Klaim Tiongkok Terhadap Wilayah Laut Cina Selatan Berdampak Pada Kedaulatan Nasional Indonesia di Kepalauan Natuna

Bagikan artikel ini

Sengketa Laut Cina Selatan kian memanas bukan saja melanda dunia internasional, pun juga membawa dampak di dalam negeri. Bahkan belum ada tanda-tanda sengketa Laut Cina Selatan akan usai saat ini. Sehingga berpengaruh bukan saja pada stabilitas kawasan Asia Tenggara, juga termasuk Indonesia.

Sengketa Laut Cina Selatan dipandang berbahaya terhadap keamanan nasional Indonesia, meskipun Indonesia tidak termasuk negara yang melakukan klaim atas wilayah Laut Cina Selatan. Namun demikian dinamika sengketa di wilayah tersebut juga mempengaruhi Indonesia. Alasannya tentu  saja karena peraian Indonesia di Kepulauan Natuna berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Dimana secara geografis Kepulauan Natuna terletak di paling Utara Selat Karimata berbatasan langsung dengan wilayah maritim tiga negara, Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Sedangkan, sumber daya alam yang terdapat di Kepulauan Natuna dinilai cukup besar. Terdapat sekitar 14.386.470 barel minyak bumi, 112.356.680 barel untuk gas alam. Hingga kepulauan Natuna dianggap sebagai jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia dimana menjadi lintasan kapal-kapal yang datang dari Samudera Hindia yang menuju Samudera Pasifik.

Selain itu dinamika yang berkembang di negara-negara  ASEAN  itu sendiri dinilai mengganggu stabilitas di Asia Tenggara. Pasalnya terdapat empat negara ASEAN yang melakukan klaim atas kepemilikan sengketa Laut Cina Selatan, yaitu, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Maka, isu seperti ini tentu kemudian berupaya diselesaikan dengan memasukkannya menjadi  agenda rapat seperti KTT ASEAN di Bali pada tahun 2011.

Terdapat beberapa penyebab yang menjadi penyebab  munculnya sengketa Laut Cina Selatan sebagai perairan  internasional. Antara lain,  Laut Cina Selatan menyimpan begitu melimpahnya sumber daya alam. Bayangkan saja pada tahun 1968 cadangan minyak yang terdapat di Kepulauan Spratly dan Paracel mencapai 105 milayr barrel dan pada keseluruhan Laut Cina Selatan terdapat cadangan minyak sebanyak 213 milyar barrel.

Menurut penelitian dari Badan Informasi Energi AS, terdapat 190 triliun gas alam dan merupakan cadangan gas alam terbesar ketujuh di dunia. Hingga kekayaan sumber daya hayati pun terdapat di Laut Cina Selatan. Tak heran jika wilayah sengketa Laut Cina Selatan hingga saat ini masih diperebutkan oleh negara adidaya termasuk negara-negara di ASEAN itu sendiri.

Inilah yang kemudian mendorong Cina melakukan klaim sepihak pada tahun 1947 yang mana Cina mengeklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari wilayahnya dengan mengeluarkan peta atau biasa dikenal sebagai nine dash line atau sembilan garis putus-putus. Hingga kini pertikaian batas wilayah masih berlangsung di kalangan negara-negara yang melakukan klaim atas kepemilikannya terhadap wilayah Laut Cina Selatan.

Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang tidak melakukan klaim atas Laut Cina Selatan pun terkena dampaknya karena berdasarkan  peta yang dikeluarkan oleh Tiongkok tersebut juga memasuki wilayah Indonesia tepatnya di Kepulauan Natuna. Hal tersebut tentu berdampak  terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Stabilitas keamanan ekonomi Indonesia dengan begitu dapat terganggu karena kegiatan pengolahan sumber daya alam yang dilakukan seperti eksplorasi pertambangan dan minyak alam pun juga dilakukan oleh Indonesia.

Seperti dilansir oleh Kompas, pada September lalu kapal coast guard China memasuki peraian Kepulauan Natuna meskipun telah diusir oleh Bakamla, kapal yang masuk nampaknya enggan  untuk pergi. Meskipun pemerintah Indonesia telah menerjunkan KN Nipah 321, kapal coast guard Cina tetap menolak untuk pergi dengan alasan bahwa sedang melakukan patroli di wilayah  nine dash line yang merupakan masih masuk kedalam wilayah territorial Cina.

Kejadian tersebut tentu saja bertentangan dengan UNCLOS 1982 mengenai perbatasan wilayah perairan yang telah ditetapkan oleh PBB sehingga  nine dash line tentu saja tidak diakui. Hal yang disayangkan adalah tindakan yang dilakukan oleh coast guard Cina terjadi berulang-kali. Adapun sikap yang diambil oleh Indonesia, Panglima Komando Gabungan Wilayah I segera menerjunkan tiga KRI, diantaranya adalah KRI Karel Satsuit Tubun (KST) 356, KRI Usman Harun (USH) 359, KRI John Lie 358 dengan tujuan mengusir kapal asing dari peraian Indonesia.

Tentu, Indonesia harus mengambil sikap yang lebih tegas lagi dalam meningkatkan batas wilayah di Laut Natuna karena hal ini menyangkut kedaulatan territorial nasional kita. Untuk menjaga stabilitas Kepualauan Natuna juga bisa dilakukan dengan cara meningkatkan perekonomian setempat dengan eksplorasi minyak demi menyumbang kas negara. Peningkatan keamanan wilayah juga perlu dilakukan oleh pemerintah. Tidak hanya peningkatan dalam segi Alatu Utama Sistem Senjata (Alutsista),  kemampuan TNI dalam meningkatkan pertahanan pun dilakukan dengan cara menambah jumlah personil militernya.  Dengan didasari pertimbangan untuk meningkatkan kewaspadaan nasional jika sewaktu-waktu terjadi ancaman di wilayah Laut Cina Selatan.

Nesya Aulia, Mahasiswi Fakultas Hubungan Internasional, Universitas Binus, Jakarta.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com