Ada asumsi dalam geopolitik, bahwa konflik lokal kerap kali merupakan bagian dari konflik global meski hal tersebut tidak serta mata. Diksi “kerap kali” di sini, maksudnya tidak setiap kali atau kadang-kadang. Jadi, di suatu konflik lokal ada yang memang murni pertikaian yang dipicu hal/motif lokal, dendam pribadi dan seterusnya. Akan tetapi, tidak sedikit yang bukan akibat faktor lokal atau faktor tunggal berdiri sendiri, namun by design. Ada rekayasa.
Terdapat beberapa contoh kasus, misalnya, kerusuhan Rohingya di Myanmar, memang bermula karena hal sepele antara etnis Rohingya dengan warga lokal beragama Budha. Tapi karena by design, hal kecil tadi hanya pemicu (trigger) sehingga api konflik pun cepat menjalar, membesar dan meluas. Lantas, bagaimana cara singkat melihat/ciri khusus sebuah konflik itu by design atau murni konflik? Gampang-gampang susah. Tapi ciri khususnya, selain ia cepat meluas, kerap masalah (isu) awal atau pemicunya justru diabaikan, sementara peristiwa lanjutan malah diblow up secara masive dan dieksploitir sedemikian rupa.
Ada asumsi lagi dalam geopolitik global, “Conflict is protection the oil flow and blockade somebody else oil flow.” terjemahan bebasnya begini, “Konflik diciptakan untuk melindungi aliran minyak dan memblokade orang lain atas aliran dimaksud”. Ya. Pada setiap konflik terutama by design selalu ada hidden agenda. Ini sudah jamak di dunia geopolitik. Dan hal Itulah yang disebut skema atau tujuan yang sebenarnya.
Lazimnya skema, tidak lain adalah penguasaan (geo) ekonomi. Nah, narasi geoekonomi di abad ke 19-an kebawah berkisar soal penguasaan ruang hidup dan/atau perampokan atau monopoli rempah-rempah, sedang di era kini geoekonomi itu seputar minyak, emas, gas bumi dan varian tambang lainnya. Entah geoekonomi ke depan. Mungkin bisa jadi rare earth elements atau logam tanah jarang, atau alat tukar global dan lain-lain.
Demikian, terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)