Pengenaan kenaikan tarif biaya impor yang diumumnkan Presiden Donald Trump ibarat efek berantai. Salah satu sektor yang terdampak adalah sektor jasa pengiriman lewat laut (world Shipping). Perdagangan maritim nampaknya akan mengalami perubahan cukup drastis. Dengan kenaikan biaya masuk ke AS meningkat sekitar 15-20%, industri maritim terutama di sektor peti kemas, akan menangggung dampak kerugian paling besar. Sebab sebagian besar barang yang selama ini dikirim lewat peti kemas, akan terkena dampak kenaikan tarif impor.
Selain itu tren global ini juga menarik secara geopolitik. Hampir semua jalur perdagangan maritime melewati lintas pasifik, maka pengiriman barang-barang lewat kapal container juga akan terkena dampak terbesar.
Situasi tersebut pada perkembangannya akan menciptakan ketidakpastian yang meluas dalam perencanaan rantai pemasokan/supply chain. Lebih buruk lagi, akan menciptakan kelumpuhan dalam membuat keputusan rantai-pasokan dalam jangka panjang. Lantaran perusahaan-perusahaan perlu waktu untuk beradabtasi dalam lanskap perdagangan yang mengalami perubahan cepat dan tak terduga tersebut.
Baca:
US Economic Sanctions: Their Impact on Trade, Jobs, and Wages
Dengan kata lain, sektor industri pelayaran, utamanya di sektor transportasi barang, akan menghadapi masalah yang sangat krusial menyusul pengumuman kenaikan tarif biaya impor barang-barang ke AS. Maka itu seperti diingatkan oleh J. Bruce Chan, seorang analis di sektor Transportasi dan Mobilitas Masa Depan di perusahaan manajemen kekayaan dan perbankan investasi Stifel, bahwa mereka yang terlibat dalam pengiriman peti kemas lintas benua harus memberi perhatian khusus pada pengumuman sanksi Amerika.
Bruce Chan berkomentar: “Karena hampir semua perdagangan trans-Pasifik bergerak melalui laut, kami yakin pengiriman peti kemas melalui laut akan mengalami dampak langsung terbesar. Namun bagi pengirim dan pengecer, tidak ada cara yang lebih murah untuk mengangkut barang selain melalui laut, jadi hanya ada sedikit alternatif moda jika produksi tetap di Asia.”
Masalahnya justru di sini. Jalur perdagangan via laut memang berlangsung paling sibuk di kawasan Asia. Maka itu Bruce Chan lebih lanjut mengatakan: “Kami melihat risiko terbesar untuk pengiriman laut, dengan kontainer dan curah kering yang lebih akut, dengan lebih banyak isolasi untuk kapal tanker minyak dan gas.”
Dampak buruk dari pengumuman kenaikan tarif biaya impor yang diumumkan Trump memang masih sulit diprediksi di masa depan. Namun jika kita kilas balik ke masa jabatan pertama Trump, mungkin kita dapat sedikit gambaran.
Misalnya menurut layanan berita dan intelijen pengiriman Lloyd’s List (Intelligence Service Llyod List), tarif yang diberlakukan ketika Presiden Trump terakhir kali berada di Gedung Putih memiliki dampak yang nyata pada tarif angkutan kontainer spot dan waktu impor.
Kargo ditarik maju pada paruh kedua tahun 2018 oleh importir karena mereka berusaha untuk mengalahkan tenggat waktu tarif, yang mengakibatkan tarif spot yang lebih tinggi sementara sebelum memengaruhi tarif pada tahun 2019 karena kelebihan persediaan. Dapatkah hasil yang sama terlihat sepanjang tahun 2025 dan 2026?
Jason Miller, seorang ekonom angkutan dan profesor manajemen rantai pasokan di Universitas Negeri Michigan, tampaknya berpikir demikian. Berbicara kepada Lloyd’s List sebelum kemenangan presiden Trump pada tahun 2024 ketika tarif hanya menjadi bagian dari proposal kampanye pada saat itu, ia berkata: “Kita akan melihat front-loading seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya pada tahun 2025. Akan ada peningkatan permintaan yang besar karena semua orang bergegas untuk mendatangkan input dan barang tahan lama dari negara-negara yang mengenakan tarif, terutama Tiongkok.”
Bagi negara-negara berkembang yang saat ini masih tergantung pada barang-barang impor dari luar negeri, peningkatan tarif dapat menyebabkan gangguan pada volume pengiriman dan rantai pasokan global, jika kebijakan perdagangan yang diperkenalkan oleh Presiden Trump selama masa jabatan pertamanya menjadi acuan. Permintaan dan rute pengiriman juga dapat terpengaruh karena ketidakpastian perdagangan, meskipun publikasi tersebut juga mengakui bahwa peningkatan investasi di pelabuhan dan jalur perairan pedalaman di seluruh AS dapat meningkatkan efisiensi untuk perdagangan domestik dan internasional.
Seperti kita ketahui, Presiden Trump telah mengumumkan tarif impor barang-barang dari sejumlah negara mitra dagang AS. Untuk Indonesia dikenakan sebesar 32 persen. Cina, 34 persen, dan Vietnam 46 persen. Tarif dagang tersebut akan diberlakukan mulai 9 April 2025. Nampak jelas bahwa ini merupakan langkah proteksionis AS terbesar sejak Depresi Ekonomi 1930.
Langkah proteksionis Trump tersebut pada perkembangannya juga akan menghancurkan tatanan perdagangan bebas global yang justru telah dimotori AS sendiri sejak pasca-Perang Dingin awal 1990an.
Lantas, kalau Trump sendiri sedang menghancurkan Neoliberalisme sebagai fondasi dari Neokolonialisme AS di pelbagai belahan dunia berarti AS akan menghentikan hasratnya untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi AS di pelbagai belahan dunia termasuk ke kawasan Asia? Sayangnya, tidak seperti itu. Strategi Global AS untuk mendomniasi dan menghegemoni dunia masih tetap tidak berubah. Hanya saja fondasinya bukan bertumpu pada Neoliberalisme dan pasar bebas. Melainkan Merkanitilisme.
Ilustrasi Mother Country dan Koloninya (cnx.org)Sialnya, Sistem ekonomi merkantilisme inilah yang justru merupakan cikal bakal kolonialisme dan imperialisme Eropa sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.
Merkantilisme berasal dari bahasa Inggris, guys, yaitu ‘merchant’ yang artinya pedagang. apat disimpulkan, merkantilisme adalah sebuah paham ekonomi (bisa disebut juga sebagai sistem atau kebijakan ekonomi) untuk meningkatkan kekayaan suatu bangsa yang perekonomiannya diatur oleh pemerintah.
Merkantilisme digunakan oleh negara-negara Eropa seperti Prancis, Spanyol, Inggris, Italia, Portugal, Belanda, dan Jerman pada sekitar abad ke-16 hingga abad ke-18. Ketika negara-negara Eropa yang tersebut tadi sistem pemerintahannya masih berupa kerajaan.
Para penganut merkantilisme percaya, kalau ukuran kemajuan suatu negara ditentukan oleh jumlah logam mulia yang mereka miliki. Logam mulia yang dimaksud adalah emas dan perak.
Nah, logam mulia ini bisa didapatkan dengan cara melakukan perdagangan dengan negara lain. Tapi, pada praktik merkantilisme, kegiatan impor harus lebih sedikit dari kegiatan ekspor. Alasannya adalah, kalau nilai ekspor lebih besar daripada impor, maka perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara akan mengalami keuntungan.
Baca:
Merkantilisme: Pengertian, Latar Belakang, Tokoh, dan Dampak| Sejarah Kelas 11
istem merkantilisme berjalan dengan skema dimana kerajaan disebut sebagai “Mother Country” atau negara induk. Negara induk ini akan mengontrol semua perdagangan di koloni atau wilayah yang mereka duduki atau jajah. Dalam hal ini, koloni dilarang untuk berdagang dengan koloni lain atau kerajaan lain.
Dengan begitu, Presiden Trump nampaknya berupaya menghidupkan kembali hasrat yang terkandung dalam Sistem Ekonomi Merkantilisme tersebut. Dalam perhitungan strategis Trump, dengan memahami gagasan dasar Sistem Ekonomi Merkantilisme, sistem ekonomi merkantilisme ini bertujuan untuk memperkuat kekayaan sebuah negara, caranya dengan mengumpulkan emas, perak, serta memonopoli perdagangan luar negeri.
Trump pastinya sedikit banyak mengetahui, bahwa gagasan utama Merkantilisme yang diterapkan para leluhurnya dari Eropa dahulu kala, jika sebuah kerajaan (baca: negara bangsa) mempunyai kekayaan berlimpah, negara atau pemerintahan negara bangsa seperti AS akan mampu melakukan apa saja, misalnya berperang dan mempertahankan daerah, riset untuk iptek, menginternasionalisaikan kebudayaan negaranya ke seluruh dunia, atau kalau perlu membuat negara-negara koloni baru di luar AS.
Nah inilah yang sedang dimainkan Trump saat ini. Korporasi yang selama ini memainkan peran sebagai aktor utama dalam skema Neoliberalisme dan Kapitalisme Pasar Bebas, sekarang Trump mengambil-alih peran strategis para kapitalis berbasis korporasi tersebut menjadi wewenang negara. Sesuai salah satu ciri-ciri Merkantilisme, sekarang negara lah yang mengatur dan mengawasi perekonomian. Sehingga seluruh proses pembuatan keputusan strategis perekonomian, perdagangan dan kemiliteran AS, dipusatkan di Gedung Putih. Bahkan Capitol Hill yang merupakan gedung Kongres Amerika, saat ini hanya sekadar tukang stempel belaka.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)