Pengamat Barat tak menganggap Rusia sebagai pemain serius di Asia Tenggara. Namun, mereka salah besar. Secara historis, hubungan politik dan ekonomi Rusia dengan wilayah ini memang rendah, tapi belakangan Moskow mengambil rute defensif untuk mengencangkan ikatan dengan negara-negara ASEAN.
Jual-beli senjata berpotensi berubah menjadi kerja sama militer dan menyatukan negara-negara tersebut dalam sebuah dekapan geostrategis. Perlu diingat, Rusia merupakan pemasok senjata tercanggih di dunia untuk negara-negara di wilayah ini.
Pesawat tempur Sukhoi untuk Indonesia dan Malaysia, serta kapal selam dan misil antikapal yang mematikan untuk Vietnam merupakan aspek yang paling jelas untuk melihat pertumbuhan ikatan pertahanan Moskow dengan negara-negara ASEAN. Pada 1997, Rusia mencapai titik balik utama ketika negara tersenbut berhasil menjual misil portabel “Igla” pada Singapura, sekutu dekat AS. Moskow mencatat kesepakatan militer pertamanya dengan Thailand saat menjual helikopeter transportasi Mi-17 dan saat ini mereka tengah mendiskusikan pasokan tank T-90.
Seiring dengan meningkatnya anggaran pertahanan negara-negara ASEAN, manufaktur senjata Rusia telah mengubah fokus pemasukan dengan mengincar kesempatan baru. Reputasi sistem senjata Rusia yang tersohor sangat membantu, terutama di medan tempur. Selain itu, senjata Rusia lebih murah dibanding analog buatan Barat. Bintang utama dari Rusia, yakni jet tempur, misil, kapal perang, dan sisem pertahanan udara yang digunakan untuk melawan kelompok teroris di Suriah, jelas menarik perhatian para pembeli di tahun-tahun mendatang.
Menetralisasi Ancaman
ASEAN terdiri dari sepuluh negara yang terbilang kecil dan hidup di bawah bayang-bayang kekuatan militer Tiongkok. Melalui gabungan sikap militer dan diplomasi agresif, Tiongkok mencoba membawa negara-negara tersebut ke meja negosiasi. Namun, karena Beijing memegang semua kartu AS, semua solusi yang tercapai pada periode tersebut hanya menguntungkan Tiongkok. Pengamat regional telah mendorong negara-negara ASEAN untuk mempersenjatai diri dengan dukungan negara kuat, seperti Rusia, untuk menjamin keamanan wilayah mereka. Meningkatkan biaya bagi Beijing akan menurunkan ancaman agresi Tiongkok.
Ian Storey dari Institut Studi Asia Tenggara memberi contoh kasus bagaimana Vietnam memiliki keamanan antipeluru yang beralasan dengan pendampingan Rusia. “Seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut Tiongkok Selatan sejak 2007 2008, Vietnam telah mempercepat modernisasi pasukan bersenjatanya, terutama angkatan laut dan angkatan udara,” tulisnya. “Rusia memasok 90 persen impor senjatanya untuk Vietnam, termasuk enam kapal selam kelas Kilo, enam kapal fregat kelas Gephard, enam kapal korvet kelas Tarantul (dibangun di Vietnam), enam kapal patroli kelas Svetlyak, 32 jet tempur Su-30 dan sistem misil pertahanan udara.”
Menurut Storey, “Senjata Rusia telah mempersenjatai Vietnam secara terbatas, tapi ampuh melawan Tiongkok, yang dapat menimbulkan kerusakan serius bagi AL Tiongkok jika konflik pecah di Laut Tiongkok Selatan. Meski larangan penjualan senjata mematikan Amerika ke Vietnam telah dicabut, Rusia sepertinya masih menjadi pilihan pertama penjual senjata bagi negara tersebut karena hubungan jangka panjang antara kedua negara dan perangkat Rusia lebih murah.”
Peningkatan multipolaritas — yang didukung kuat oleh Rusia — juga menguntungkan Moskow. William Kucera dan Eva Pejsova dari Insitut Riset Kontemporer Asia Tenggara yang berbasis di Bangkok menjelaskan hubungan strategis Rusia-Mayalsia dalam makalah berjudul “Kemitraan Diam-diam Rusia di Asia Tenggara”, ketertarikan Malaysia berkaitan dengan Rusia dapat dilacak sejak tahun 1970-an. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad (1981 – 2003), Malaysia mengubah kebijakan pro-Barat menjadi netral dan tak berpihak, mencari kemitraan baru dan mendiversifikasi sumber kerja sama ekonominya ke negara-negara non-Barat. Khawatir dengan perkembangan pasca-Perang Dingin, sistem dunia unipolar yang didominasi AS, golongan elit yang saat ini memimpin Malaysia memilih menyeimbangkan kembali distribusi kekuatan wilayah tersebut dengan mendukung kekuatan non-Barat.
Mengubah Persepsi
Negara-negara yang bersekutu dengan Barat pada masa Perang Dingin kini membuka diri pada Rusia. Ketegasan Presiden Vladimir Putin merupakan faktor yang membuat Rusia populer di kalangan warga Asia yang menghargai stabilitas dan keamanan dibanding demokrasi yang kacau di Barat.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengomentari pandangan yang konvergen ini dalam sebuah forum regional pada 2010. “Negara-negara ASEAN sangat mengapresiasi peran Rusia di Asia Pasifik karena mereka menganggap negara kami sebagai faktor pendukung perkembangan stabilitas strategis dan ekonomi yang berkelanjutan,” tuturnya.
Menurut Elena S. Martynova dari Sekolah Tinggi Ekonomi Universitas Riset Nasional yang berbasis di Moskow, “Di negara-negara ASEAN, Rusia tak dikaitkan dengan ancaman potensial apapun, baik militer maupun eknomi. Rusia kemudian memproyeksikan dirinya sendiri di Asia Tenggara sebagai mitra yang dapat diandalkan dan bertanggung jawab, yang terbuka untuk membina hubungan yang jujur dengan semua negara tanpa konfrontasi ataupun stereotipe ideologis.”
Dalam makalah berjudul “Rusia, ASEAN, dan Asia Timur”, Rodolfo C. Severino menulis, “ASEAN tak boleh lupa bahwa Rusia adalah negara adidaya dari segi kekuatan militer, politik, dan maju di bidang teknologi dan sains, dengan pengaruh yang kritis bagi isu-isu yang melibatkan Asia Timur.”
Dengan latar belakang peningkatan persaingan antara Tiongkok dan AS di satu sisi dan perang tanding (proxy war) antara Rusia dan AS di sisi lain, ikatan Rusia dengan negara-negara ASEAN terus berkembang. Seperti yang dikatakan revolusioner Rusia Vladimir Lenin, “Mari berpaling pada Asia. Timur akan membantu kita merebut Barat.”
Facebook Comments