KTT Penyelesaian Damai Gaza di Mesir Membuka Harapan Baru, Namun Komitmen AS dan Israel Masih Diragukan

Bagikan artikel ini

Konferensi Tingkat Tinggi tentang Gaza yang berlangsung di Mesir beberapa hari lalu, membuka harapan baru untuk terciptanya perdamaian bukan saja antara Israel dan Palestina, namun juga di kawasan Timur Tengah pada umumnya.

Namun kalau kita telaah dari perspektif manuver diplomatic Presiden AS Donald Trump, kita cukup beralasan untuk skeptis. Mengingat sembilan bulan menjabat presiden periode keduanya, belum ada kemajuan yang cukup signifikan dalam penyelesaian perdamaian di Ukraina setelah bertemu secara bilateral dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, maupun terkait penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Maka itu hasil Konferensi Tingkat Tinggi berkait dengan Gencatan Senjata di Gaza, masih patut dicermati apakah kesepakatan pertukaran sandera antara Hamas dan tahanan Israel, Israel akan benar-benar membebaskan semua tahanan politik dari Hamas?

Peter Koenig dalam artikelnya di Global Research menulis, jika Trump memang serius, mudah saja mengujinya. Trump dengan mudah bisa mendesak Benyamin Netanyahu untuk menghentikan agresi Israel ke Gaza, dan menolak memberi bantuan senjata dan dana kepada Israel. Sayangnya, pemerintah AS sejak peristiwa 7 Oktober 2023, pemerintah AS telah menggelontorkan lebih dari 21 miliar dolar AS agar postur militer dan pertahanan Israel tetap digdaya menghadapi perlawanan rakyat Palestina di Gaza.

Baca:

World Stage Theatre Keeps People Nodding in Comfort and Scared from Reality. “Nobel Peace Prize = War”

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian untuk Gaza yang digelar di International Congress Centre, Sharm El-Sheikh, Republik Arab Mesir, pada Senin (13/10/2025). Beberapa negara yang ikutserta adalah Indonesia, Mesir, Uni Emirat Arab, Prancis, Yordania, Turki, Qatar, Inggris dan Amerika Serikat.

Timur Tengah sebagai obyek jajahan Eropa sejak abad ke-19, setidaknya empat negara Eropa Barat terlibat dalam persaingan sengit memperebutkan negara-negara kaya minyak di Timur Tengah: Inggris, Prancis, Italia dan Jerman. Namun pada perkembangannya Prancis lebih banyak memperoleh wilayah jajahannya di kawasan Afrika seperti: Tunisia, Maroko, dan Aljazair.  Adapun Inggris praktis menguasai sejak berakhirnya Perang Dunia I menanam pengaruh yang kuat di Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Yordania dan Irak, dan Palestina sebagai daerah protektorat. Nah ketika  bermaksud melestarikan hegemoninya di Timur Tengah pada Pasca Perang Dunia II, Inggris mendorong pembagian Palestina menjadi dua, yang satu untuk Yahudi dan satunya lagi untuk Arab Palestina. Hanya saja, karena niat sesungguhnya Inggris adalah untuk melestarikan kolonialisme di Timur Tengah, pembagian Palestina itu sejatinya adalah kolonialisme dan imperialisme terselubung.

Momentum Yahudi diaspora untuk melobi Inggris agar bisa mendirikan negara Israel bermula ketika diselenggarakan Konferensi Perdamaian di Paris, yang mana delegasi Zionis Israel hadir, baik perutusan dari Inggris maupun dari AS, pada April 1920. Hasilnya, Dewan Tertinggi Sekutu sebagai pihak pemenang Perang Dunia II memberikan mandat atas Palestina kepada Inggris. Mandat itu dengan tegas menyediakan bagi bangsa Yahudi tempat tinggal nasionalnya di Palestina. Seraya memasukkan kata demi kata janji Inggris untuk memberikan wilayah Palestina kepada Israel untuk mendirikan negara bangsa, Deklarasi Balfour. Jadi disinilah awal mula benih-benih terciptanya destabilisasi berkepanjangan di Timur Tengah.

Pasal 4 dari mandat yang didasari Deklarasi Balfour, berhubungan dengan pengakuan suatu agen Yahudi untuk melakukan kerja sama dengan penguasa mandat (Inggris) guna membangun pemukiman bangsa Yahudi di Palestina. Nampak jelas dari klausul pasal ini, memberikan mandat kepada pemerintah Inggris untuk melaksanakan peralihan pemerintahan militer ke Sipil. Melalui mandat yang ditandatangani di San Remo (1920) itu, Sir Herbert Samuel, tokoh terkemuka Inggris keturunan Yahudi, diangkat sebagai komisaris tinggi pertama bagi Palestina. Jelas lah sudah, sejak perjanjian San Remo (1920), Inggris secara berat sebelah memang sudah diplot untuk mendukung kepentingan Israel untuk mendirikan negara bangsa di Palestina. Meskipun momentum itu baru tiba pada 1948, namun benih-benihnya sudah ditanam di Konferensi Paris (1920) dan pertemuan Dewan Tertinggi Sekutu 22 Juli 1922. 

Bahkan ketika meletus kerusuhan anti-Yahudi pada 1921, Winston Churchilly yang kala itu menjabat  sebagai menteri urusan jajahan Inggris, pada 3 Juli 1922 menegaskan kembali keinginan London untuk mendirikan pemukiman Yahudi di Palestina. Meskipun untuk menentramkan kegusaran penduduk Arab, Churchill mengisyaratkan tidak bermaksud mengambil alih Palestina secara keseluruhan menjadi suatu negara Yahudi. Namun dari ucapan Churchill itu menyingkap adanya agenda tersembunyi inggris sebagai negara imperialis yang sudah bercokol di Timur Tengah sejak abad 18 dan 19. Membagi dua wilayah Palestina untuk Yahudi dan Arab, namun menguntungkan Yahudi.

Namun seperti saya kemukakan tadi, momentum pembagian Palestina secara tidak adil itu baru muncul pada 2 April 1947, ketika Inggris membawa masalah Palestina ke hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Inggris memohon seksi khusus Majelis Umum PBB untuk menangani masalah ini. Ketika Majelis bersidang paa 28 April dan 15 Mei 1947, membentuk Komisi Khusus PBB bagi Palestina )UNSCOP). Laporan Komisi menyarankan pembentukan segera Palestina yang bersatu secara ekonomi dan merdeka dan akan melewati massa transisi di bawah pengawasan PBB. Sampai di sini tak ada keberatan dan disetujui secara aklamasi. Namun seperti kata ungkapan, The Devil is in the Detail. Sebab laporan kemudian membuat rencana mayoritas dan rencana minoritas. Rencana mayoritas yang didukung Cekoslovakia, Guatemala, Belanda, Peru, Swedia dan Uruguay, menetapkan pembagian wilayah Palestina menjadi negara Arab, Yahudi dan internasionalisasi kota Yerusalem.

Adapun rencana  minoritas yang didukung India, Iran, dan Yugoslavia, mengajukan negara federasi Palestina yang terdiri dari atas dua negara: Arab dan Yahudi, dan masing-masing mendapat otonomi lokal. Sudah diduga, negara-negara Arab lebih setuju pada rencana minoritas ini karena dianggap memuaskan kehendak dasar mereka, yaitu sebuah negara merdeka dengan mayoritas Arab dan pembatasan imigrasi Yahudi. Yahudi Zionis lebih setuju rencana mayoritas.

Singkat cerita, kedua rencana itu dibahas oleh Komisi ad hoc khusus Majelis Umum PBB dalam sidangnya pada 1947. Dalam pembahasan ini, Yahudi Zionis nampak jelas lebih berhasrat sekali memperoleh keputusan yang menyokong rencana mayoritas. Alhasil, ketegangan di markas PBB Lake Succeess itu pun memanas. Akhirnya, pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB memutuskan pembagian Palestina berdasarkan kesatuan ekonomi berdasarkan rencana mayoritas.

Negara Arab memperoleh bagian tengah dan timur Palestina, dari Lembah Esdraelon ke Bersheba, Galilea Barat dan sepanjang pantai Mediterania dari Gaza Selatan serta sepanjang perbatasan Mesir sampai Laut Merah. Adapun Yaffa dimasukkan ke dalam negara Yahudi, dan mencakup pula Galilea timur sampai lembah Esdraelon, daerah pantai dari Haifa hingga ke selatan Yaffa, dan sebagian besar Negeb. Yerusalem dan Bethlehem tidak termasuk ke dalam wilayah kedua negara, dan berada di bawah pemerintah yang bertanggungjawab kepadan Dewan Perwalian. Dalam ketentuan ini, nampak jelas Inggris dan kelak diteruskan oleh AS, merupakan pemain kunci hingga sekarang. Dari hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB, 13 negara setuju opsi rencana mayoritas, 10 negara menolak. Yang menentang kebanyakan negara Arab: Mesir, Irak, Libanon, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman.  Juga Afghanistan, Kuba, Yunani, India, Iran, Palestina dan Turki.

Lebih dari itu, negara-negara Arab dan negara-negara yang menolak opsi rencana mayoritas, merasa tidak puas dan memandang ini merupakan konspirasi negara-negara Barat untuk memaksakan kehendaknya melalui badan dunia. Bangsa Arab meragukan kesahihan daya mengikat mengikat resolusi dari segi hukum. Mereka berargumentasi bahwa berdasarkan Piagam PBB, Majelis tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan yang mengikat, tetapi hanya untuk memberikan rekomendais.

Maka pada 6 Februari 1948, Komisi Tinggi Arab Palestina menyatakan bahwa “setiap usaha Yahudi atau negara lain atau kelompok negara untuk membentuk negara Yahudi di wilayah Arab merupakan penindasan dan akan dilawan dengan kekerasan sebagai upaya bela diri.”  Inilah yang kemudian memicu Perang Arab-Yahudi pada 1948 dengan segala implikasinya yang masih berdampak hingga kini. Apakah akar penyebab konflik Arab-Yahudi di Palestina yang bermula dari pembagian Palestina yang tidak adil  di PBB pada 1947 tersebut disadari bersama oleh para kepala negara yang hadir dalam Konferensi Penyelesaian Perdamaian Gaza di Mesir?

Dalam kesepakatan Penyelesaian Gaza di Mesir itu, antara lain komitmen untuk menghentikan seluruh operasi militer di Gaza, membuka jalur kemanusiaan lintas batas, dan membentuk komisi rekonstruksi bersama yang melibatkan PBB, Liga Arab, serta sejumlah mitra internasional termasuk Indonesia.

Pertanyaan pentingnya, seberapa serius Presiden Trunmp sebagai pemrakarsa KTT Mesir tersebut? Mari kita kesampingkan dulu keraguan tersebut. Mari kita telaah konflik bersenjata Israel-Hamas  yang bermula pada  serangan Hamas 7 Oktober 2023. Oleh sebab dari sinilah konspirasi AS-Israel menjadi penyulut sumbu ledakan.  Mari mulai dengan satu pertanyaan, benarkah intelijen Israel sekaliber Mosad gagal mendeteksi serangan Hamas?

Baca juga:

Is the Gaza-Israel fightinf a false flag”? They let it happen? Their objective is “to wipe Gaza from the map”?

Beberapa analis mengatakan bahwa serangan Hamas yang berakibat tewasnya sejumlah besar warga Israel dan Palestina, sejatinya bukan merupakan kegagalan intelijen Israel.  Bukti dan kesaksian menunjukkan bahwa pemerintah Netanyahu telah mengetahui sebelumnya tindakan Hamas yang telah mengakibatkan ratusan kematian warga Israel dan Palestina. Dan “Mereka Membiarkannya Terjadi”

Hamas menembakkan antara 2.000 hingga 5.000 roket ke Israel dan ratusan warga Israel tewas, sementara puluhan warga Israel ditangkap sebagai tawanan perang. Dalam serangan udara Israel berikutnya, ratusan warga Palestina tewas di Gaza. (Stephen Sahiounie)

Menyusul serangan Hamas itulah, terjadilah blokade total di Jalur Gaza sejak 9 Oktober 2023, yang terdiri dari pemblokiran dan penghalangan impor makanan, air, bahan bakar, dan komoditas penting bagi 2,3 juta warga Palestina. Dengan begitu, Israel dengan dalih untuk melancarkan serangan balasan terhadap Hamas, Israel pada perkembangannya telah melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel telah melakukan genosida terhadap warga sipil Palestina di Gaza. Dengan kata lain, sejatinya tindakan militer Israel tidak menargetkan HAMAS, melainkan sebaliknya: ia menargetkan 2,3 juta warga sipil Palestina yang tidak bersalah.

Apakah kenyataan tersebut disadari dan ada di benak para kepala negara, termasuk Presiden Indonesia Prabowo Subianto, sebagai ranjau-ranjau yang bisa menggagalkan penyelesaian damai Palestina-Israel yang penuh komplikasi sejak 1947-1948?

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com