Herni Susanti
Terkait kebebasan informasi dan liberalisasi politik, disatu sisi membawa pengaruh akselerasi keterbukaan dan tujuan membangun masyarakat komunikatif. Namun disisi lain mudah menstimulasi ketegangan antar pihak dipicu oleh isu-isu yang tidak benar. Tumpang tindih fungsi survei yang merupakan hasil penelitian dengan pemanfaatan oleh suatu partai politik. Beberapa lembaga survei tidak hanya melakukan riset, akan tetapi juga melakukan hal-hal dalam rangka memenangkan pemilu pada suatu calon. Hasil quick count bisa diotak atik sesuai dengan kepentingan yang memesan sehingga proses pengolahan data dan penyusunan kuisioner bisa bermasalah.
Selain itu, tidak transparansinya pendanaan/donatur pelaksanaan survei merupakan masalah tersendiri, diimana besarnya biaya operasional untuk melakukan survei ataupun quick count sebesar Rp. 1,5 sd 2,2 Miliyar…”wow fantastis”. Apa mungkin sebuah lembaga survei memiliki dana sosial sebesar itu?..sebenarnya identitas donatur dalam melakukan survei tidak memiliki korelasi dengan hasil survei yang dilakukan. Lembaga survei sudah menjadi kartel bisnis. Kini lembaga survei selalu merangkap menjadi konsultan atau tim pemenangan kontestasi politik baik legislatif maupun pemilihan presiden. Lembaga survei merilis quick count dengan semangat tidak netral, partisan sebagai alat propaganda.
Kisruh Quick Count
Masalah hasil quick count jika tidak dipublikasikan oleh media maka tidak akan membuat kekisruhan dimasyarakat. Banyaknya desakan dari para awak media yang meminta hasil survei untuk di publikasikan yang membuat hasil quick count sangat-sangat prematur. Dalam proses yang terjadi ada beberapa yang melanggar terkait hasil Quick Qount, hal ini mungkin adanya kepentingan politik dari masing-masing capres-cawapres untuk menggunakan lembaga survei sehingga tidak obyektif lagi. Oleh sebab itu, publik harus hati-hati jika terjadi persoalan, publik harus tahu terhadap langkah-langkah yang mungkin bisa menimbulkan keresahan dan jangan sampai terjadi chaos.
Dari 2 kelompok quick count belakangan yang saling bertentangan hasilnya, ada kelompok 8 yang memenangkan pasangan Jokowi-Hatta dan kelompok 4 yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta. Hal tersebut membuat Dewan Kode Etik Perhimpunan Survey Opini Publik (Persepi) harus melakukan audit, yaitu CSIS-Cyrus, Lingkar Survei Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting, Indikator Politik dan Populi Center. Persepi mengatakan ke-5 lembaga survei tersebut tidak bermasalah dan bisa dipercaya.
Permasalahannya ada di kelompok 4 dimana hanya 2 lembaga saja yang masuk kedalam Persepi yaitu, JSI (Jarinngan Survei Indonesia) dan Puskaptis. Jaringan Survei Indonesia siap untuk diaudit datanya, akan tetapi Puskaptis menolak untuk diaudit datanya, kenapa harus menolak?! Itu menjadi suatu pertanyaan besar. Sementara itu, Puskaptis akan mengeluarkan datanya setelah KPU mengeluarkan hasil resmi Pemilu 2014. Dengan tidak maunya Puskaptis diaudit datanya oleh Persepi, adalah suatu petunjuk, mana lembaga survei yang kredibel mana lembaga survei yang tidak sehingga hasil quick count yang benar dari kelompok mana sudah dapat diketahui. Berbedanya hasil quick count belakangan ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat, siapa yang benar dan mengakibatkan menunggu pada 22 Juli 2014 KPU merilis hasilnya.
Hubungan Media dan Lembaga Survei
Bagi media ada beberapa hal yang penting, yakni penyiaran quick count yang tiba-tiba menjadi masalah dimana sebelumnya tidak pernah bermasalah. Mengapa kali ini bisa berbeda?! Sejak zaman reformasi baru kali ini bangsa Indonesia dihadapkan dimana kedua calon pasangan saling berhadap-hadapan secara langsung. Sebenarnya tujuan dari quick count adalah memberikan hasil yang cepat dan akurat hasil penghitungan suara, selain itu juga untuk mengawal hasil resmi yang akan dilakukan oleh KPU nanti. Lembaga survei seharusnya hanya melakukan survei atau boleh juga sebagai konsultan politik. Jangan sampai lembaga survei menjadi alat kampanye pemenangan Pemilu.
Lembaga pemenangan pemilu sudah ada, jadi seharusnya lembaga survey tidak masuk ranah itu. Langkah yang dilakukan oleh Persepi untuk mengaudit lembaga survei dengan melakukan pers rilis hasil penghitungan suara perlu didukung. Hal tersebut guna menyelesaikan kebingungan dimasyarakat yang belakangan terjadi. “Lembaga survei melihat demokrasi sebagai pohon bisnis yang menghasilkan laba besar. Siapa saja atau parpol mana kalau ingin sukses dalam berpolitik di Indonesia harus melalui sentuhan lembaga survei”. Lembaga survei yang semacam itu menjadi benalu sistem demokrasi Indonesia karena mereka tidak independen dan menjadi alat propaganda. “Lembaga survei tumbuh menjadi benalu demokrasi yang menghisap kekuatan buah demokrasi sehingga demokrasi di Indonesia tidak kunjung berbuah”.
“Perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan pengkhianatan”.