Artikel dari Ghassan Kadi:
The Syrian Russian Turksih Idlib Stand-Of – Erdogan’s Last Stand?
Meskipun tentara Suriah dengan dukungan negara-negara sekutunya, termasuk Rusia, berhasil merebut kembali beberapa kota utama yang diduduki oleh pasukan pemberontak yang didukung oleh Amerika Serikat dan NATO, pertempuran belumlah selesai.
Menghadapi kenyataan bahwa daerah sebelah Timur Suriah masih yang masih berada dalam kendali kontrol pasukan Amerika, daerah sebelah timur Suriah yang berada dalam kendali kontrol pasukan Amerika belum maupun sebelah barat Suriah termasuk Idlib dan sekitarnya, menjadi sasaran strategis pemerintah Suriah untuk direbut kembali.
Nampaknya situasi di Suriah saat ini jauh lebih kompleks daripada Sembilan tahun yang lalu ketika krisis Suriah bermula pada 2011. Sembilan tahun yang lalu, beberapa kekuatan anti pemerintahan Suriah pimpinan Presiden Bashar al Assad bersatu dengan satu tujuan pokok: Menggulingkan Bashar al Assad dengan bersepakat melancarkan serangan militer bersama.
Yang menyatukan seluruh kekuatan pasukan pemberontak adalah kebenciannya pada rejim Assaad. Meskipun pada kenyataannya berbagai kekuatan anti Assad tersebut punya agenda yang aneka ragam dan bahkan saling bertentangan. Namun mereka dipaksa bersatu untuk menghimpun kekuatan bersama menumbangkan Assad. Berbagai kelompok Islam yang berhaluan Wahabi dan pro Arab Saudi, bersekutu dengan Moslem Brotherhood atau Ihwanul Muslimin yang didukung dari belakang layar oleh Turki. Dan mendapat bantuan dana dari pemerintah Qatar.
Mereka ini kemudian bersekutu dengan negara-negara NATO, Israel, dan milisia ultra kanan Lebanon. Sasaran pokok: Gulingkan Assad lalu mendukung tampilnya pemerintahan baru yang berhaluan sekuler, dan mendukung road map yang dirancang oleh negara-negara Barat.
Gerakan mereka pada perkembangannya gagal total. Beberapa milisi bersenjata yang didukung AS, NATO dan Israel, seperti Jaysh Al-Islam yang dimotori oleh mantan pewira militer Suriah Zahran Alloush, sudah hilang dari peredaran. Alloush tewas dalam serangan yang dilancarkan pasukan pemerintahan Suriah pada Desember 2015.
Yang lebih mengejutkan lagi, di antara para korban serangan militer Suriah itu, turut tewas para konspirator di balik operasi menggulingkan Bashar al Assad. Salah satunya, adalah Pangeran Bandar bin Sultan bin Abdulaziz al-Saud, yang menurut beberapa informasi, merupakan arsitek utama yang merancang invasi militer terhadap Suriah, mati terbunuh.
Situasi berbalik menguntungkan Suriah ketika pasukan pemerintahan Assad berhasil membukukan kemenangan dalam pertempuran Qusayr pada 2013 lalu. Pertempuran ini dinilai sangat menentukan berhasil melumpuhkan milisi-milisi bersenjata para pemberontak dengan memutus hubungan antara Damaskus dengan jalur pemasok di daerah utara Suriah.
Jika ketika itu pasukan Suriah gagal memenangkan pertempuran Qusayr, pemerintahan Assad belum tentu mendapat dukungan penuh dari Rusia. Kemenangan Suriah atas pertempuran Qusayr itulah, Rusia menaruh respek terhadap keberanian dan tekad Suriahn untuk melawan kepungan dunia internasional yang dimotori AS dan NATO.
Sejak itu, Presiden Vladimir Putin nampaknya yakin bahwa kehadiran militer Rusia di Suriah, punya peluang untuk merebut pengaruh geopolitik di Suriah, dan Timur-Tengah pada umumnya.
Seiring dengan semakin menguatnya kehadiran militer Rusia di Suriah mendukung Assad, persekutuan anti-Assad mulai pecah kongsi. Keterlibatan Arab Saudi dalam skenario penggulingan Assad berakhir seiring tewasnya Alloush. Ketika ketegangan antara Arab Saudi versus Qatar menajam pada 2017 lalu, keterlibatan Qatar dalam gerakan penggulingan Assad tetap diwakili oleh sekutunya, Turki.
Ketika Turki menembak jatuh pesawat Rusia Su-24 pada 2015, hubungan Turki-Rusia mencapai titik nadir. Namun menariknya setelah itu, Erdogan menerapkan pendekatan pragmatis. Menemui Putin dan minta maaf. Bahkan berhasil mencapai kesepakatan untuk mencari penyelesaian jalan buntu di daerah Idlib.
Pada tataran ini, Erdogan nampaknya bermain dua kaki. Tetap berkomitmen pada posisinya sebagai anggota NATO dan sekutu Barat. Namun pada saat yang sama menjalin persekutuan dengan Rusia. Dan memberi kesan hendak mempertimbangkan kembali persekutuannya dengan AS. Dan membeli sistem pertahanan rudal S-400. Sebaliknya. AS tetap memandang Turki sebagai negara sekutunya dan anggota NATO. Dan bermaksud membeli pesawat tempur jet F-35.
Pada satu sisi secara verbal menyerang Israel, namun tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Secara resmi mendukung perjuangan Palestina, namun tak ada bukti nyata sesuainya kata dan perbuatan.
Nampaknya kesabaran Suriah dan Rusia akan habis menghadapi permainan dua kaki dan politik luar negeri Turki yang tidak konsisten tersebut. Kemana akhir dari permainan dua kaki Erdogan? Waktu yang akan menjawab.
Diolah kembali oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)