Menanggapi buku Denny JA, “Spirituality of Happiness: Spiritualitas Baru Abad 21 — Narasi Ilmu Pengetahuan.” Penerbit : Cerah Budaya Indonesia, Jakarta (Juli 2020).
Dalam berbagai kesempatan ketika mengisi materi ihwal wawasan dan teknik penulisan bagi para penulis muda, saya selalu menggarisbawahi pentingnya setiap penulis punya kegelisahan pokok. Karena melalui kegelisahan pokok itu, jiwa dan kepribadian sang penulis hadir dalam tulisannya. Baik esai dalam sebuah artikel lepas, atau bahkan melalui sebuah buku.
Dalam berbincang ihwal agama dan spiritualitas, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir ini saya digelisahkan oleh dua tema sentral yang sedang melanda negeri kita: Despiritualisasi agama, dan demoralisasi spiritual. Sehingga berpotensi menuju krisis kemanusiaan dan krisis spiritual.
Senada dengan kegelisahan pokok saya itu, Eric Weiner, seorang wartawan, penulis dan mantan koresponden National Public Radio (NPR), menulis sebuah buku yang amat mengugah dan menginspirasi, bertajuk: The Geography of Faith. Dari judul bukunya saja, sudah tergambar kegelisahan pokok si penulis.
Betapa di beberapa negara yang dia kaji dalam bukunya ini, termasuk negeri tempat dia mukim, Amerika Serikat, agama dan spiritualitas tidak lagi nyambung satu sama lain.
Melalui The Geography of Faith, Eric Weiner melihat adanya tren berbagai lapisan masyarakat di beberapa negara untuk mendalami spiritualitas. Namun, pada saat yang sama ada rasa enggan untuk mengaitkan dirinya dengan ilmu dan ajaran induknya, yaitu agama.
“Para pencari semacam ini menerima berbagai tradisi arif di dunia sekaligus menjauhi apapun yang menyiratkan doktrin atau sistem keyakinan (baca: agama). Spiritual tapi tidak religius. Mirip Yoga tanpa Hinduisme, Meditasi tanpa Budhisme, dan Yudaisme (Yahudi) tanpa Tuhan,” begitu tulis Weiner pada bab pengantar bukunya.
Cerita Weiner tadi memang gambaran yang cukup jeli dalam menyingkap batin bawah sadar orang sekuler di Barat maupun Timur, yang haus untuk menyerap kekuatan-kekuatan immaterial dan tidak kasatmata, namun sesungguhnya merupakan kenyataan sejati.
Kelembagaan agama atau agama dalam tingkatan syariat bisa gagal memenuhi hasrat sejati umatnya, untuk merengkuh ke kedalaman batin dari agamanya. Misalnya, umat Islam merengkuh tasawuf sebagai dimensi kedalaman batin dari Islam. Maka filsuf besar Muslim, Dr Seyyed Hossein Nasr, punya analogi yang pas: “Islam tanpa tasawuf, ibarat menanam pohon di udara.”
Nasr, kiranya tidak berlebihan. Sebab salah seorang sufi besar Islam, Syekh al Akbar Ibnu Arabi, sangat menekankan untuk menyatunafaskan antara Ilmu, Ajaran, dan Ibadah. Gambaran Weiner dalam bukunya merupakan akibat langsung dari keterputusan antara Ilmu, Ajaran, dan Ibadah.
*
Maka itu, saya punya harapan besar ketika Denny Januar Ali merilis buku dengan judul yang sebenarnya tak kalah menggugah dan provokatif: Spirituality of Happiness, Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan.
Setidaknya saya berharap, Denny segelombang dalam kegelisahan pokoknya dengan Eric Weiner maupun saya, meski menelisiknya dari angle yang berbeda. Betapa ketika agama dan spiritualitas semakin tidak nyambung satu-sama lain, maka pada perkembangannya cepat atau lambat masyarakat dan bangsa akan mengalami krisis cara pandang maupun krisis kemanusiaan.
Kekhawatiran semacam ini bukan mengada-ada. Yang sekarang jadi pusat perhatian dan sorotan berbagai kalangan akademisi dan intelektual kita adalah krisis ekonomi semata. Padahal lebih dalam dari itu, krisis ekonomi di tengah resesi yang melanda dunia, sejatinya itu hanya symptom. Gejala permukaan dari lapis kulit luar.
Pada kekedalamannya ada krisis yang lebih mengkhawatirkan. Krisis kemanusiaan dan krisis spiritual. Sayangnya, jangankan para ilmuwan dan intelektual kita, yang asyik sendiri dengan dunianya, kalangan agamawan dan alim ulama pun terkesan belum menganggap kedua hal tersebut sedang dalam keadaan krisis.
Lantas, apakah melalui bukunya dengan judul yang amat thought provoking itu Denny menjawab isu krusial, yang sedang melanda masyarakat sekuler di pelbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia itu? Sayangnya, lewat bukunya Denny menuangkan tesis pokoknya sama provokatifnya dengan judul bukunya. Tidak menyentuh, apalagi membahas akar soal.
Menurut Denny, ada tiga gelombang spiritualitas baru Abad 21: Pertama, melalui mitologi. Kedua, melalui wahyu. Ketiga, melalui narasi ilmu pengetahuan, yang Denny istilahkan lewat riset empirik.
Sebagai tesis buku, Denny sah-sah saja menjadikannya sebagai isu sentral dan pokok bahasan. Namun, tema sentral buku Denny tidak ditujukan untuk menyapa kegelisahan yang melanda batin bawah sadar masyarakat global saat ini. Yaitu: Apa pegangan hidup ketika emosi jiwa (rasa batin yang sudah terolah dengan baik) dan nalar tidak selaras satu sama lain. Atau lebih buruk lagi, bertabrakan satu-sama lain.
Dengan kata lain, di alam bawah sadar masyarakat global saat ini, tak terkecuali di negeri kita, ada dorongan kuat untuk menemukan makna hidup. Sehingga kenal diri, tahu diri, dan tahu harga diri.
Gambaran kegelisahan bawah sadar di Barat dipotret dengan sangat tepat oleh Eric Weiner sebagai simpulan umum, setelah meliput beberapa tarekat keagamaan, termasuk Islam dalam bukunya:
“Paling tidak agama membantu kita mengatasi atau menjawab tiga pertanyaan besar dalam hidup kita. Dari mana asal usul kita? Apa yang terjadi ketika kita meninggal? Bagaimana cara kita menjalani kehidupan?”
*
Dengan mengutip salah satu rujukannya, Alfred North Whitehead, lebih lanjut Eric Weiner, seorang keturunan Yahudi yang cenderung sekuler atau agnostik, pun akhirnya mengakui bahwa urgensi untuk memilih agama yang tepat menjadi semakin mendesak.
Melalui kegelisahan pokok Weiner, yang kemudian menuntunnya untuk menginvestigasi beberapa komunitas spiritual dari berbagai agama, sampailah Weiner pada salah satunya, yaitu tasawuf Islam.
Ini membawanya untuk bersentuhan dengan salah satu khazanah tasawuf Islam melalui komunitas spiritual Islam, yang merujuk pada Ilmu dan Ajaran salah satu sufi besar Islam, Maulana Jalaluddin Rumi.
Sengaja saya paralelkan liputan Weiner tentang sufisme Islam dan Rumi, karena Denny kerap menyitir ungkapan atau ucapan Rumi untuk memperkuat tesis bukunya. Hanya saja, kalau kita ibaratkan Weiner maupun Denny sama-sama sebagai turis atau pelancong dalam berwisata spiritual, Weiner agaknya sedikit lebih beruntung. Ini karena ia dituntun oleh para pemandu wisata yang tepat, untuk mengakses “Pengetahuan Tingkat Tinggi” atau the Divine Knowledge yang ada dalam khazanah kedalaman pikiran Rumi.
Sehingga dalam menyerap beberapa ungkapan bijak Rumi, Weiner lebih tepat sasaran daripada Denny dalam menangkap saripati ilmu dan ajaran Rumi. Termasuk dalam menjawab secara tidak langsung isu sentral dari buku ini.
“Hati bukanlah jantung yang memompa, tetapi hati juga bukan organ sentimental yang kerap dinyanyikan orang-orang Barat. Hati bukanlah emosi mentah. Kita mungkin merasakan berbagai emosi, namun sama sekali tidak terhubung dengan hati kita. Bahasa Arab untuk hati adalah qalb, yang akarnya bermakna selalu berganti. Bagi Sufi, hati adalah alat penerimaan, dan pengetahuan.”
Luar biasa bukan?
Hati adalah alat penerimaan dan pengetahuan. Apa artinya ini? Ketika agama lahir melalui wasilah ilmu tingkat tingginya para nabi, para wali, dan yang kemudian diteruskan oleh para syekh guru dari masa ke masa, ucapan Rumi tadi kiranya cukup memadai untuk memperkuat pandangan bahwa wahyu sejatinya adalah sumber pengetahuan.
Ketajaman matahati akan menjadikan hati seperti ungkapan Rumi, menjadi alat penerimaan dan pengetahuan. Karena, seperti kata Rumi dalam bukunya yang masyhur Fihi Ma Fihi, wahyu hakikatnya adalah ketika manusia melihat sesuatu dengan Cahaya Allah. Meski wahyu ditutup seiring tibanya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, wahyu dalam hakikat pengertian tadi sejatinya tetap ada hingga kini.
Masuk akal jika lewat wisata spiritual yang dibimbing para pemandu wisata spiritual yang tepat, seorang sekuler dan cenderung agnostik macam Weiner sekalipun akhirnya mengakui kebenaran kearifan spiritualitas Rumi yang bersumber pada ilmu dan ajaran induknya: Islam dan Al Quran.
Bahkan Weiner pun sampai pada sebuah pencerahan spiritual ketika menyelami kearifan spiritual Rumi di Turki. Dalam istilah Turki yang ditemukan Weiner, ada istilah gonul, yang artinya “mengenal hati.” “Gerbang menuju gonul hanya bisa dibuka dari dalam,” kata Mehtin, salah seorang pemandu wisata spiritual Weiner, dalam mendalami ilmu dan ajaran sufisme Rumi di Turki.
*
Segi lain yang kiranya perlu disorot dari tesis utama buku Denny adalah pesan tersirat, yang sepertinya hendak dia sampaikan dalam tiga gelombang spiritualitas tadi. Mitologi – wahyu – ilmu pengetahuan, adalah soal pentahapan yang –dari satu tahap ke tahap berikutnya– merupakan gerak linier di mana tahapan berikutnya jauh lebih maju daripada tahap sebelumnya.
Benarkah mitologi hanya sesuatu yang khayali dan bersifat masa lalu, sehingga tidak ada kaitannya dengan narasi wahyu maupun ilmu pengetahuan? Terkesan Denny mau mengatakan, ilmu pengetahuan merupakan dua tingkatan yang lebih tinggi daripada tahapan mitologi? Benarkah mitologi, yang oleh Denny dipandang sebagai tahapan pertama gelombang spiritualitas, sudah tak relevan lagi di abad informasi dan era digital saat ini?
Pengalaman Karen Armstrong, mantan biarawati yang kemudian memperoleh pencerahan spiritual dan sohor sebagai pakar tiga Agama Langit (Yahudi, Kristen dan Islam), kiranya menarik untuk menggambarkan kekuatan mitologi. Bukan saja di era lampau, namun juga kini dan kelak.
Pencerahan yang diperoleh Armstrong dari salah seorang mentor spiritualnya, Hyam Maccoby, seperti penuturannya dalam memoarnya The Spiral Staircase, My Climb Out of Darkness, membawa Armstrong pada simpulan menarik ihwal mitologi:
”Mitos-mitos dan hukum-hukum agama adalah benar, bukan karena kesesuaiannya dengan sebagian realitas metafisik, ilmiah atau historis, melainkan karena sifatnya yang menghidupkan. Agama mengajarkan bagaimana laku tabiat manusia, namun Anda tidak akan menemukan kebenaran kecuali jika Anda menerapkan mitos dan doktrin (agama) ini dalam kehidupan dan mencoba menjalankannya.”
Pandangan Karen Armstrong ini semakin menarik, ketika dirinya yang notabene adalah Katolik, kemudian memandang kekuatan mitologi. Tulis Armstrong:
“Mitos tentang pahlawan, misalnya, bukan dimaksudkan untuk memberi kita informasi historis tentang Prometheus, Achilles, atau tentang Yesus atau Buddha. Tujuannya adalah untuk mendorong kita bertindak dalam cara tertentu, agar kita pun dapat membangkitkan potensi heroik kita sendiri.”
Kisah Armstrong ini, lagi-lagi mengingatkan saya pada kisah yang disampaikan Rumi dalam Fihi Ma Fihi. Alkisah, seorang santri bertandang pada seorang syekh guru ke rumahnya. Rupanya si santri ini dapat cerita dari kawannya yang pernah sowan pada syekh guru, bahwa beliau kerap berbagi kisah yang mengandung hikmah. Sang santri kita itu tertarik.
Namun, setelah sekian lama hingga pertemuan itu usai, syekh guru ini tidak berbagi kisah hikmah sama sekali. Singkat cerita, sang santri belakangan sadar bahwa kisah hikmah itu tidak keluar dari penuturan sang guru, karena sang guru lewat mata batinnya melihat bahwa sang santri ini sama sekali tidak membutuhkannya.
Sehingga tidak berhasil memaksa sang guru mengeluarkan kisah hikmahnya.
Menarik, bukan? Bahwa kisah hikmah sebagaimana penuturan Rumi dalam Fihi Ma Fihi, dalam istilah lain tak ubahnya dengan mitologi. Pada tataran ini, saya mau kembali pada cerita Armstrong dalam memoarnya.
*
Kisah sekilas yang saya sampaikan terkait pengalaman religius Armstrong, bukan berarti kita harus setuju dengan pandangan Hyam Maccoby, yang kebetulan penganut Yudaisme Yahudi dan mentor Karen Armstrong. Itu perkara lain.
Poinnya adalah, ketika ilmu dan ajaran agama berada dalam pandangan agamawan yang visioner, maka berbagai kisah yang terkandung dalam dalam kitab suci, yang secara bias sering dianggap mitologis sekalipun, bukannya tidak menciptakan daya spiritual pada pribadi perorangan. Bahkan bisa menjadi kekuatan menggugah kesadaran baru pada si penyerap kisah. Bisa menjadi kekuatan yang menginspirasi temuan-temuan baru yang tak terduga.
Coba cermati. Hingga kini para cendekiawan, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang mengapresiasi seni-budaya di Eropa dan Amerika, masih gandrung untuk berulangkali menonton teater karya Goethe, Faust, atau Homer karya James Joyce. Padahal sarat dengan legenda dan mitos.
Berarti, dua karya tersebut lahir sebagai ekspresi psike kolektif atau alam bawah sadar kolektif orang Eropa sejak abad pertengahan, yang tampaknya masih menyetrum batin bawah sadar orang Eropa saat ini. Berarti, kalaupun hal itu mitologis sekalipun, sesungguhnya itu merupakan ekspresi tak terkatakan dari realitas sejati Eropa abad pertengahan, yang masih memancar pada orang-orang Eropa dewasa ini.
Goethe dan Joyce sejatinya hanya perangkat yang digunakan untuk membantu kelahiran karyanya. Logikanya, kalau seniman macam Goethe atau Joyce mampu secara intuitif menyingkap yang tersembunyi dan tertutup, dari batin bawah sadar kolektif Eropa abad pertengahan, apalagi dengan kualitas yang lebih canggih seperti para nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.
Sangat lebih mampu untuk menangkap semangat zamannya. Melalui sarana seperti apa? Seperti, kata Rumi, ketika hati menjadi alat penerimaan dan pengetahuan.
Sejalan dengan pengalaman dan pencerahan spiritual yang dialami Armstrong, menjadi relevanlah ungkapan Jalaluddin Rumi dalam Fihi Ma Fihi berikut ini:
“Yakin adalah guru yang sempurna. Sedangkan sangkaan-sangkaan yang baik adalah murid-muridnya dengan tingkatan yang beragam: sangkaan yang kuat, sangkaan yang lebih kuat, dan seterusnya. Ketika sangkaan bertambah kuat, ia semakin dekat dengan yakin dan menjauh dari pengingkaran.”
Selanjutnya, berkata Rumi: “Setiap sangkaan yang benar meminum susu dari dada yakin sehingga prasangka itu terus tumbuh. Menyusu dan tumbuh menunjukkan bahwa sangkaan bisa tumbuh dengan ilmu dan amal, hingga akhirnya semua sangkaan akan menjadi yakin dan lebur semua dalam yakin.”
Gimana, mantap toh. Melalui dua ungkapan bijak dari ulama kasyaf sekaliber Rumi, yang sayangnya justru tidak disitir oleh Denny, sebenarnya tiga tahapan gelombang spiritualitas yang jadi tesis Denny kiranya perlu dikaji ulang. Benarkah tahapan narasi mitologi tidak bertaut dengan narasi wahyu dan ilmu pengetahuan?
Marilah saya sitir satu lagi substansi pandangan Rumi, yang secara eksplisit menyatunafaskan antara mitologi, wahyu, dan ilmu pengetahuan:
“Pengetahuan yang dilekati ruh laksana tubuh memerlukan jiwa. Pengetahuan pun membutuhkan ruh. Seluruh pengetahuan berasal dari alam sana, lalu dari alam tanpa huruf dan tanpa suara itu
pengetahuan menyeberang ke alam huruf dan suara.
Di dalam seluruh jiwa terdapat keyakinan bahwa ada sesuatu yang melampaui nalar, melampaui dunia huruf dan bunyi. Di sana ada alam yang teramat agung.”
Melalui cerita ihwal pengalaman dan pencerahan spiritual Karen Armstrong maupun Rumi, kiranya jelas bahwa mitologi-wahyu-ilmu pengetahuan, bersenyawa satu sama lain. Dulu, kini, dan kelak.
Seperti simpulan yang mencerahkan dari Rumi dalam Fihi Ma Fihi:
”Meskipun sesuatu itu belum berwujud, bukan berarti hal itu khayalan. Seorang arsitek ketika merumuskan rumah dalam pikirannya seperti ukurannya sekian, lantainya terbuat dari marmer dan sebagainya. Pikiran si arsitek itu bukan khayalan, meskipun gagasan arsitek itu belum berwujud.
Tapi meski pikiran belum berwujud, selama itu berdasarkan penglihatan terhadap realitas atau kenyataan sejati, maka yang lahir adalah gagasan sejati.” Cukup sekian soal Rumi.
*
Maka itu, jangan anggap enteng inspirasi dan imajinasi yang bersumber dari mitologi maupun wahyu. Karena dengan menguasai kedua hal itu, sejatinya merupakan sumber mata air lahirnya temuan-temuan baru di ranah ilmu dan pengetahuan.
Seperti ungkapan orang bijak: Pikiran yang tercerahkan adalah inspirasi, perasaan yang tercerahkan adalah imajinasi, dan kehendak yang tercerahkan adalah intuisi.
Pertanyaannya sekarang, mengapa inspirasi, imajinasi, dan intuisi seakan mengalami kelumpuhan di ranah sosial budaya, sosial-ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi?
Lagi-lagi, Denny seakan mengelak untuk membahas isu strategis yang satu ini. Yaitu, krisis spiritual dan kemanusiaan sebagai akibat cara pandang para ilmuwan dan intelektual yang berkiblat pada materialisme dan pendekatan positivistik/empirik, yang justru amat digarisbawahi sang penulis buku sebagai gelombang ketiga
spiritualitas.
Untuk masuk secara lebih mendasar dan mendalam namun singkat padat, ada baiknya kita merujuk pada kegelisahan pokok Dr Seyyed Hossein Nasr, salah seorang pemikir brilian Islam abad ini. Menurut Nasr, krisis ilmu pengetahuan saat ini berakar pada sains dan teknologi yang telah keluar dari peran, fungsi, dan aplikasi yang seharusnya. Sehingga membawa dampak buruk yang luar biasa.
Semua itu akibat dari putusnya sains dan teknologi dengan pengetahuan tingkat tinggi sebagai induknya, atau dalam istilah Nasr, the Divine Knowledge atau Pengetahuan Suci.
Lebih lanjut, tutur Nasr, sebagai akibat cara pandang keilmuan yang terputus dengan pengetahuan tingkat tinggi sebagai induknya, alam dipandang bukan lagi sebagai sesuatu yang suci/sakral, melainkan sekadar obyek eksploitasi. Sehingga muncullah kerusakan ekologi sebagai konsekuensi logisnya.
Dalam cara pandang keilmuan seperti itu, Nasr sampai pada simpulan bahwa manusia pun hanya dipandang sebagai obyek fisik dan mengabaikan aspek jiwa. Bahkan dalam psikologi sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai dimensi nonfisik manusia, ternyata masih kental nuansa materialistik. Sehingga tidak mampu berbicara tentang jiwa secara lebih tajam, apalagi menembus dimensi spiritual.
Sampai di sini, uraian Nasr sangat menginspirasi. Dalam kosa kata Inggris ada istilah mind. Menurut pandangan beberapa ahli filsafat Barat, mind adalah keselarasan antara emosi jiwa yang sudah terolah dengan baik secara spiritual dan penalaran.
Namun menurut saya, istilah mind mengindikasikan betapa para cendekiawan dan ilmuwan Barat masih cenderung malu-malu, untuk mengakui pentingnya jiwa dalam diri manusia. Karena jiwa pada perkembangannya berakar pada hati, tempat ruh, sebagai utusan khusus Tuhan bersemayam.
Pada tataran ini, jiwa tampaknya juga jadi sorotan utama Nasr. Alur berpikir Nasr sederhana. Kesalahan pandangan tentang diri akan mempengaruhi pandangan tentang tujuan hidup. Sementara, tujuan hidup mempengaruhi tingkah laku. Ketika pandangan tentang diri terkonsentrasi pada fisik-material, maka tujuan hidup pun akan bermuara pada dunia-fisik material. Sehingga tingkah laku manusia akan berputar-putar dalam lingkaran dunia material. Sehingga kehidupan manusia tidak bebas dan merdeka lagi.
*
Satu lagi kegelisahan dan kritik Nasr ihwal krisis ilmu pengetahuan. Sains modern yang bertumpu pada logika, hipotesis, dan verifikasi, alam dipandang sebagai mesin yang bekerja secara mekanis, bersifat atomistik, dan tidak hidup (lifeless).
Alam hanya bisa dibaca, dipahami, dan dimanfaatkan dengan perangkat logika serta matematika, sehingga alam kehilangan kesuciannya.
Sangat kontras dengan para leluhur kita, yang begitu memuliakan alam, baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan, api, udara, air, tanah, pegunungan, lautan, dan sebagainya. Semua elemen alam itu hidup dan bernyawa, seperti halnya juga manusia. Berjiwa.
Yang lebih parah, seperti juga kegusaran Nasr, sains modern yang positivistik dan berbasis materialisme, kemudian menjelma jadi saintisme, yaitu sebuah keyakinan baru dan menolak kebenaran lain. Sehingga malah menciptakan daur ulang dogmatisme gereja, yang kemudian mendorong para tokoh keilmuan Eropa, seperti Francis Bacon, Galilei, Descartes, Kepler dan Newton, untuk melepaskan diri dari belenggu dogmatisme gereja.
Sehingga abad renaisans, yang dibanggakan sebagai era ilmu pengetahuan dan pencerahan, pada perkembangannya menjadi dogma baru. Meskipun mengampanyekan jargon berpikir terbuka, namun pada saat yang sama hati tertutup.
Alhasil, bertentangan dengan jalan berpikir Karen Armstrong, Rumi dan Nasr, kemampuan intuitif atas dasar persenyawaan antara emosi, jiwa, dan nalar, tidak berkembang dan diberdayakan dalam sistem pendidikan dan persekolahan kita. Tak terkecuali di Indonesia.
Apalagi ketika skema Kapitalisme Global berbasis korporasi multinasional semakin menegara, bukan saja di negara-negara berkembang, melainkan juga di negara-negara induknya sistem kapitalisme global itu.
Maka ilmu pengetahuan berbasis positivisme dan riset-riset empirik, tampaknya sangat favorable sebagai perangkat dukungan strategis untuk beroperasinya skema, strategi dan rancang bangun sistem kapitalisme global atas nama keniscayaan arus globalisasi, dan memudarnya tapal batas antar negara (borderless nation).
Alhasil, kita saat ini sedang mengalami transformasi dari nation state menuju kapitalisme global berbasis corporate state. Dalam konstelasi yang demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkiblat pada positivisme-empirisme dan materialisme, dipandang masih cocok untuk melestarikan skema kapitalisme global.
Untuk merespons seraya menangkal skema kapitalisme global, yang menunggangi ilmu pengetahuan dan teknologi positivistik-empirik dan materialistik tadi, memberdayakan kembali daya spiritual justru harus disertai itikad menghidupkan kembali Din-nya Agama. Dalam kasus yang saya maksud, tentunya Islam tasawuf
sebagai ilmunya tauhid.
Sehingga tasawuf bukan sekadar praktik spiritualnya yang diberdayakan, melainkan juga dimensi filosofisnya. Sebagaimana agama-agama lainnya pun, dengan merujuk pada pengalaman spiritual Karen Armstrong tadi, pada akhirnya juga menghidupkan Din-nya agama yang dia yakini. Yaitu, lewat iman Katolik yang kemudian dia perkaya ketika tergugah untuk juga mendalami Yudaisme Yahudi maupun Islam.
Apalagi dalam mencapai pencerahan spiritualnya, Armstrong di luar kesadaran rasionalnya sendiri telah menempuh jalan melingkar dan gerak spiral, persis seperti judul bukunya the Spiral Staircase. Tidak melalui kelembagaan keagamaan lewat gereja, seperti semula yang dia bayangkan akan mendapat pencerahan spiritual.
Melainkan justru melalui jalur yang dia tak sangka-sangka. Yaitu, dari jalur keilmuan dan akademik. Sehingga Karen Armstrong kemudian dikenal reputasinya sebagai pakar yang out of the box alias di luar kelaziman pola pikir dan cara pandang para pakar dan ilmuwan pada umumnya.
Tasawuf sebagai kedalaman batin dari Islam, bukan saja ilmunya tauhid untuk mendekatkan diri kepada Allah, melainkan juga agar bisa hidup bersama Allah. Barang tentu, tasawuf dalam konteks yang saya bicarakan, memang spesifik untuk Islam.
Namun poinnya di sini, semua agama punya tasawufnya masing-masing. Punya ilmu untuk mendekatkan diri pada Tuhannya, dan hidup bersama Tuhannya. Punya ilmu dan satu metode pendalaman masing-masing untuk menyatunafaskan antara syariat, tarikat, makrifat, dan hakikat.
Menghidupkan matahati dan kemampuan intuisi di berbagai ranah keilmuan dan teknologi, ekonomi, kebudayaan, dan kesenian, pada perkembangannya akan kembali menghidupkan kembali peradaban. Ini dapurnya kebudayaan, yang saat ini mengalami stagnasi, kemandegan.
Tak ada temuan baru, miskin daya cipta. Miskin inspirasi. Sehingga sejarawan dan pakar peradaban Arnold Toynbee dalam karya monumentalnya, A Study of History, menyebutnya sebagai fosilisasi masyarakat. Kondisi macam ini lebih mengerikan daripada disintegrasi nasional atau disintegrasi sosial. Ibarat hidup segan, mati pun tak mau. *
Oleh: Hendrajit, pengkaji geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute.
Facebook Comments