Ada dua predikat yang ketika dilekatkan pada nama saya selalu membuat kikuk. Pertama: budayawan dan, kedua: kurator seni rupa. Saya merasa bukan keduanya. Kurang layak dan sepantasnya. Namun kali ini, ketika di dalam perhelatan KEKAINAN di Galeri + Kafe Hybridium, Bandung disebut sebagai kurator, harus diam. Karena membantah atau mengiyakan justru sama-sama akan menjadi genit dan kenes.
Sejak 2 bulan lalu, sambil terus bekerja mempersiapkan ini dan itu, suka bertanya-tanya: siapa aku, di mana aku, pantaskah disebut ‘kurator’ dan seterusnya. Sebagai orang yang mendapat didikan sesuai lingkungan budaya Jawa sudah terbiasa menghayati sebaik-baiknya suatu semboyan hidup disebut ‘empan-papan‘.
Bahwa kesadaran dasar terpenting bagi ‘orang Jawa’: bagaimana memahami kekuatan personal berikut kelemahan, peluang-peluang serta ancamannya. Mirip metode quadrant (quadrant theory) atau prinsip papatan (berpikir 4 arah/mandala pat) dan analisa SWOT. Dengan begitu, tebal atau tipis, sejak usia remaja, sudah mulai terbiasa melakukan pemetaan pribadi. Mudah paham dalam membaca bagaimana posisi (position) sekaligus mengambil posisi – menempatkan diri (positioning) di tengah percaturan apapun dan di manapun.
1995, ketika istilah kurator seni rupa belum banyak dipahami peran serta wilayah-wilayah kerjanya, saya mencetak kartu nama untuk NIMAS TERRASHOP dengan credit title: Kurator Kriya. Ini artinya, secara sadar, saya tahu diri. Paham posisi – dan tahu bagaimana harus memposisikan diri: bukan sebagai kurator seni rupa wacana (mainstream), melainkan terapan (kriya).
Di situ jelas. Sebagai kurator membutuhkan modal besar berupa pemahaman, penuh, tentang seluk beluk produk, produksi sampai pemasaran barang: berbagai bentuk serta jenis-jenis kriya. Di wilayah ini saya 1001% mantab dan yakin. Tidak demikian dengan Kurator Seni Rupa Wacana yang, meskipun memahami sisi-sisi permukaannya, yang kasat mata, tetap sadar punya banyak sisi lemah dalam mengikuti pewacanaan-pewacanaannya yang terus berkembang.
Alih-alih menghindari kegenitan dan kekenesan berlarut seperti yang saya sebut sebelumya, pilihan sikap yang saya ambil ketika Ibu Aan Andonowati, selama ini dikenal luas sebagai owner LawangWangi Creative Space dan ArtSociate, mencantumkan nama saya sebagai kurator – pada perhelatan KEKAINAN, 8 – 30 Mei 2025, boyongan 80% BENDERA – Tanpa Batas, berusaha tidak membantah.
Setidaknya begitu yang saya rasionalisasi kemudian, bahwa dari 4 cakupan kerja-kerja kuratorial, sebagaimana yang mampu saya petakan selama ini: Concept, Selection, Development dan Exhibition/Presentation, saya pilih 2 wilayah tanggungjawab (yang lebih terkuasai): yaitu aspek seleksi (selection) dan presentasi (pameran/memamerkan). Abstraksi ini pula yang pada kesempatan memberi pengantar lisan pada pameran KEKAINAN di Hybridium, Bandung, 8 Mei 2025, lebih saya tekankan.
Ya, saya memahami konsep apa yang melatari eksposisi BENDERA – Tampa Batas. Saya pula yang memilih siapa-siapa partisipan dan lain-lainnya bahkan, dalam pendekatan-pendekatan khusus, turut melakukan pengembangan ide/gagasan bersama seniman peserta. Meskipun begitu, secara pribadi, tetap lebih suka memposisi dan menyebut diri sebagai inisiator dibanding kurator. Jadi, pada kesempatan BENDERA BOYONG – telah diubah angle kuratorialnya menjadi KEKAIANAN, itu banyak hal harus saya pertimbangan. Butuh penyikapan ulang yang lebih matang. Tidak lagi sama artikulasi antara mana BENDERA dan mana KEKAINAN.
Kesepakatan dibuat. Manajemen penyelenggara menunjuk 2 Kurator. Saya bertanggungjawab menjelaskan latar konsepsi Bendera (sebagai yang lampau/dulu) dan Ganjar Gumilang meletakkan rasionalitas kuratorial KEKAINAN (pengkinian sesuai perkembangan terbarunya).
Selama ini, sebagai inisiator perhelatan, apapun aganda serta perwujudan yang kerap diupayakan lebih mengedepankan hal-hal yang berangkat dari semangat umum (common), cair, melibatkan banyak pihak kolaboratif – bukan kolektif), merangkum keberagaman, menghimpum kebersamaan dan kemeriahan pesta (festival – public affair). Kesan dan impak itu pula lah yang ingin dihadirkan, baik melalui tema Bendera di TITIKTEMU dan KEKAINAN di Hybridium, Bandung.
Mudah dimengerti mengapa dalam membuat acuan bagaimana memilih/menentukan seleksi pada prinsip kuratorial, misalnya, saya lebih nyaman untuk tidak membagi-bagi kecenderungan gaya atau cara ungkap, apalagi kelas pengalaman serta rekognisi masing-masing partisipan.
Jadilah di sini gado-gado tanpa batas – baca juga sebagai bentuk ‘ketidakteraturan’ yang coba dihimpun-satukan – dibanding presentasi umum yang serba homogen, tertib, mapan, terstandar dan serba terukur. Setidaknya, demikian melalui pilihan tema Bendera maupun KEKAINAN, kami sama-sama coba ingin melihat kemungkinan beda (ingin menemukan sisi-sisi unik karya rupa) dengan cara mengurangi peran kanvas. Selanjutnya, melalui perhelatan ini, kami ingin memberi kemungkinan lebih leluasa kepada media kain (fabric) agar lantang bicara.
…………..
He he mana ada kurator seni rupa, saat ini, yang masih kerja serabutan mulai angkat-angkat barang, membungkus karya, membawa ke paket pengiriman, melakukan instalasi karya, mengorganisasi keberangkatan sampai kepulangan partisipan, dan lain-lain?
Tidak apa. Saya suka melakukan semua hal sebagaimana seorang amatir. Bekerja penuh, in time, dengan lebih mengedepankan passion dan kecintaan dibanding sekedar ‘orang bayaran’ – maupun ‘membayar’. Dalam praktik how to-nya sering mengambil alih pekerjaan produser dalam semangat Ibu Rumah Tangga (analogi): Datang paling awal, pulang paling akhir. Sedia menjadi Tukang Cuci (membersihkan apapun yang tertinggal), Tukang Seterika (melurus – rapikan hal-hal yang kusut) dan Tukang Jahit sekaligus (penyatukan kembali yang ndredet/robek).
…………….
Djoko Kuntono, Budayawan
(Foto: Adhi Kusumo)