Rupanya, gagasan Indo-Pasifik rancangan AS, pernah digunakan sebagai konsepsi geopolitik oleh Karl Haushofer, sebagai ruang hidup alternatif bagi Jerman dalam menghadapi kepungan geopolitik AS, Inggris dan Eropa Barat di Samudra Atlantik. Mengapa Donald Trump mengeluarkannya kembali dari liang kubur dan reruntuhan kekalahan Jerman pada Perang Dunia II?
Sejak diluncurkan Presiden Donald Trump pada 2017, Strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat (US Indo-Pacific Strategy), belum banyak ditelaah asal-usul, struktur maupun evolusinya sebagai konsep geopolitik. Bagaimana sih awal mulanya konsep Indo-Pasifik itu digulirkan dari jalur akademik? Nampaknya belum banyak yang mengetahui bahwa konsep Indo-Pasifik berasal dari gagasan pakar geopolitik Jerman, Karl Haushofer. Dengan demikian, konsep Indo-Pasifik sejatinya merupakan warisan pemikiran geopolitik Karl Haushofer yang berkiprah pada era pemerintahan fasisme Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler.
Wawasan Geografi Politik dan Geopolitik Haushofer terbentuk karena secara intens mempelajari dan mengkaji perkembangan dan dinamika politik di India, Sri Lanka, Singapura, dan Hongkong, yang kala itu merupakan negara-negara jajahan Kerajaan Inggris di kawasan Asia.
Sebagai pakar geopolitik yang berpihak pada kepentingan nasional Jerman, Haushofer pada era sebelum meletusnya Perang Dunia II, tepatnya pada 1920 hingga 1930an, menggodok konsepsi geopolitik supaya Jerman bersama sekutunya di Pasifik, Jepang, mempunyai pedoman untuk menghadapi persekutuan AS-Inggris-Australia di Asia Pasifik.
Yaitu sebuah gagasan bagaimana menyatukan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Dengan kata lain, Haushofer melalui konsepsi geopolitiknya, memberi pedoman dan gambaran mengenai rute maritim yang bisa jadi fondasi membangun kekuatan menghadapi musuh besar Jerman di Pasifik yaitu AS, Inggris, Australia dan Belanda.
Menyatukan Samudra Hindia dan Pasifik untuk menggalang kekuatan-kekuatan antikolonialisme terutama di Asia sebagai rute maritim untuk keluar dari kebuntuan geopolitik Jerman. Begitulah gagasan pokok Haushofer.
Baca sebagai referensi pemantik:
The “Indo-Pacific”: Intellectual Origins and International Visions in Global Contexts
(Baca Juga Hendrajit dalam bukunya Neokolonialisme AS di Asia, Perspektif Indonesia. Jakarta: Indonesia Consulting Group, 2025)
Begitulah. Melalui beberapa karya tulisnya antara lain Building Blocks of Geopolitics, Geopolitics of Pan-Ideas dan German Cultural Politics in the Indo-Pacific Space, tak bisa dimungkiri lagi bahwa konsepsi Indo-Pasifik seperti yang sekarang dijadikan kerangka kebijakan luar negeri AS untuk menggalang persekutuan negara-negara dalam lintasan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, berasal kali pertama diketengahkan oleh Karl Haushofer.
Dalam keyakinan Haushofer, kebangkitan politik negara-negara di sepanjang jalur maritim “Indo-Pasifik” akan menumbangkan dominasi kolonial Inggris-Amerika dan Eropa Barat, dan dengan demikian membentuk kembali tatanan internasional. Setidaknya secara teoritis seperti itu. Namun gagasan dasar yang mendorong penyusunan konsepsi Indo-Pasifik tersebut, Haushofer bermaksud membebaskan Jerman dari kepungan Ingris dan negara-negara sekutunya melalui rute maritime alternatif tesebut.

Karl Haushofer bersama Atase Angkatan Laut Jepang, pada tahun 1939. Foto Hitam PutihSayangnya, konsepsi yang sangat inspiratif itu dibuat bukan murni untuk membantu kekuatan-kekuautan anti-kolonial dalam kerangka konsep Indo-Pasifik ala Haushofer tersebut. Namun untuk membantu Jerman dan sekutunya di Asia Pasifik, Jepang, yang pada prakteknya sama-sama kolonialis dan imperialisnya dengan negara-negara Eropa Barat dalam gambaran yang disampaikan Haushofer. Terlebih lagi, konsepsi Indo-Pasifik versi Haushofer tersebut tetap diilhami oleh gagasan induk Haushofer mengenai Teori Libensraum atau Teori Ruang Hidup. Yang pada prakteknya memberi kerangka geopolitik bagi Jerman untuk memperluas wilayah kekuasaannya di luar wilayah kedaulatan Jerman.
Berarti, konsepsi Indo-Pasifik versi Haushofer maupun versi Donald Trump sejatinya bersifat ekspansif dan agresif. Dengan menyatukan wilayah Pasifik dan wilayah Hindia sebagai suatu wilayah kehidupan untuk menandingi apa yang Haushofer sebut sebagai Indo-Atlantik yang terdiri dari AS, Inggris dan negara-negara Eropa Barat sebagai sekutu-sekutu strategisnya.
Jadi, substansi gagasan dan pemikiran Indo-Pasifik Haushofer dimaksudkan untuk membangun ruang global politik internasional sebagai pijakan bagi Jerman untuk merambah kawasan Asia dan Pasifik, yaitu melalui rute maritime yang menyatukan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Dengan begitu, konsepsi Ruang Indo-Pasifik dalam pemikiran dan pandangan geopolitik Haushofer, merupakan ruang hidup yang diimajinasikan Haushofer sebagai wadah kehidupan sosial maupun politik untuk menjinakkan Inggris dan AS di seberang Atlantik yang waktu Perang Dunia II meletus, merupakan musuh utama Jerman.
Maka dengan begitu, konsepsi Indo-Pasifik Haushofer maupun versi Donald Trump (2017), mempunyai sifat yang sama, yaitu melakukan Politisasi Indo-Pasifik. Bedanya, kalau Haushofer Indo-Pasifik dijadikan legitimasi untuk menjinakkan Inggris dan AS di seberang Atlantik. Kalau Indo-Pasifik versi Trump digunakan sebagai legitimasi untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Begitupun, untuk para peminat dan pengkaji geopolitik di Indonesia yang menaruh minat buat mengkaji isu Indo-Pasifik sebagai pokok bahasan, analisisnya terkait geografi politik Indonesia menurut saya sangat menarik. Terutama tentang Selat Sunda. Menurut pandangan Haushofer, Selat Sunda adalah laut, bukan sekadar landas kontinen, terutama untuk menjaga kesatuan “Indo-Pasifik”. Terletak di antara Jawa dan Sumatra, Selat Sunda menghubungkan Samudra Pasifik Barat dan Samudra Hindia.
Meskipun idenya bahwa Selat Sunda sebagai ruang Proyek Haushofer untuk mengubah Selat Sunda menjadi ruang penting “Indo-Pasifik” kembali menunjukkan politisasi oseanografinya, namun tetap saja buat kajian akademik sangat inspiratif. Bahwa Selat Sunda merupakan persimpangan maritim utama antara Samudra Hindia dan Pasifik, serta pintu masuk menuju ke Laut Cina Selatan.
Dengan demikian Haushofer tidak hanya mengenali Selat Sunda sebagai jalur samudra, tetapi juga mengeksplorasi potensi politiknya. Yang pastinya juga nilai strategisnya sebagai lokasi geografis. Dari sini tumbul satu pertanyaan penting, apakah para perancang konsepsi Strategi Indo-Pasifik AS juga mengenali nilai strategis dan potensi Selat Sunda ini? Pertanyaan selanjutnya, kalau Haushofer menggunakan konsep Indo-Pasifik untuk menandingi Atlantik, apa yang mau disasar sebagai strategi tandingan AS melalui konsepsi Indo-Pasifik selain untuk menghadapi Cina di Asia dan Pasifik?
Bisa jadi jawabannya justru terletak dalam cara pandang geopolitik Haushofer ketika menyusun konsep Indo-Pasifik untuk menandingi AS dan Inggris. Menurut Haushofer, lokasi Amerika di dekat Pasifik, sekaligus menggolongkan Amerika Serikat, bersama Inggris, sebagai kekuatan kolonial maritim yang sederajat di Barat. Lantas bagaimana Haushofer memandang AS terkait Indo-Pasifik versi pemikiranya? Pertama, ia membagi wilayah samudra Amerika menjadi beberapa wilayah: “Euro-Amerika” versus “Budaya Pasifik Amerika”, “Pan-Amerika” versus “Mediterania Amerika”, dan seterusnya. Kelemahan “Pasifik Amerika”, tegas Haushofer dalam Geopolitik Pan-Idea , terletak pada ketegangan di antara subruang-subruang ini.
Kalau saya boleh sederhanakan, Haushofer mau bilang bahwa sejatinya AS itu Neo-Eropa alih-alih Budaya Pasifik Amerika. Apakah berarti pula politisasi Indo-Pasifik berdasarkan Strategi Indo-Pasifik AS pada akhirnya bakal kandas? Dengan kata lain, tulis Haushofer, budaya penduduk asli Amerika adalah “Indo-Pasifik”, sedangkan kekuatan penjajah yang menjadi Amerika Serikat adalah “Atlantik”. Sekali lagi, inti argumen ini adalah untuk melemahkan “Euro-Amerika” yang eksogen demi “Indo-Pasifik” yang autentik. Dengan meruntuhkan gagasan Amerika sebagai kekuatan Pasifik secara spasial dan temporal, Haushofer mengecualikan Amerika Serikat dari keanggotaan “Indo-Pasifik”. Sebaliknya, Amerika termasuk dalam wilayah samudra Atlantik, tempat Jerman tetap dikecualikan dari dominasi maritim Anglo-Amerika, Iberia, dan Prancis.
Rujukan pustaka lainnya, yang menelaah lebih mendalam berkait dengan Indo-Pasifik, ditulis oleh John Bellamy Foster dan Bret Clark, Imperialism in the Indo-Pacific: An Introduction, Monthly Review Juli 2024. Menurut kedua penulis itu, konsepsi Indo-Pasifik menyelesik kesejarahannya, kali pertama dicetuskan oleh pakar geopolitik Jerman, Karl Haushofer pada 1924.
Dalam artikelnya yang bertajuk Geopolitic of the Pacific Ocean, ide dasarnya adalah untuk menyatukan dan merajut gabungan pelbagai kawasan menjadi kesatuan (Pan Region) dalam kerangka hegemoni Jerman dan Jepang di kawasan Asia-Pasifik. Begitulah strategi besar Indo-Pasifik versi Karl Haushofer dan pemerintahan Fasisme Jerman di bawah kepemimpinan Hitler. Tujuannya adalah untuk membendung kekuasaan kolonial Inggris dan AS di negara-negara jajahannya di Asia dan Pasifik Dalam Perang Dunia II. Khususnya di Samudra Hindia dan kawasan Pasifik Barat. Sehingga terbentuklah keimperiuman Indo-Pasifik di bawah penguasaan Jerman dan Jepang.
Dalam perhitungan geopolitik Karl Haushofer, melalui terbentuknya keimperiuman Indo-Pasifik di bawah penguasaan Jerman dan Jepang, akan mampu mematahkan dominasi negara-negara Eropa Barat di kawasan Atlantik. Pandangan Haushofer itu berdasarkan asumsinya bahwa ekspansi kolonial AS di kawasan Indo-Pasifik pada perkembangannya, akan rawan bagi posisi aliansi Jerman-Jepang (Eurasian Alliance).
Bisa dibayangkan ketika penyusunan konsepsi Indo-Pasifik oleh Karl Haushofer tersebut dirilis pada 1924, bukan saja mengundang perhatian para perancang kebijakan nasional strategik AS dan Inggris, pun juga menimbulkan kekhawatiran AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat oleh sebab potensinya untuk menyatukan aliansi Eropa Tengah dan Timur Jauh. Padahal, justru di negara-di negara di kawasan Timur Jauh itulah (Asia, Afrika dan Timur Tengah), hampir semuanya merupakan jajahan dari Inggris, Prancis, Belgia, Belanda, dan AS).
Menariknya, gagasan geopoilitik Haushoferi ihwal Indo-Pasifik itu seusai Perang Dunia II sempat dilarang untuk dijadikan subyek kajian akademik di beberapa universitas terkemuka di Barat, termasuk di AS. Seperti kita ketahui bersama, seturut berakhirnya Perang Dunia II, gerakan kebangkitan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional di Asia dan Afrika, memperoleh momentum untuk memerdekakan diri dari negara-negara penjajah yang notabene berasal dari Eropa Barat. Sehingga geopolitik sebagai sebagai subyek studi dan kajian strategis, dianggap dapat mengilhami negara-negara terjajah untuk membanguan aliansi strategis di Asia dan Afrika. Alhasil, konsepsi geopolitik apalagi konsepsi Indo-Pasifik versi pandangan Karl Haushofer yang pernah menjadi dasar menyusun kontra strategi menghadapi AS, Inggris dan Prancis di Asia Pasifik, dihilangkan sebagai wacana ideologi di negara-negara Barat. Terutama sepanjang berlangsungnya Perang Dingin 1950-1991.
Namun belakangan, beberapa perancang kebijakan luar negeri dan strategis AS entah kenapa tertarik untuk menghidupkan kembali gagasan Haushofer mengenai Indo-Pasifik dari liang kubur dan reruntuhan kekalahan dan kehancuran Jerman Dalam Perang Dunia II. Pada ada awal 1990an, seiring runtuhnya Tembok Berlin dan ambruknya Uni Soviet, AS dan Eropa Barat merasa sebagai kekuatan superior tanpa saingan sebagai kekuatan hegemoni global. Sehingga watak imperliame dan neokolonialisme Barat hidup kembali untuk menguasai negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah seperti pernah mereka lakukan sebelum abad ke-20. Utamanya AS yang merasa sebagai kekuatan hegemoni global satu-satunya tanpa pesaing di arena global, mulai merasa perlu menggali kembali subyek studi geopolitik klasik, termasuk yang dirintis oleh Karl Haushofer. Hanya saja dari perspektif kepentingan nasional AS, konsepsi geopolitik Karl Haushofer dikaji untuk tujuan Perang Dingin Gaya Baru antara AS versus Cina.
Para pakar yang berkiprah mengkaji dan mengolah pendangan geopolitik imperium AS antara lain: Nicholas Spykman, Dwight Eisenhower, Dean Acheson, George Kennan, Paul Nitze, Henry Kissinger, Eugene Rostow, Zbigniew Brzezinski, dan Alexander Haig. Selain itu, didukung melalui sebuah dapur pemikiran untuk merumuskan kebijakan luar negeri AS, seperti Council of Foreign Relations, yang kerap disebut sebagai The Imperial Brain Trust.
Dengan begitu, meskipun subyek studi geopolitik telah dihilangkan sebagai wacana diskusi publik dan kajian akademik selama Empat Dekade berlangsungnya Perang Dingin, namun di lingkar inti para perancang kebijakan strategik nasional di Washington, dia-diam tetap menjadi kajian strategis untuk membangun desain besar atau Grand Design Imperium AS, sebagai negara adikuasa baru pengganti Inggris setelah usai Perang Dunia II.
Menghadapi CIna yang dipandang sebagai ancaman nyata bagi keberadaan AS di Asia Pasifik, konsepsi original Karl Haushofer ihwal Indo-Pasifik, sekarang tidak lagi dipandang sebagai ancaman bagi AS dan Inggris. Sebagai kekuatan imperialisme di Samudra Hindia dan Pasifik Barat, konsepsi Haushofer justru saat ini digunakan sebagai strategi besar untuk mengepung Cina di Asia Pasifik. Inilah yang kemudian pada 2017 dirilis oleh Presiden Donald Trump sebagai The US Indo-Pacific Strategy. Dengan dalih untuk menghadapi ancaman Cina. Yang kemudian diikuti dengan terbentuknya Persekutuan Empat Negara (QUAD) AS, Australia, Jepang dan India.
Begitulah. Konsepsi Indo-Pasifik yang dalam gagasan original Karl Haushofer maupun Strategi Indo-Pasifik AS versi Donald Trump, sejatinya berwatak ekspansif dan agresif karena dirancang untuk memperluas ekspansi wilayah di luar lingkup negaranya. Dengan demikian, baik fasisme Jerman maupun Jepang , seperti juga halnya dengan watak ekspansionis AS seperti tergambar dalam Strategi Indo-Pasifik AS sama -sama berawatak ekspansif dan imperialistik, sehingga sama-sama harus kita waspadai dan cermati secara intens dan penuh perhatian dalam beberapa tahun mendatang.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)