Kolonialisme Gaya Baru Hancurkan Kedaulatan Rakyat

Bagikan artikel ini
Jika Ekonomi Pancasila rumusan the Founding Fathers (Pasal 33 UUD 1945) dilemahkan oleh asing (via amandemen) dengan cara ditambahkannya Ayat (4) pada Pasal 33 (silakan baca/googling: Sistem Kolonialisme Gaya Baru dan Kontra Skemanya). Inilah buah peperangan nirmiliter (asymmetric warfare) yang digelar oleh Barat di Indonesia. Perang tanpa asap mesiu. Itu sesi penghancuran aspek ekonomi nasional oleh asing silam (1999-2002) yang dampaknya terasa hingga kini. Negeri kaya namun tak sedikit rakyatnya miskin.
Sedangkan sesi penghancuran Kedaulatan Rakyat oleh asing dilakukan melalui dua (metode) pintu, antara lain:
Pertama: Diturunkan status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara sehingga MPR kini selevel BPK, MK, MA, DPD, Presiden, DPR dan lain-lain;
Kedua: Ditambahkan Pasal 6A Ayat (2) pada UUD NRI 1945 Produk Amandemen yang bunyinya:
Calon Presiden dan Wakil Presiden ditunjuk oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Tak pelak, kedua modus/metode di atas cukup efektif dalam menghancurkan Kedaulatan Rakyat. Halus, nyaris tak teraba. Selain MPR kini tidak lagi memiliki kewenangan menerbitkan Ketetapan/TAP MPR yang bersifat regeling (mengatur) melainkan hanya beschikking, juga selaku penjelmaan (kedaulatan) rakyat sekarang tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal: 1 menetapkan UUD; 2 menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN); 3 memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden; 4 mengambil keputusan (pemberhentian) terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Padahal, ke-4 wewenang tersebut sebelum UUD diamandemen — melekat pada MPR sebagai implementasi dari Kedaulatan Rakyat.
Adakah dampak lainnya?
Ada! Beberapa outcome akibat penghancuran Kedaulatan Rakyat, misalnya:
1. MPR sekarang tidak lagi mencerminkan penjelmaan rakyat akibat dihapusnya Utusan Golongan dan Utusan Daerah;
2. Terjadi perampasan Kedaulatan Rakyat oleh partai politik (parpol), misalnya, bahwa dari 280-an juta penduduk hanya muncul satu, dua atau tiga Calon Presiden yang ditunjuk oleh parpol dan/atau gabungan parpol. Maka, apakah pencabutan Presidential Threshold 20% menjadi 0% oleh MK merupakan bentuk pulihnya kembali Kedaulatan Rakyat? Wait and see.
3. UU MD3 sebagai aturan turunan Pasal 6A Ayat (2) UUD Produk Amandemen, berimplikasi kuat atas dominannya Ketua Parpol terutama dalam merekrut dan mem-PAW legeslator. Contoh kasus Harun Masiku yang molor hingga kini, atau ditegurnya para legeslator yang kritis terhadap kebijakan rezim, dan lainnya;
4. Menurut Dr. Ichsanuddin Noorsy (2004), ahli politik ekonomi, Pasal 6A Ayat (2) memunculkan apa yang disebut dengan istilah “politisasi di semua lini”. Politisasi itu sendiri memiliki dua kaki. Kaki kanan, berupa komersialisasi bagi koalisi. Kaki kiri berujud kriminalisasi untuk oposisi;
5. Sebagaimana dikatakan oleh Dr Mulyadi, senior dosen politik di UI, Jakarta, bahwa outcome dari dinamika politik yang berbasis UUD 2002 —istilah lain untuk UUD Produk Amandemen— membidani apa yang disebut “Oligarki Kembar Tiga” yang terdiri atas Badut Politik (Oligarki Politik), Bandit Politik (Oligarki Sosial) dan Bandar Politik (Oligarki Ekonomi).
Mengapa demikian?
Bahwa sumber kegaduhan dan sumber daya (ekonomi) hanya berkelindan di antara Oligarki Kembar Tiga di atas.
Demikian sekilas gambaran hancurnya Kedaulatan Rakyat yang diakibatkan oleh amandemen UUD 1945 pada medio 1999, 2000, 2001 dan 2002 silam. Tanpa letusan peluru, Kedaulatan Rakyat dinihilkan melalui sistem bernegara/politik. Entah sampai kapan.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com