Hubungan dan kerja sama bilateral antara Vietnam dan Rusia yang sejatinya sudah sangat erat dan solid sejak masih berlangsungnya Perang Dingin di abad ke-20 antara Amerika Serikat dan blok Eropa Barat versus Rusia dan Cina, nampaknya akan terjalin semakin erat melalui momentum kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Hanoi pada Kamis 20 Juni 2024 lalu. Apalagi kunjungan ke Vietnam berlangsung setelah berkunjung ke Korea Utara bertemu Presiden Kim Jong-un.
Pertemuan Putin dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Nguyen Phu Trong, Presiden Vietnam To Lam beserta jajaran pimpinan partai maupun pucuk pimpinan pemerintahan, tentu saja bukan suatu perkembangan yang cukup menyenangkan bagi Washington. Apalagi sebelum kunjungan Putin ke Hanoi, AS telah menandatangani kerja sama(kemitraan strategis) dengan Vietnam (Comprehensive Strategic Partnership) pada 2023 lalu.
Baca juga: Washington cannot stop the continued advancement of Russia-Vietnam cooperation
Bisa dipastikan bagi pemerintahan Presiden Joe Biden, perkembangan terbaru pasca kunjungan Putin ke Vietnam, bisa diartikan bahwa Vietnam pada hakekatnya tetap merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara (baca: ASEAN) yang tetap menganut prinsip Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, sepanjang kerja sama dengan negara-negara lain tersebut, termasuk dengan negara adikuasa seperti AS, menguntungkan kepentingan nasionalnya. Dan tidak merugikan kedaulatan nasional Vietnam.
Padahal, dalam setiap menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara berkembang (developing countries) seperti dengan Indonesia, Pakistan, India maupun negara-negara di kawasan lainnya, selalu menyertakan agenda-agenda politiknya seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup, ke dalam skema kerja sama perdagangan maupun bantuan ekonominya kepada negara-negara berkembang.
Dengan begitu sangatlah tidak mengagetkan jika juru bicara Kedutaan Besar AS di Vietnam menyatakan kekecewaaannya kepada kantor berita Reuters. Bahkan nada pernyataannya sangat keras dan provokatif. “Seharusnya tak satu negara pun memberi Putin sebuah platform untuk mempromosikan perang agresifnya. Jika Putin tetap dapat pergi ke manapun secara bebas, hal itu sama saja dengan menganggap normal tindakannya yang sangat terangp-benderang dalam pelanggaran hukum internasional.”
Tentu saja pernyataan Juru Bicara Kedutaan Besar AS di Vietnam tersebut hanyalah retorika belaka. Hakekatnya, pihak AS nampaknya sangat terganggu betul dengan kunjungan Putin, lantaran pada saat Putin masih berada di Hanoi, yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Vietnam, Diplomat tingkat tinggi yang menangani kawasan Asia Timur, Daniel Kritenbrink, pada hari Jumat, berarti sehari setelah Putin tiba di Vietnam, juga akan mengunjungi Hanoi. Dan yang lebih menggelisahkan lagi bagi Washington, agenda yang dibahas oleh Daniel Kritenbrink adalah tentang Skema Indo-Pasifik. Dengan mengangkat topik bahasan: A Free and Open Indo-Pacific Region. Kawassan Indo-Pacific Yang Terbuka dan Bebas.
Tentu saja isu tersebut memang fondasi ideologis Skema Kapitalisme Global berbasis Korporasi Internasional untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik. Dalam perhitungan Washington baik Kementerian Luar Negeri maupun Pentagon (Kementerian Pertahanan), AS dapat memanfaatkan dan memanipulasi kekhwatiran Vietnam yang bersifat traumatik akibat konflik bersenjata Vietnam-Cina seturut tumbangnya rejim Polpot di Kamboja yang kemudian diganti oleh pemerintahan baru di bawah Heng Sam Rinh, Cina menilai ada tangan-tangan Vietnam dalam operasi penggulingan rejim Kamboja Polpot.
Namun sepertinyta trend global saat ini sudah berubah. Cina seperti juga halnya Rusia, utamanya sejak 2017 doktrin pertahanan Pentagon maupun Doktrin Keamanan Nasional yang dirilis pemerintahan Presiden Donald Trump, secara terang-terangan menetapkan Cina dan Rusia sebagai pesaing global yang bermaksud mengubah tata dunia baru yang harus diakui memang memposisikan AS dan blok Uni Eropa dalam posisi superior terhadap negara-negara berkembang.
Di sinilah nilai strategis kunjungan Presiden Putin ke Vietnam pada 20 Juni 2024 lalu. Selain kunjungan tersebut baru yang kali pertama ke ASEAN selama dua tahun terakhir ini, kunjungan orang nomor satu Rusia tersebut memberi sinyal bahwa kerja sama ASEAN plus yang mengikutsertakan negara-negara mitra dialog, berarti Rusia akan tetap termasuk di dalamnya sebagai Balancing Stratetegy.
Pada tataran ini, bisa dibaca juga berarti sebagian besar negara-negara ASEAN masih satu tetap satu visi dan berpedoman pada Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang pada prinsipnya menentang campur-tangan asing baik antara negara-negara ASEAN terhadap negara-negara mitra dari luas kawasan ASEAN, juga menentang intervensi asing jika antar negara-negara ASEAN terlibat konflik politik maupun militer.
Kunjungan Putin di momentum yang boleh dibilang hampir bersamaan dengan kedatangan diplomat senior Daniel Kritenbrink, dari kementerian luar negeri bidang kawasan Asia Timur, bisa dipastikan merupakan gangguan dan potensi ancaman yang serius terkait agenda strategis Washington.
Sebab dalam Strategi Indo-Pasifik AS yang dirilis pada 2017 sewaktu Donald Trump masih menjabat presiden, misi utamanya adalah menggalang persekutuan negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk membendung arus pengaruh Cina yang kian menguat di kawasan Asia Pasifik. Padahal agenda tersembunyinya dengan mudah bisa dibaca: Untuk mempertahankan hegenomini Ekonomi dan Militer AS dan Inggris di kawasan Asia Pasfik, terutama Asia Tenggara.
Sementara dalam kesejarahannya, Vietnam merupakan rangkaian cerita perlawananan yang terus-menerus mengusir penjajahan asing dari bumi Vietnam. Cina, Prancis, Jepang pada era Perang Dunia II ketika melancarkan agresi ke Asia Tenggara termasuk Vietnam, hingga akhirnya berhasil mengusir Prancis pada 1954.
(Baca Noam Chomsky, At War in Asia, Vintage Book Edition, 1970)
Namun di Konvensi Wina, Vietnam kena tipu daya AS, yang mana karena AS dan Prancis tetap berkeinginan menguasai Vietnam dan tidak rela Vietnam diperintah bangsanya sendiri, lalu mengadu-domba antara Vietnam Selatan yang merupakan pemerintahan boneka AS, untuk melawan Ho Chi Minh yang berbasis di Vietnam Utara, sebagai pemimpin perlawanan kemerdekaan Vietnam yang menolak Skema Kapitalisme Global berbasis Korporasi Multinasional AS.
Maka meletuslah perang saudara antara Vietnam Selatan yang para pemimpin sipil maupun militernya berada dalam binaan Pentagon dan CIA, menghadapi pasukan militer Ho Chi Minh dan Vo Nguyen Giap yang sejatinya merupakan kekuatan nasionalis alih-alih komunis dalam pengertian sempit dan ortodoks. Kekuatan politik dan militer Ho Chi Minh yang berbasis di Vietnam Utara, sejatinya merupakan barisan nasional untuk melawan penjajahan asing. Di sinilah Prancis dan AS salah perhitungan.
(Baca juga Noam Chomsky, How the World Work (Edisi Indonesia). Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2015)
Alhasil, seperti pula pada 1954 Vietnam di bawah kepemimpinan Ho Chi Minh dan Vo Nguyen Giap berhasil mengusir tentara penjajah Prancis, begitu pula pada 1975 pasukan pembebasan nasional di bawah pimpinan Ho Chi Minh berhasil mengalahkan pasukan Vietnam Selatan sekaligus mengusir tentara AS dari bumi Vietnam.
Menyelami psikologi kolektif masyarakat Vietnam baik para elit politik di lapisan atas maupun di lapisan masyarakat bawah, Vietnam sangat peka terhadap negara-negara asing yang bermaksud mendikte atau mengarahkan kebijakan luar negerinya ke dalam orbit pengaruh negara-negara adikuasa.
Apalagi AS maupun Prancis yang notabene termasuk pemain kunci di Uni Eropa, barang tentu Vietnam sangat peka dan waspada jika berupaya menggiring Vietnam ke dalam orbit pengaruh AS, Uni Eropa apalagi ke dalam persekutuan militer yang jelas-jelas mendukung salah satu kutub negara-negara adikuasa yang sedang bersaing merebut pengaruh di Asia Tenggara.
Apalagi Vietnam, seperti halnya Indonesia, hakekatnya berkeinginan secara pro aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara besar tanpa harus larut dalam orbit pengaruh negara-negara adikuasa yang sedang bersaing dan bahkah terlibat konflik militer yang memanas di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, Vietnam maupun Indonesia cenderung menganut Diversifikasi Diplomasi dengan memanfaatkan pergeseran dari pendekatan kerja sama yang sejak era Perang Dingin hingga fase awal era Pasca Perang Dingin bersifat Unipolar/Pengkutuban Tunggal yang menjadikan AS sebagai simpul utama, sekarang sudah bergeser ke pendekatan Multipolar/Ragam Kutub.
Dalam konstelasi global dan regional yang mulai bergeser ke kerja sama berbasis multilateral dan multipolar, pada perkembangannya sangat menguntungkan negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South. Apalagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan Vietnam, menyadari sepenuhnya bahwa terlalu mengandalkan diri pada persekutuan dengan salah satu negara adikuasa, akan merugikan kepentingan nasionalnya dalam jangka panjang.
Maka itu, kunjungan Putin ke Hanoi baru-baru ini, justru membuktikan bahwa Vietnam bukan sekutu AS. Melainkan semata bermaksud memperluas lingkup kerja sama internasionalnya dengan berbasis Diversifikasi Diplomasi. Sehingga Vietnam pun sangat berkeinginan membuat Kemitraaan Strategis Komprehensif tidak saja dengan AS, melainkan juga dengan Cina, Jepang, Rusia dan India.
Melalui Diversifikasi Diplomasi atau “Diplomasi Bambu” sebagaimana dicanangkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Nguyeh Phu Tong itulah, maka kerja sama dengan Rusia merupakan sebuah konsekwensi logis dari konsepsi Diversifikasi Diplomasi maupun kerja sama internasional yang bersifat multilateral.
Model kerja sama yang kalau di Indonesia bertumpu pada azas Politik Luar Negeri Bebas-Aktif, model kerja sama berbasis Diversifikasi Diplomasi yang bersifat multilateral yang diterapkan Vietnam, nampaknya bertumpu pada gagasan strategis yang sama. Bahwa kerja sama internasional dengan negara-negara adikuasa, jangan sampai merugikan kedaulatan nasional dan tidak memberi ruang negara-negara adikuasa untuk mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berkembang. Baik AS maupun negara-negara superpower lainnya.
Dalam merespons perkembangan global yang yang mana negara-negara berkembang semakin mempunyai momentum bagus untuk memperkuat posisi tawar dan menciptakan strategi perimbangan kekuatan atau Balancing Strategy, AS nampak jelas tidak suka dengan kebijakan luar negeri negara-negara berkembang yang menganut prinsip dan azas bebas dan aktif. Bebas dan aktif dalam arti pro aktif dalam pergerakan politiknya, dan konstruktif dalam menyusun arah kebijakan luar negerinya. Sehingga bebas dan aktif bukan berarti netralitas yang pasif dan oportunistik.
Dengan begitu AS sama sekali tidak senang dengan perkembangan trend global dan regional baru yang mana negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South semakin memandang Cina dan Rusia sebagai kutub alternatif yang alamiah untuk mengimbangi hegemoni global AS, Uni Eropa dan NATO.
Selain dari itu, AS juga membuat kalkulasi politik dan strategi yang salah perhitungan. Terutama dalam membaca hubungan tradisional antara Vietnam dan Rusia cukup erat dan solid sejak memanasnya Perang Dingin sejak awal 1950an. Ketika Ho Chi Minh dicap sebagai penganut komunis sehingga dinyatakan sebagai musuh oleh AS, Rusia dan Cina otomatis menjadi sekutu alamiah Vietnam. Alhasil pada era Perang Dingin, kerja sama Vietnam-Rusia yang waktu itu masih bernama Uni Soviet di bidang politik, ekonomi dan militer boleh dibilang sangatlah erat dan solid. Bahkan kerja sama pertahanan Vietnm-Rusia pada era Perang Dingin mencapai taraf dan skala yang cukup besar. Bahkan banyak jenis persenjataan Vietnam dipasok dari Rusia.
Di era Pasca Perang Dingin, Vietnam meskipun pada 2015 cukup dekat dengan AS lantaran Vietnam khawatir terhadap potensi ancaman Cina, namun pada 2015 itu pula Vietnam menjalin kemitraan dengan Rusia lewat the Euro-Asian Economic Union (EAEU) yang diprakarsai oleh Rusia. Dan menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan EAEU. Sehingga tercipta landasan yang kokoh bagi kerja sama yang erat antara Vietnam-Rusia bukan saja di bidang perdagangan melainkan juga di bidang investasi, teknologi dan energi. Terbukti dengan ditandatanganinya 11 dokumen dari perjanjian kerja sama beberapa korporasi yang melibatkan kedua negara. Berdasar fakta-fakta tersebut, meskipun saat ini AS merupakan tujuan ekspor Vietnam sejak beberapa tahun lalu, namun belum dapat menyaingi kerja sama Vietnam-Rusia baik saat ini maupun kelak.
Salah perhitiungan dalam kalkulasi politik AS yang tak kalah krusia adalah dalam membaca kepentingan nasional negara-negara berkala menengah dan kecil, termasuk Vietnam, yang punya pengaruh yang cukup kuat dan mewarnai konstelasi regional di Asia Tenggara. Meski saat ini superioritas AS di Asia Pasifik masih cukup kuat, namun kepentingan dan aspirasi negara-negara berskala menengah dan kecil seperti Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja, tidak bisa dipandang enteng. Apalagi negara-negara berskala menengah dan kecil seperti Vietnam, punya kecenderungan kuat untuk bersikap independen dalam hal kebijakan luar negeri dan kebijakan pertahanan-keamanan.
Belajar dari pengalaman pahit Vietnam pada era awal 1950-an hingga 1975, Vietnam mudah menaruh curiga dengan niat terselubung AS yang tetap dalam bingkai Neokolonoalisme meskipun disamarkan melalui agenda demokrasi, hak-hak asasi manusia, pluralisme dan kebebasan beragama. Sehingga upaya AS untuk mencoba ikut campur dan mengatur urusan dalam negeri Vietnam dan juga negara-negara berskala menengah dan kecil seperti Myanmar, Kamboja dan Laos, sangat sulit dan tidak pernah efektif. Kecaman mengenai hal tersebut sudah kerap disampaikan lewat Kementerian Luar Negeri Vietnam. Terutama ihwal upaya AS menekan Vietnam agar lebih demokratis dan membuka kran kebebasan, yang dibaca oleh para pimpinan Vietnam bermaksud menciptakan evolusi politik di Vietnam. Sehingga kepentingan-kepentingan korporasi global AS dapat bermain dan mempengaruhi proses politik di VIetnam.
Sikap independen Vietnam telah dipertunjukkan secara transparan dan terang-terangan dengan tidak ikut serta dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian untuk Ukraina di Swiss, sehingga seperti juga Indonesia, termasuk yang bersikap abstain. Dengan demikian bisa dibaca bahwa Vietnam menolak mendukung Skema AS dan Barat yang berada di balik Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian untuk Ukraina.
Sepertinya, hubungan Vietnam-AS hingga kini masih rentan mengingat pengalaman masa lalu AS yang bukan saja mendukung para pemimpin sipil dan militer yang pro AS namun anti aspirasi rakyat. Melainkan juga akibat ulah AS mendukung rejim militer yang berbasis di Saigan Vietnam Selatan, tentara AS telah membunuh jutaan warga sipil non-combatant, menghancurkan daerah-daerah pedesaan sehingga merusak lahan-lahan pertanian, gedung-gedung instansi pemerintahan, rumah sakit dan balai kesehatan, maupun persekolahan. Sehingga kehidupan sosial-ekonomi lumpuh total semasa Perang Saudara.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)