Kriminalisasi Versus Babat Alas

Bagikan artikel ini
Sisi Metafisika Geopolitik
(Dunia) Samar Dari Yang Tersamar alias Ghoibul Ghuyyub memberi clue, bahwa tahap menuju Era Indonesia Emas atau Indonesia Mercusuar Dunia 2045 bakal melewati beberapa tahapan, antara lain:
Pertama, tahap Babat Alas (2025 – 2029);
Kedua, tahap Kronologi (2029 – 2034);
Ketiga, tahap Al Amin (2035) atau Indonesia Dipercaya oleh Dunia; dan
Keempat, Indonesia Emas 2045.
Sesuai judul, kita fokus membahas era Babat Alas, sedang tahap lainnya mungkin hanya sekilas untuk menyambungkan bahasan.
Sekali lagi, dunia langitan menyebut sebagai tahap Babat Alas. Entah kenapa. Wayah e resik-resik, kata suatu entitas spiritual.
“Babat Alas” adalah istilah bahasa Jawa yang berarti membuka hutan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “babat” berarti menumpas, membersihkan, atau membongkar; dan “alas” berarti hutan. Secara harfiah, “babat alas” berarti menumpas atau membersihkan hutan.
Selain arti harfiah, “babat alas” juga bisa memiliki arti kiasan, yaitu usaha untuk membuka jalan atau memulai suatu pekerjaan baru yang sulit alias rumit. Misalnya, dalam konteks pembangunan, “babat alas” bisa berarti membuka lahan untuk pembangunan infrastruktur atau perkebunan, PERADABAN dan lain-lain
Terkait peradaban, misalnya, maka ciri dan konsekuensi dari tahap dimaksud (babat alas) ialah becik ketitik, olo ketoro. Yang kotor-kotor bermunculan, yang baik-baik ditemukan. Pasti gaduh. Percaya atau tidak, itulah yang berlangsung. Meski pada tahap tertentu, tak juga bersih-bersih amat. Berkurangnya peran elit toxic dibanding masa sebelumnya, hal itu juga gambaran babat alas. Itu sekilas gambaran babat alas, judul dan clue tulisan kecil ini.
Dan catatan ini tak lahir dari kepentingan sesaat, atau pragmatisme politik, namun lebih kepada kegelisahan penulis atas fenomena dalam penegakkan hukum (gakkum) yang terindikasi menjauh dari rasa keadilan di satu sisi, sedang sisi lainnya — sudah (mulai) timbul distrust di publik dalam proses gakkum. Ini berbahaya bila dibiarkan berlarut, karena bisa merambat ke social disorder, lalu mengendap, dan jika tanpa antisipasi secara konseptual bisa meletus menjadi pembangkangan sosial alias social disobedience. Ujudnya bisa revolusi, atau minimal mirip peristiwa Mei 1998.
Tulisan ini sengaja tidak menunjuk suatu objek alias isu tertentu, ataupun merilis kasus kriminalisasi yang pernah, sedang, atau akan terjadi, kenapa? Semata-mata untuk menghindari stigma keberpihakan. Bahwa netralitas ialah mata uang yang berlaku dimana saja. Orang Jawa menyebutnya gico wolak-walik.
Retorika lanjut, “Apa itu kriminalisasi?”
Menurut KBBI, kriminalisasi ialah proses dimana suatu perbuatan yang awalnya tak dianggap sebagai tindak pidana, kemudian dianggap dan digolongkan sebagai tindak pidana oleh masyarakat atau pihak berwenang.
Kriminalisasi, dalam konteks KBBI, merujuk pada proses yang melibatkan perubahan persepsi terhadap suatu tindakan. Awalnya, tindakan tersebut mungkin dianggap sah atau tidak melanggar hukum, namun kemudian diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Proses ini bisa terjadi melalui berbagai cara, seperti perubahan undang-undang (UU), interpretasi hukum yang berbeda, atau bahkan melalui tekanan sosial, opini publik, tekanan politik dan lain-lain, misalnya, suatu perbuatan yang awalnya tidak dianggap sebagai tindak pidana, atau suatu perilaku yang dianggap sebagai tindakan sosial, kemudian dianggap tindak pidana setelah adanya perubahan UU atau interpretasi hukum yang baru.
Suatu kasus hukum yang melibatkan seseorang yang kemudian dianggap sebagai tindak pidana, meskipun sebelumnya tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindak pidana.
Kriminalisasi memiliki berbagai implikasi, seperti pengaruh terhadap keamanan dan ketertiban hukum, pengaruh terhadap keadilan dan hak asasi manusia (HAM), pengaruh terhadap kebebasan dan demokrasi, dan lain-lain.
Secara sistem politik, menurut Ichsanuddin Noorsy (2004), sumber kriminalisasi berasal pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 —ini UUD hasil amandemen (1999-2002)— yang bunyinya sebagai berikut:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Jika dibaca sekilas, bunyi pasal di atas terlihat wajar-wajar saja. Tidak ada yang aneh. Namun, bila ditelaah lebih dalam maka konsekuensi dan implikasi Pasal 6A Ayat (2) tersebut ialah: “POLITISASI DI SEMUA LINI”. Tak bisa tidak. Sebab, dalam Pasal 6A Ayat (2) tersirat, bahwa partai politik (parpol) merupakan satu-satunya entitas pemegang saham kekuasaan di republik ini.
Nah, melalui pasal di atas dapat dibaca, bahwa sesungguhnya kedaulatan rakyat telah dirampas oleh parpol. Ini terlihat selain pada pasal 6A Ayat (2) tadi, juga akibat diturunkan derajat MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi. Apa boleh buat. Bahwa kekuasaan, tugas, wewenang lembaga-lembaga negara yang seyogianya mengalir dari rakyat (MPR) selaku penjelmaan rakyat dan pemilik kedaulatan tertinggi, kini mengalir dari parpol. “Kelompok kepentingan”. Itulah kronologi politisasi di era sekarang. Sebuah keniscayaan dalam bernegara akibat bercokolnya Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, UUD hasil amandemen pada 1999-2002.
Andai politisasi ditempatkan di pucuk segitiga sama kaki, maka kedua kakinya terdiri atas: 1. Komersialisasi; 2. Kriminalisasi.
Sering kali, praktik komersialisasi dikenakan pada koalisi alias kawan sendiri/sekutu, misalnya, mereka diberi jabatan, atau dapat projek strategis, privilege, dan lainnya; sedang kriminalisasi ditujukan terhadap kelompok oposisi atau lawan politik. Dalam dinamika politik praktis, pola inilah yang kerap kali terjadi semenjak Pasal 6A Ayat (2) bercokol di UUD NRI 1945 alias “UUD 2002”, demikian para pegiat konstitusi menyebut UUD NRI 1945 hasil amandemen.
Kendati kriminalisasi sebagai fenomena gakkum kerap kali terjadi, namun tak boleh dipungkiri pula bahwa proses bersih-bersih (tahap babat alas) pun berproses masif meski pada kasus tertentu kurang optimal. Entah kenapa. Mungkin inilah alasan rezim kenapa TNI mem-back up jajaran Kejaksaan. Agak tak lazim. Akan tetapi, lumayanlah, minimal kelompok toxic (beracun) yang era lalu sangat dominan berperan, kini mulai berkurang bahkan ada yang lenyap.
Pada kepemimpinan Prabowo Subianto (2025-2029) ini, kita merasakan kuatnya atmosfer bahwa sedang terjadi benturan antara Kriminalisasi Versus Babat Alas. Entah kemana kelak ujungnya.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com