Konflik AS – China Masuki Babak Baru

Bagikan artikel ini

Rachmat Adhani

Kekuasaan sebagai negara adidaya ekonomi duni rupanya membuat Amerika Serikat (AS) gusar bahwa kekuatannya akan diambil alih negara lain. Setelah resmi menarik diri dari perang Irak, AS kini memulai perang baru dengan skala yang lebih besar untuk menghadapi ancaman China.

Potensi meluasnya konflik AS – China dengan melibatkan lebih banyak negara di belahan dunia lain terutama dipicu oleh keputusan kongres AS yang secara membabi-buta meloloskan RUU tentang mata uang yang memungkinkan pemberian sanksi bea impor lebih tinggi terhadap China. Bahkan kabarnya Senat juga berencana akan mengusulkan legislasi serupa.

Ini ibarat aksi balas dendam untuk mengompensasi kerugian perusahaan-perusahaan AS akbiat efek pelemahan yuan. Apabila RUU ini nantinya disahkan menjadi Undang-Undang, maka ancaman terhadap produk-produk buatan China untuk memasuki pasar AS akan semakin besar.

RUU Currency Reform for Fair Trade Act yang merupakan amandemen dari UU Tarif 1930 disepakati Fraksi Demokrat dan Fraksi Republik melalui voting pada 29 September lalu, dengan hasil 348 suara menyatakan setuju, 79 menolak, dan 6 suara tidak memilih.

Dengan adanya amandemen tersebut, maka pemerintah AS akan memiliki untuk menentukan apakah kurs mata uang suatu negara nilainya terlalu lemah (undervalue) atau terlalu kuat (overvalue) terhadap dolar AS selama periode 18 bulan. Pemerintah AS juga dapat mengambil sejumlah langkah dalam kerangka antidumping untuk mengimbangi ketidaksesuaian kurs itu.

China Melawan Balik

Sudah hampir bisa dipastikan, bahwa RUU tersebut akan mendapat protes keras dari China. Negara tirai bambu itu tidak terima bila harus dijadikan kambing hitam atas resesi berkepanjangan yang dialami AS. Tuduhan AS yang semata-mata hanya didasarkan pada defisit dagang dengan China yang mencapai USD25,9 miliar pada pertengahan tahun 2010 ini menurut pemerintah sangatlah tidak adil. Menurut China, defisit dagang yang dialami AS adalah akibat perubahan struktur suplai global.

Jurubicara Kementerian Perdagangan China Yao Jian bahkan mengatakan bahwa RUU itu tidak akan menghilangkan defisit dagang antara AS dan China. Dia membantah anggapan bahwa China telah secara sengaja mencurangi aktivitas perdagangan internasional dengan mematok nilai yuan. “China belum pernah melemahkan yuan untuk meraih keuntungan kompetitif. Kami memang punya surplus dagang terhadap AS, tapi juga mengalami defisit besar dengan sejumlah negara Asia dan kawasan lain,” katanya.

Jadi, dengan menghambat arus perdagangan dengan China, dirinya justru menganggap AS telah melanggar ketentuan yang telah dibuat oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan meloloskan RUU tersebut. Presiden Barack Obama sejauh ini belum mengambil sikap atas lolosnya RUU itu di tangan Kongres. Jurubicara Departemen Keuangan AS Natalie Wyeth menuturkan hasil voting sangat mencerminkan kekhawatiran parlemen mengenai penguatan yuan dan friksi dagang kedua negara.

Itulah sebabnya ketika Bank sentral China People’s Bank of China berencana menambah fleksibilitas yuan yang telah menguat 1,9 persen sejak dilepas ke pasar pada Juni lalu, bahkan menguat 1,5 persen dalam perdagangan 11 hari sebelum voting Kongres AS tidak pernah membuat pemerintah AS puas. Menkeu AS Timothy F. Geithner berkali-kali mengatakan apresasiasi yuan itu tidak cukup.

Kesal karena tidak mendapat respons poisitif, Bank sentral China akhirnya memasang kurs referensi untuk transaksi harian dengan nilai yang lebih lemah. Analis mengatakan, koreksi kurs referensi yuan dengan nilai lebih lemah itu menunjukkan sikap pemerintah China terhadap hasil voting kongres bahwa mereka tidak akan tunduk pada tekanan asing. Melainkan akan menentukan kebijakan berdasarkan fundamental ekonominya sendiri.

Menuai Kecaman Keras

Sikap semena-mena AS pada akhirnya menuai kecaman keras, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah kalangan seperti Asosiasi Kamar Dagang AS, para peritel, importir pakaian maupun perusahaan keuangan tidak setuju terhadap rancangan RUU tersebut. Mereka bahkan menguatirkan bahwa legislasi tersebut justru akan memunculkan balas dendam terhadap bisnis Amerika di China atau terhadap eksportir produk pertanian dan manufaktur.

Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega bahkan ikut mengingatkan bahwa perang nilai tukar telah dimulai, di mana banyak negara berupaya memperlemah nilai tukar untuk mendorong ekspornya. Namun Menkeu AS Timothy F. Geithner justru mempertanyakan maksud perang kurs tersebut. Bagaimanapun, katanya, tidak akan ada perang mata uang bahkan dengan China sekalipun.

Dia menambahkan daya tahan ekonomi AS masih cukup tinggi, dengan kinerja ekspor dan investasi bisnis yang kuat. Bahkan katanya rencana Presiden Barack Obama untuk memperpanjang insentif pemotongan pajak bagi kelas menengah telah mendapatkan dukungan secara luas dari dalam negeri. (dni/ap/blg/bis)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com