Laksamana Cheng Ho Tokoh Sejarah, Bukan Mitologi

Bagikan artikel ini
Dalam beberapa minggu ini, saya banyak baca buku-buku terkait Cina. Ketika bahas soal kiprah Laksamana Cheng Ho di negeri kita, bukan saja lebih banyak mitologi atau dongeng ketimbang fakta sejarahnya. Tapi juga seringkali kehilangan konteks dan sudut pandang yang pas.
Laksamana Cheng Ho kiprah kemunculannya bermula pada masa peralihan dari kekaisaran Mongol ke Dinasti Ming sejak 1368. Banyak yang belum tahu, bahwa Cina sempat dua abad dikuasai oleh kekaisaran Mongol.
Jadi ketika terjadi kisruh dan huru-hara tewasnya raja Singasari terakhir yaitu Kertanegara, gegara baginda raja memotong telinga utusan dari Mongol, di Cina memang Mongol masih menguasai kekaisaran yang berbasis di Beijing, Cina Utara.
Pada era peralihan dari dinasti Mongol ke dinasti Ming sejak 1368 ini,, Majapahit sedang dalam masa-masa konsolidasi kekuasaan sebagai kerajaan baru menggantikan kerajaan Singasari yang runtuh seiring tewasnya Raja Kertanegara.
Semasa kekaisaran Dinasti Ming, khususnya pada era kekaisaran Zhung Di, Cina muncul sebagai kekuatan maritim dengan daya jelajah yang luas ke berbagai kawasan.
Penelitian Gevin Menzies, dalam bukunya berjudul 1421, armada angkatan laut Cheng Ho berhasil mencapai Pulau Karibia, Puerto Rico dan Guanarlope di Amerika Selatan, yang berarti 68 tahun lebih dahulu daripada Columbus ketika mencapai benua Amerika pada 1498.
Hanya sayang, berakhirnya era kekuasaan Kaisar Zhung Di, yang sangat mendorong ekspansi maritim Laksamana Cheng Ho, maupun eksplorasi ilmu pengetahuan perbintangan atau astronomi maupun ilmu-ilmu lainnya, pengganti Kaisar Zhung Di bukan saja telah menghentikan anggaran untuk program pengembangan maritim dunia Cina, bahkan arisip-arsipterkait kiprah Cheng Ho dimusnahkan di era pasca Zhung Di.
Di ring satu istana nampaknya Cheng Ho dan kelompoknya kalah dalam pertempuran merebut pengaruh kaisar baru, terhadap kelomnpok Mandarin yang kalau diibaratkan sekarang di negeri kita, kayak kaum teknokrat ekonomi yang cuma tahunya menghemat pengeluaran anggaran negara, tapi tanpa arahan politik yang jelas. Nggak tahu mana-mana yang perlu dipangkas, dan mana yang perlu dipertahankan demi kepentingan nasional.
Akibat dari ulah para kaum mandarin ini, Cina yang semula merupakan kekuatan adidaya di bidang maritim, jauh lebih modern dibandingkan Eropa yang kala itu masih dalam jaman kegelapan, tiba-tiba merosot drastis. Dan kembali jadi negara yang bertumpu pada kekuatan darat.
Persis kayak Jawa di era Mataram, ketika pusat kerajaan yang semula di daerah pesisir kayak pada era Majapahit dan Demak, namun sontak sejak era Pajang ke era Mataram, tiba-tiba berallih ke pedalaman. Dari yang semula berbasis maritim ke berbasis pertanian. Sehingga kodrat kita sebagai negara maritim pupus sudah.
Kebangkrutan dan hancurnya tatanan nasional Cina sejak paruh kedua kekuasaan dinasti Ming, yang semakin parah di era kekaisarana dinasti Qing, bukan semata gara-gara ulah negara-negara imperialis Inggris, Prancis, Belanda, dan Jerman, maupun Jepang, yang ingin menjarah kekayaan alam dan lokasi geografis Cina.
Namun di internal kekaisaran dinasti Ming maupun Qing, memang rentan untuk dirembesi kepentingan asing. Hal ini berlanjut hingga runtuhnya dinasti Qing semasa kekaisaran Puyi. Dan kemudian beralih ke era republik pada 1911.
Mendalami Cina di abad pertengahan, rasanya menarik juga. Karena dari situ kita ngerti Cina pernah berjaya, dan di era Ming dan Qing itu pula, Cina mulai terpuruk.
Dengan begitu, kiprah Laksaman Cheng Ho kita telaah dalam kerangka kebijakan Cina berbasis maritim di era awal Dinasti Ming, sehingga kita tidak larut dalam mitologi, legenda atau dongeng. Namun benar-benar merupakan kebenaran sejarah.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com