Konflik Iran-Israel: Momentum Indonesia Bangkitkan Kembali Semangat KAA 1955

Bagikan artikel ini

Beberapa poin pandangan Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future

Dalam Diskusi Terbatas Bertajuk “Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang dan Strategi menghadapi Dinamika Global. Kamis 10 Juli 2025 jam 15 WIB sampai selesai. Di Parle, Senayan.

1. Dalam pandangan AS, Inggris dan Uni Eropa, Iran merupakan mata rantai kekuatan kekuatan glòbal yang sedang bangkit bersama sama Cina, Rusia, berpadu dengan aspirasi negara negara berkembang yang sekarang kita kenal dengan Global South. Maka terbentuknya Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001, BRICS pada 2005 dan Forum Kerja Sama Ekonomi Eropa-Asia pada 2015, merupakan buah terciptanya pergeseran geopolitik dari unipolar yang mana AS jadi kekuatan global tunggal, menjadi ragam kutub alias multipolar.

2. Inilah yang meresahkan Barat terutama AS dan Inggris yang merupakan dwitunggal penguasa tatanan global baik di era kolonialisme klasik berbasis merkantilisme maupun kolonialisme modern berbasis kapitalisme korporasi. Sebab dengan adanya SCO. Brics dan forum kerja sama ekonomi asia eropa, negara negara berkembang yang selama ini terlibat konflik abadi seperti Arab Saudi versus Iran, India versus Pakistan, tiba tiba bisa duduk satu meja dan jalin kerja sama multilateral mewujudkan aspirasi negara negara berkembang.

3. Di sinilah konteks kekuatiran AS, blok Barat dan tentunya termasuk Israel, sebagai ujung tombak pelestarian kolonisasi Amerika dan Inggris di Timur Tengah pasca Perang Dunia II, kepada Iran.

4. Selain Iran muncul sebagai mata rantai kekuatan global baru seturut semakin solidnya aliansi strategis Cina-Rusia, ketahanan budaya Iran yang mampu menjelma sebagai ketahanan nasional, di luar perhitungan AS dan kekuatan kekuatan mapan di Barat. Saya suka dengan frase yang digunakan pakar hubungan internasional Dina Sulaeman, Independensi Iran.

5. Bagi Barat utamanya AS, kebangkitan Cina sebagai adidaya baru yang setara dengan Amerika, merupakan disruption berupa gangguan yang bisa mengubah aturan main dalam tata dunia yang mereka kuasai sejak pasca perang dunia II hingga pasca perang dingin. Yang lebih mengkuatirkan lagi, kebangkitan Cina, aliansi strategis Cina-Rusia yang kemudian membuahkan pergeseran geopolitik ke arah multipolar yang memberi ruang alternatif bagi negara negara berkembang, sama sekali tidak mengikuti skema neoliberalisme dan kapitalisme korporasi ala AS dan Barat.

6. Inilah yang kemudian AS berikut Israel sebagai mata tombaknya di Timur Tengah, memandang Iran bukan lagi sebagai disruption atau gangguan, melainkan sebagai ancaman. Maka insiden serangan Israel ke pusat pusat program nuklir Iran di Fordo, Natanz dan Isfahan, tadinya dianggap akan menciptakan efek bola salju di dalam negeri Iran. Ternyata tidak menciptakan efek yang diharapkan. Kondisi nasional Iran malah makin solid. Sebaliknya serangan balik Iran ke Israel, menciptakan rasa ketidakpastian dan kekuatiran di kalangan warga sipil Israel yang sejatinya berasal dari diaspora Yahudi dari kawasan Eropa Barat, Eropa Timur dan Amerika. Yang mana mereka tidak bersenyawa dengan budaya timur tengah. Sehingga tak ada patriotisme untuk hidup dan mati membela wilayahnya seperti Iran.

7. Dalam konstelasi geopolitik internasional seperti ini, pemerintah Indonesia maupun berbagai komponen strategis bangsa, harus berpedoman pada Spirit Konferensi Asia Afrika Bandung 1955 dan KTT Gerakan Nonblok Beograd 1961. Bahwa visi yang mendasari politik luar negeri Bebas Aktif kita sejak 1948 hingga kini adalah Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 yaitu nasionalisme anti kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dan Alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 yang mewajibkan Indonesia sebagai aktor kunci dan pelopor untuk memprakarsai terciptanya perdamaian berdasarkan tatanan dunia yang berkeadilan sosial. Di sinilah pentingnya para pemimpin dan elit strategis bangsa, mengaktualisasikan dan merevitalisakan Politik Luar Negeri Bebas Aktif atas dasar visi nasional dari Alinea 1 dan Alinea 4 Pembukaan UUD 1945 secara imajinatif. Kalau para founding father kita mampu jadi aktor kunci dan pelopor KAA Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Biograd 1961, mengapa kita sekarang tidak bisa?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com