaya mengembangkan perekonomian lebih lanjut, pada tahun 2020 semua anggota ASEAN bersama Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru telah menandatangani ‘the Regional Comprehensive Economic Partnership’ (RCEP). Hal ini memperkuat ‘Free Trade Agreements’ (FTA) yang telah dibuat oleh ASEAN dengan 6 (enam) negara di luar organisasi.
Perkembangan pesat ASEAN sehingga dapat menjelma menjadi organisasi regional yang sangat menonjol dan diperhitungkan dunia tidak terlepas dari dukungan para Mitra Wicara yang berkomitmen ikut menghormati Visi dan prinsip ASEAN dalam menjaga kedaulatan, integritas wilayah dan tidak mencampuri urusan dalam wilayah ASEAN maupun wilayah negara masing-masing anggotanya. Negara maupun organisasi Mitra Wicara juga sekaligus merupakan sumber investasi, fasilitasi pengembangan SDM, IPTEK, energi, pariwisata serta isu terkait obat-obatan illegal. Dukungan tersebut terjadi atas pengakuan mereka terhadap peran aktif ASEAN dalam menjaga perdamaian,stabilitas serta mengupayakan kesejahteraan kawasan.
Sikap ASEAN Terhadap Superpower
Soliditas dan kekompakan ASEAN mendapat ujian ketika dua Superpower AS dan China meningkatkan rivalitasnya di wilayah Indo-Pasifik, terutama sejak China menetapkan nine-dash line di Laut China Selatan (LCS) yang mengklaim sekitar 85 persen perairan LCS merupakan wilayah jurisdiksinya. Secara historis perhatian utama AS adalah Benua Eropa yang terhubung di dalam wilayah Pan-Atlantic, namun AS kini juga mengalihkan perhatiannya ke wilayah Indo-Pasifik, karena klaim China terhadap sebagian besar perairan LCS dianggap mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat dunia mengingat wilayah perairan tersebut merupakan 2/3 kegiatan perekonomian dunia termasuk jalur lalu-lintas perdagangan yang menghubungkan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Sementara itu 5 negara anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina dan Vietnam juga merasa dirugikan dengan klaim sepihak China di LCS berdasarkan ‘nine-dash line’ yang dianggap melanggar kedaulatan nasional mereka terhadap bagian wilayah perairan LCS yang diatur sesuai pengaturan UNCLOS. Namun Kamboja cenderung mendukung klaim China dan menghalangi statemen bersama ASEAN tentang LCS. Pada tahun 2002 ASEAN dan China sepakat menandatangani ‘non-binding Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea’ yang hingga sekarang belum juga terwujud ‘Code of Conduct’ yang mengikat semua pihak.
Sejak menjadi Mitra Wicara ASEAN pada tahun 1991, volume perdagangan China-ASEAN telah melonjak tajam, dalam waktu 30 tahun nilai perdagangan tercatat semula sebesar US$ 8.36 milyar tahun 1991 menjadi US$ 975.3 milyar tahun 2022. Sejak tahun 2013 China sudah menjadi produsen barang-barang industri terbesar di dunia menyalip AS. Sementara itu AS yang bertekad mencegah China menguasai LCS, membina kerjasama militer dengan 5 (lima) negara utama ASEAN, yaitu Philipina, Thailand, Singapura, Vietnam dan Indonesia. Guna tetap menjamin berlakunya ‘freedom of navigation Operations’ (FONOP) di LCS, AS telah membentuk kerjasama militer QUAD bersama Australia, India dan Jepang, serta AUKUS bersama Australia dan Inggris.
Secara geostrategic, Laut China Selatan merupakan jalur laut yang sangat vital sebagai lalu-lintas perdagangan maupun untuk pengangkutan energi. Hasil Konperensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan PBB tahun 2016 mencatat lebih dari 64% perdagangan China dan 90% pengapalan minyak mentah keperluan China dilakukan melalui LCS. Itulah yang mendorong China ingin mengontrol LCS secara mutlak. Sumber rivalitas strategis AS-China yang tidak kalah penting lainnya adalah masalah saling klaim Pulau Senkaku di Laut China Timur antara China-Jepang, serta masalah Taiwan. Di era Presiden Donald Trump mendiami Gedung Putih di Washington DC, sumber sengketa masih ditambah dengan Perang Dagang dan saling tuding terkait penyebab virus Covid-19.
Posisi ASEAN menghadapi persaingan strategis dua Superpower ini sungguh tidak mudah, karena mereka masing-masing berusaha untuk menarik di pihaknya. AS menyebut bahwa pemaksaan kehendak serta ancaman China di LCS membahayakan kepentingan maritim di Asia Tenggara. Sementara itu China menyampaikan bahwa berpihak kepada AS yang menerapkan cara-cara ‘Cold War’ dapat merusak kebijakan ekonomi di kawasan. Sikap ASEAN yang tetap mempertahankan netralitasnya, menjadi ‘balance of power’ tidak tergoda untuk mendukung salah satu negara Adidaya adalah pilihan yang benar, meskipun pilihan itu terus menghadapi tantangan yang tidak kecil.
Peran ASEAN Di Indo-Pasifik
Wilayah Asia-Pasifik dan Samudra Hindia yang mencakup 58% penduduk dunia dan 45% perdagangan global merupakan pusat perekonomian dunia yang mengalami pertumbuhan pesat dalam dekade terakhir. Kondisi wilayah yang demikian dinamis dan prospektif sekaligus telah menjadi ajang geopolitik dan geostrategis dua Superpower AS dan China. Asia Tenggara yang merupakan bagian dan berada di tengah dua wilayah yang terus bertumbuh tersebut akan ikut merasakan dampak langsung baik positif ataupun negatifnya. Oleh karena itulah ASEAN menentukan sikapnya dalam konsep “ASEAN Outlook on the Indo-Pacifikc”. Sebagaimana prinsip dan sikap ASEAN selama ini, visi ASEAN juga terus mengusahakan kondisi yang aman, stabil dan sejahtera di wilayah Indo-Pasifik.
ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) yang diluncurkan pada KTT ASEAN ke-34 di Bangkok tahun 2019 dimaksudkan sebagai panduan posisi ASEAN dalam ikut menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia-Pasifik dan Samudra Hindia. Tiga prinsip pokok AOIP dalam perannya di wilayah Indo-Pasifik yang lebih luas adalah: ASEAN Centrality, inclusivity, dan complementarity. Pada kesempatan tersebut, AOIP menyepakati kerjasama pada empat bidang, yaitu: kemaritiman, konektivitas, the Sustainable Development Goals (SDGs), serta ekonomi dan kerjasama lainnya. Segi operasionalnya, ASEAN tetap konsisten menekankan sentralitasnya dalam proses menuju pembangunan ASEAN Community,
Mekanisme AOIP bukan dimaksudkan untuk menyaingi apalagi menggantikan mekanisme ASEAN yang sudah ada, tetapi untuk memperkuat mekanisme-mekanisme yang tersedia disesuaikan dengan cakupan dan perkembangan situasi wilayah. Mekanisme ASEAN terkait yang relevan untuk diterapkan di wilayah Indo-Pasifik adalah: ‘ASEAN Regional Forum’ (ARF), ‘East Asia Summi’t (EAS), ‘the ASEAN Defence Ministers Meeting Plus’ (ADMM Plus), ‘the Expanded ASEAN Maritime Forum’ (EAMF), ‘ASEAN Plus Three’ (APT), serta ‘ASEAN Plus One’. Selain itu AOIP juga mendasarkan prinsip-prinsip aturannya pada ‘UN Charter’, ‘UN Convention of the Law of the Sea 1982’, ‘ASEAN Charter’, serta ‘ASEAN Treaties and Agreements’ terkait.
Mekanisme EAS yang mencakup 18 negara, yaitu 10 negara ASEAN plus 8 negara: AS, Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Rusia dan Selandia Baru, ditambah dengan dua mantra ASEAN yang sangat efektif, yaitu ‘Treaty of Amity and Cooperation’ (TAC) dan ‘ASEAN Regional Forum’ (ARF), maka suara ASEAN yang solid dan konsisten dapat berperan positif dalam menjaga wilayah Indo-Pasifik yang damai, stabil, dan sejahtera. Jika dibuat model ‘concentric circle’ untuk proses pembentukan komunitas, maka ‘ASEAN Community’ menjadi titik pusatnya, lingkaran kedua ditempati oleh ‘East Asia Community’, lingkaran berikutnya adalah ‘Indo-Pasifik Community’, dan lingkaran terakhir tentunya ‘World Community’.
ASEAN dengan postur netral, mengedepankan dialog dan kerjasama ini hadir di wilayah Indo-Pasifik mengiringi dua kekuatan Superpower AS dan China dengan agenda masing-masing yang bersenggolan satu sama lain. Amerika Serikat hadir dengan mengusung program ‘the Free and Open Indo-Pacific’ (FOIP) yang menawarkan bantuan dan kerjasama ekonomi kepada masyarakat di wilayah Indo-Pasifik. Bersamaan dengan itu AS membentuk koalisi keamanan-militer ‘the Quadrilateral Security Dialogue’ (the Quad) bersama Australia India dan Jepang untuk mengimbangi peningkatan kekuatan ‘People’s Liberation Army Navy’ (PLA Navy) China di Laut China Selatan. Adapun program FOIP dimaksudkan untuk menyaingi proyek China, ‘Belt and Road Initiatives’ (BRI) yang mulai diluncurkan oleh China untuk investasi pembangunan infrastruktur dan kerjasasama ekonomi-perdagangan di Asia-Pasifik dan Afrika.
Rivalitas geostrategic antara AS dan China di Indo-Pasifik telah membuat ASEAN dilematis. Bagaimanapun kuatnya tekanan untuk berpihak ke salah satu Adidaya yang sedang bersaing, ASEAN bersikukuh tidak bergeming untuk berpihak, sebagaimana pernah dinyatakan oleh mantan PM Singapore Lee Hsien Loong di Jurnal Foreign Affairs tahun 2020 bahwa “…ASEAN must avoid being cought in the middle or forced into invidious choices…between two major powers”. Untuk itu dalam menghadapi tekanan politik serta persaingan ekonomi dua kekuatan raksasa, ASEAN tetap mengedepankan norma-norma ASEAN Way yang dianut selama ini: transparansi, keterbukaan, inklusif, dialogis dan kerjasama dengan semua pihak tanpa mengganggu kedaulatan wilayah dan campur tangan urusan internal negara lain.
ASEAN Way yang dalam menjalankan kerjasama maupun penyelesaian konflik regional memprioritaskan dialog, pencapaian konsensus dan non-intervensi telah menjadi ikonik ASEAN telah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak karena memperlakukan setara semua anggota dalam pengambilan keputusan. Sejumlah pengamat mengusulkan untuk meningkatkan efektivitas serta menghemat waktu dan energi, sebaiknya ASEAN mengembangkan alternativ modalitas pengambilan keputusan melalui voting dengan suara mayoritas pada kasus tertentu dengan mempertimbangkan aspek demografi, tingkat perekonomian, geopolitik, dan terutama yang menyangkut kepentingan langsung dari sejumlah anggotanya.
Bekasi, 16 Juli 2024